EtIndonesia. Rusia telah beralih ke ekonomi perang. Meskipun pihak Kremlin mengklaim bahwa sanksi justru membuat Rusia “lebih kuat”, para ekonom mengatakan bahwa setengah dari cadangan devisa Rusia telah dibekukan oleh Barat, dan cadangan yang tersisa digunakan untuk investasi yang tidak likuid. Diperkirakan cadangan devisa akan habis tahun depan, dan waktu tidak berpihak pada Rusia. Terlepas dari hasil di medan perang, Rusia akan menjadi pihak yang paling menderita kekalahan.
Sudah dua tahun sejak Rusia menginvasi Ukraina, menyebabkan ratusan ribu orang tewas. Militer Rusia telah beberapa kali membombardir rumah-rumah warga sipil dan melakukan pembantaian, yang memicu kemarahan masyarakat internasional. Negara-negara Barat telah menerapkan sanksi keras terhadap Rusia, yang membuat Rusia beralih ke ekonomi perang. Meskipun pihak Kremlin mengklaim bahwa sanksi justru memperkuat Rusia, para ekonom mengatakan bahwa setengah dari cadangan devisa Rusia telah dibekukan oleh Barat, dan cadangan yang ada digunakan untuk investasi yang tidak bisa segera dicairkan. Diperkirakan cadangan devisa Rusia akan habis pada tahun depan, dan waktu tidak berpihak pada Rusia. Terlepas dari hasil di medan perang, Rusia akan menjadi pihak yang kalah.
Ekonom Swedia Anders Åslund menulis di lembaga komentar profesional terkenal, Project Syndicate, bahwa setelah lebih dari dua tahun invasi Rusia ke Ukraina, hambatan keuangan, teknologi, dan demografi yang dihadapi ekonomi Rusia lebih parah daripada yang diperkirakan banyak pihak. Sanksi yang diterapkan pada Rusia lebih berat daripada saat Rusia menguasai Krimea pada 2014. Meskipun Presiden Rusia Vladimir Putin dan sekutunya membanggakan bahwa “sanksi membuat Rusia lebih kuat” dan beberapa pihak mengklaim sanksi tidak efektif, namun waktu tidak berpihak pada Rusia.
Artikel itu menekankan bahwa sanksi saat ini akan mengurangi PDB Rusia sebesar 2% hingga 3% setiap tahunnya, membuat ekonomi Rusia nyaris terhenti. Bagi Putin, situasinya hanya akan memburuk dan bahkan bisa menghambat invasi Rusia ke Ukraina.
Kepala intelijen militer Ukraina, Kyrylo Budanov, pada 14 September di Kyiv, menyebutkan bahwa dokumen Rusia yang disadap oleh intelijen Ukraina menunjukkan bahwa Kremlin ingin mencapai kesepakatan damai pada akhir 2025 karena alasan ekonomi. Terlepas dari keaslian dokumen ini, situasi ini masuk akal. Hambatan keuangan, teknologi, dan demografi yang dihadapi ekonomi Rusia lebih parah daripada yang diperkirakan banyak pihak.
Artikel itu menambahkan, terlepas dari hasil di medan perang, Rusia akan menjadi pihak yang kalah. Biaya perang sangat besar. Sejak Rusia secara ilegal mencaplok wilayah Ukraina pada tahun 2014, ekonomi Rusia hanya tumbuh rata-rata 1% per tahun. Rusia bukan lagi kekuatan super, dan satu-satunya sektor yang berkembang adalah militer dan infrastruktur terkait.
Perusahaan milik negara menjual produk kepada pemerintah dengan harga yang terlalu tinggi, sementara bagian ekonomi lainnya stagnan. Inflasi tersembunyi Rusia mirip dengan situasi sebelum runtuhnya Uni Soviet, yang menunjukkan bahwa sanksi Barat lebih efektif dari yang diperkirakan banyak pengamat. Saat ini, Rusia tidak dapat meminjam uang dari luar negeri dan harus bergantung pada pendapatan pajak dan cadangan devisa untuk bertahan hidup. Sejak invasi penuh ke Ukraina pada Februari 2022, setengah dari cadangan devisa Rusia telah dibekukan oleh Barat.
Artikel itu menyebutkan bahwa hingga Maret 2024, cadangan likuid dari Dana Kekayaan Nasional Rusia telah turun dari puncaknya sebesar 183 miliar dolar AS pada tahun 2021 menjadi 55 miliar dolar AS, hanya 2,8% dari PDB. Sebagian besar cadangan ini telah diinvestasikan dan tidak likuid. Mengingat keterbatasan ini, sejak invasi penuh ke Ukraina pada 24 Februari 2022, Rusia terpaksa membatasi defisit anggaran tahunannya hingga 2% dari PDB, yang kira-kira setara dengan 40 miliar dolar AS per tahun. Ini berarti bahwa pada tahun depan, cadangan devisa Rusia akan habis. Meskipun Rusia meningkatkan pajak penghasilan individu dan perusahaan, langkah ini tidak banyak membantu ekonomi yang sedang stagnan, dan pemerintah tidak dapat menjual banyak obligasi di dalam negeri.
Di sisi lain, sanksi teknologi Barat terus berdampak pada Rusia. Artikel tersebut mencatat bahwa Rusia sangat terisolasi, dengan banyak orang muda yang berpendidikan tinggi beremigrasi secara massal, yang memperburuk keterbelakangan teknologi. Meskipun Rusia membeli teknologi Barat yang dikenakan sanksi melalui negara-negara seperti Tiongkok, Turki, dan negara-negara Asia Tengah, Barat telah secara bertahap menutup jalur ini melalui sanksi sekunder. Selain itu, ekspor senjata Rusia juga runtuh, karena Rusia membutuhkan semua senjatanya untuk digunakan di medan perang, bahkan harus mengimpor amunisi dari Korea Utara yang relatif terbelakang. Sumber daya manusia militer juga hampir habis. Meskipun Putin baru saja memerintahkan penambahan 180.000 tentara Rusia, namun tingkat pengangguran sebesar 2,4% menunjukkan bahwa sumber daya manusia sangat terbatas.
Artikel tersebut menganalisis bahwa jika semua biaya tersembunyi diperhitungkan, Rusia mungkin akan menghabiskan sekitar 190 miliar dolar AS untuk perang tahun ini, yang setara dengan 10% dari PDB. Mengingat sanksi keuangan Barat, angka ini mungkin merupakan batas tertinggi. Setiap kali Rusia tidak dapat lagi mendanai defisit anggarannya, Rusia harus memotong pengeluaran publik. Pengeluaran non-militer sudah dipangkas hingga batas minimum. Sebaliknya, perang Rusia-Ukraina menghabiskan sekitar 100 miliar dolar AS setiap tahun, setengahnya berasal dari anggaran dan setengahnya lagi dari bantuan luar negeri berupa senjata. Barat dapat menggunakan 300 miliar dolar AS aset Rusia yang dibekukan untuk membantu Ukraina melawan agresi dan memulihkan integritas teritorialnya. (jhn/yn)