ASEAN Serukan Penandatanganan Segera Kode Etik Laut China Selatan

EtIndonesia.  Para pemimpin negara anggota ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) pada hari Minggu (13 Oktober) menyerukan Tiongkok dan ASEAN untuk segera mencapai kesepakatan terkait Kode Etik Laut China Selatan sesuai dengan hukum internasional. Mereka juga mendesak pemerintah militer Myanmar dan gerakan perlawanan bersenjata untuk segera menghentikan konflik dan menyelesaikan perang saudara melalui dialog inklusif.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh sepuluh pemimpin negara ASEAN dalam pernyataan ketua yang disusun setelah berakhirnya KTT Asia Timur (EAS) pada hari Jumat. Diplomat dari Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Jepang, India, dan Korea Selatan juga turut hadir dalam KTT tersebut.

Sengketa kedaulatan di Laut China Selatan menjadi salah satu fokus perhatian dalam KTT Asia Timur. Sekitar 3 triliun dolar AS barang diperkirakan melintasi jalur laut penting ini setiap tahunnya. Namun, sengketa terkait kedaulatan wilayah di kawasan tersebut semakin memanas dalam beberapa tahun terakhir. Amerika Serikat sendiri tidak memiliki klaim kedaulatan di Laut China Selatan, tetapi memiliki Perjanjian Pertahanan Bersama dengan Philipina, sehingga jika terjadi konflik bersenjata antara Tiongkok dan Philipina, Amerika Serikat memiliki kewajiban untuk terlibat langsung.

Seorang pejabat Amerika Serikat pada hari Sabtu (12/10) mengungkapkan kepada Reuters bahwa Rusia dan Tiongkok menghalangi rancangan pernyataan konsensus yang disusun negara-negara Asia Tenggara untuk KTT Asia Timur. Hal ini terkait penggunaan kata-kata dalam rancangan tersebut yang menyebut Laut China Selatan, di mana Rusia dan Tiongkok menolak beberapa istilah.

Pejabat tersebut menjelaskan bahwa rancangan pernyataan konsensus tersebut telah disepakati oleh sepuluh negara anggota ASEAN dan diajukan pada Kamis malam di KTT Asia Timur yang diadakan di Vientiane, Laos, yang dihadiri oleh 18 negara.

Pejabat yang tidak ingin disebutkan namanya tersebut mengatakan: “ASEAN mengajukan rancangan final ini dan menyatakan bahwa ini pada dasarnya adalah rancangan ‘terima atau hentikan’.” 

Pejabat itu juga menambahkan bahwa Amerika Serikat, Jepang, Australia, Korea Selatan, dan India bersedia mendukung pernyataan tersebut, tetapi Rusia dan Tiongkok menyatakan bahwa mereka tidak bisa menerima dan tidak akan melanjutkan pembahasan atas pernyataan ini.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pada konferensi pers yang diadakan pada hari Jumat di Vientiane menyatakan bahwa pernyataan akhir tidak disetujui karena “Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru terus berupaya menjadikannya pernyataan politik murni.”

Pernyataan ketua yang akhirnya dikeluarkan oleh ASEAN menyerukan penerapan langkah-langkah untuk mengurangi ketegangan, serta menghindari risiko salah paham dan salah penilaian di Laut China Selatan. Pernyataan tersebut mencatat bahwa negosiasi terkait Kode Etik Laut China Selatan telah mengalami “kemajuan positif” dan berpotensi membantu menyelesaikan sengketa kedaulatan di wilayah tersebut.

Tiongkok dan ASEAN telah sepakat sejak 2002 untuk merundingkan pembentukan Kode Etik Laut China Selatan, tetapi negosiasi aktualnya baru dimulai pada 2017.

Pernyataan ketua tersebut menegaskan bahwa ASEAN “berharap untuk segera mencapai sebuah kode etik yang efektif dan substantif” serta “sesuai dengan hukum internasional,” termasuk Konvensi PBB, mengenai Kode Etik Laut China Selatan.

Selain itu, terkait perang saudara di Myanmar yang semakin memburuk, pernyataan ketua ASEAN juga menyerukan penghentian segera konflik bersenjata, guna menciptakan “lingkungan yang kondusif” untuk pengiriman bantuan kemanusiaan dan menggelar dialog nasional inklusif yang “dipimpin oleh Myanmar.”

Myanmar, meskipun merupakan anggota ASEAN, terjebak dalam konflik bersenjata antara pemerintah militer dan kelompok perlawanan dalam negeri, yang juga menjadi perhatian utama ASEAN. Setelah kudeta 2021, pemerintah militer Myanmar sempat mengusulkan rencana damai lima poin, namun hampir tidak ada kemajuan yang terealisasi.

Reuters melaporkan bahwa sekitar sepertiga dari populasi Myanmar, yakni sekitar 18,6 juta orang, diperkirakan membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Dalam pernyataan ketua, ASEAN menyambut baik usulan Thailand untuk mengadakan pembicaraan informal terkait Myanmar yang dijadwalkan akhir tahun ini, yang kemungkinan juga akan melibatkan negara anggota ASEAN lainnya. (jhn/yn)