Wakil Menteri AS Ungkap Tindakan Beijing yang Tak Diketahui di Laut Merah


EtIndonesia.
Saat menghadapi ancaman bersama, seharusnya kita bersatu untuk menghadapinya dan berupaya bersama untuk meminimalkan ancaman tersebut. Namun, Pemerintah Amerika Serikat menuduh bahwa tindakan Beijing justru sebaliknya, yaitu secara diam-diam berkomunikasi dengan pihak lawan dan menyatakan: “Jangan serang kami, serang yang lain saja.” 

Pemberontak Yaman telah berulang kali menyerang kapal-kapal dagang internasional di Laut Merah, bahkan kapal Tiongkok “Huang Pu” juga menjadi korban. Namun, menurut Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Kurt Campbell, pada 2 Oktober, AS pernah mengusulkan kepada Pemerintah Tiongkok untuk bekerja sama dalam memastikan keamanan pelayaran. Sayangnya, Tiongkok menolak kerja sama internasional dan malah meminta pemberontak untuk tidak menyerang kapal Tiongkok, tetapi kapal negara lain.

Sejak pertengahan November tahun lalu, kelompok pemberontak “Houthi” yang bersekutu dengan Iran di Yaman telah beberapa kali menggunakan drone dan rudal untuk menyerang kapal dagang internasional di Laut Merah dan Teluk Aden. Mereka secara terbuka menyatakan dukungan untuk Palestina dalam melawan Israel.

Pada Maret lalu, Houthi pernah meluncurkan rudal balistik anti-kapal terhadap kapal tanker minyak Tiongkok “Huang Pu” (M/V Huang Pu). Setelah itu, militer AS terlibat pertempuran dengan 6 drone Houthi di selatan Laut Merah.

Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Kurt Campbell, dalam sebuah diskusi daring pada Rabu (2/10) lalu, menyebutkan bahwa setelah pemberontak Houthi mulai menyerang kapal-kapal di Laut Merah, pihak AS segera menghubungi mitra mereka di Tiongkok. Harapannya adalah Beijing bersedia bekerja sama dengan AS atau anggota komunitas internasional lainnya untuk melindungi keamanan jalur pelayaran, yang juga sangat terkait dengan kepentingan ekonomi Tiongkok.

Campbell menjelaskan, AS menyarankan agar Tiongkok dapat memanfaatkan armada mereka yang berbasis di Djibouti, seperti yang pernah mereka lakukan bersama melawan para perompak pada 1990-an. Saat itu, AS menilai bahwa keamanan pelayaran sangat terkait erat dengan ekonomi Tiongkok, dan menganggap kemungkinan Beijing bersedia bekerja sama cukup tinggi. 

Djibouti adalah lokasi strategis yang menghubungkan Laut Merah dan Terusan Suez, dan sebelumnya, AS, Prancis, serta Jepang telah mendirikan pangkalan di sana. Tiongkok menjadi negara ketujuh yang melakukan hal yang sama.

Campbell melanjutkan bahwa setelah beberapa waktu, AS menemukan bahwa pendekatan yang diambil Tiongkok ternyata bukanlah bergabung dengan aliansi angkatan laut internasional. Justru sebaliknya, Tiongkok langsung berkomunikasi dengan kelompok Houthi, menyatakan kapal mana saja yang milik Tiongkok, dan bahkan meminta Houthi untuk menyerang kapal-kapal negara lain. Pendekatan ini dianggap sangat tidak menguntungkan, dan mencerminkan cara penanganan isu global yang sangat mengkhawatirkan bagi AS.

Karena serangan yang dilakukan oleh pemberontak Houthi, arus pelayaran global terganggu, memaksa perusahaan-perusahaan untuk mengalihkan rute mereka melewati ujung selatan Afrika, yang lebih panjang dan lebih mahal. Pada akhir tahun lalu, tiga perusahaan kargo besar Taiwan, yaitu Evergreen, Yang Ming, dan Wan Hai, juga mengumumkan bahwa mereka akan mengikuti langkah ini dan mengalihkan rute mereka.

Campbell membahas peristiwa Laut Merah ini dalam konteks kebijakan AS terhadap Tiongkok yang mencakup elemen “kompetisi dan kerja sama secara bersamaan”. Dia menyatakan bahwa, dibandingkan dengan pemimpin Tiongkok sebelumnya, pemimpin Partai Komunis Tiongkok saat ini, Xi Jinping, secara lebih terbuka dan tegas menyatakan ambisi negara dalam berbagai pernyataan tertulis dan pidato publik.

Campbell mengatakan, Tiongkok sekarang lebih percaya diri dan lebih agresif, serta menantang elemen-elemen dari tatanan internasional yang ada, termasuk cara penyelesaian sengketa secara damai dan hukum laut.


Dia menambahkan bahwa hubungan antara AS dan Tiongkok telah melewati fase “engagement” atau keterlibatan seperti pada 1990-an dan telah memasuki era baru yang didominasi oleh kompetisi. AS berharap kompetisi ini stabil dan tidak menuju konflik, sehingga mereka berupaya membangun mekanisme dialog dan konsultasi, serta bekerja sama dengan sekutu dan mitra.

Menurut Campbell, AS telah membuat kemajuan signifikan, terutama di kawasan Indo-Pasifik dan beberapa bagian Eropa, karena negara-negara tersebut sangat khawatir dengan arah kebijakan diplomasi baru Tiongkok.

Media Rusia: Pejabat Houthi menyatakan kapal Rusia dan Tiongkok dapat melewati Laut Merah dengan aman

Pada 19 Januari 2024, Global Times mengutip laporan dari kantor berita Rusia, TASS bahwa seorang anggota biro politik Ansar Allah – Houthi, Mohammed al-Bukhaiti, dalam wawancara dengan media Rusia, menyatakan bahwa kapal-kapal dari Rusia dan Tiongkok dapat melewati Laut Merah dengan aman dan tidak akan menjadi target serangan.

Sejak pecahnya putaran baru konflik Israel-Palestina pada 7 Oktober tahun lalu, pemberontak Houthi di Yaman sering menyerang kapal-kapal yang terkait dengan Israel di perairan Laut Merah sebagai bentuk dukungan untuk Palestina.

Serangan Houthi yang sering menggunakan drone atau rudal jelajah untuk menyerang target yang berhubungan dengan Israel tidak mengejutkan publik. Namun, penggunaan berulang kali rudal balistik anti-kapal oleh kelompok tersebut telah mengejutkan dunia. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa hanya sedikit negara di dunia yang memiliki rudal balistik anti-kapal. Oleh karena itu, banyak yang mempertanyakan dari mana Houthi mendapatkan senjata canggih ini.

Menurut laporan dari Newsweek, rudal yang diluncurkan pemberontak Houthi di Laut Merah terkait dengan Tiongkok. Laporan tersebut mengutip analisis dari Fabian Hinz, seorang peneliti dari International Institute for Strategic Studies di London, yang dipublikasikan di platform X pada akhir November 2023. Hinz menyatakan bahwa Houthi memiliki dua jenis rudal balistik anti-kapal, yaitu “Asif” dan “Tanker”. Kedua rudal ini kemungkinan telah dimodifikasi berdasarkan desain yang ada di Iran, sementara teknologi rudal Iran sendiri berasal dari Tiongkok.

Setelah Houthi menggunakan rudal balistik anti-kapal untuk menyerang sebuah kapal dagang di Laut Merah pada 16 Desember 2023, seorang blogger militer Tiongkok dengan lebih dari 6 juta pengikut di Weibo, yang menggunakan nama “Korolyov”, memposting bahwa rudal balistik anti-kapal yang digunakan oleh Houthi kemungkinan berasal dari teknologi yang sebelumnya dikirimkan oleh Tiongkok ke Iran.


Korolyov menjelaskan bahwa rudal tersebut awalnya berasal dari rudal darat-ke-udara Hongqi-2A milik Tiongkok, serta varian yang ditingkatkan seperti rudal B610 dan B611. Teknologi ini diekspor ke Iran oleh Beijing selama perang Iran-Irak pada 1980-an.Pada Desember 2023, seorang blogger militer Tiongkok lainnya, Zhang Bin, memposting di platform video pendek Douyin (TikTok versi Tiongkok), berkomentar bahwa Houthi berhasil menjadi yang pertama menggunakan teknologi rudal balistik anti-kapal Tiongkok dalam pertempuran nyata, bahkan sebelum militer Tiongkok sendiri.(john/yn)