Apakah Perang Timur Tengah Ke-6 Sudah Berkobar?

oleh Yuan Jue

Pada 1 Oktober 2024, pertempuran sengit terjadi antara pasukan darat Israel yang menyeberang ke Lebanon dengan militan Hizbullah di bagian selatan Lebanon. Militer Israel menyebut serangan lintas batasnya sebagai “operasi terbatas, terlokalisasi, dan bertarget”, juga mengatakan bahwa pihaknya akan terus berjuang untuk mencapai tujuan termasuk “memulihkan keamanan di Israel utara”. 

Dari perspektif keseluruhan Timur Tengah terlihat bahwa operasi pembersihan Israel terhadap Hamas di Gaza belum berakhir, kini Israel harus menghadapi serangan dari Iran dan kelompok bersenjata Houthi. 

Jadi, Israel telah terlibat perang habis-habisan dengan negara-negara tetangga. Beberapa media bahkan menulis artikel yang menyebutkan bahwa Perang Timur Tengah ke-6 sudah berkobar. Benarkah demikian? Penulis mencoba untuk menganalisanya dari beberapa aspek.

Sejak Perang Timur Tengah pertama (atau Perang Pembebasan) yang pecah di hari kedua setelah Negara Israel berdiri pada 14 Mei 1948, hingga pecahnya Perang Timur Tengah ke-5 pada 6 Juni 1982 (juga dikenal sebagai Perang Lebanon), tentara Israel selalu berperang melawan kekuatan penuh dari pertahanan nasional negara-negara Arab. 

Tetapi kali ini, baik Hamas, Houthi di Yaman, maupun Hizbullah di Lebanon, tidak satu pun yang mewakili kekuatan pertahanan nasional dari negara mereka. Wilayah kendali Hamas terbatas hanya pada wilayah Gaza Palestina, dan Hizbullah hanya menguasai Lebanon selatan. Hamas, Houthi, dan Hizbullah semuanya dianggap organisasi teroris oleh negara-negara arus utama. 

Ketika Israel berperang melawan organisasi-organisasi ini, tidak hanya kekuatan pertahanan nasional negara tempat mereka berada tidak memberikan dukungan militer, tetapi negara-negara Arab lainnya juga tidak bersedia menginvestasikan pasukan untuk berpartisipasi dalam perang. Hal ini sangat berbeda dengan perang di Timur Tengah sebelumnya, Dimana beberapa negara Arab bergabung secara menyeluruh untuk melawan Israel.

Pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan teroris yang brutal dan tidak manusiawi terhadap warga sipil dan pangkalan militer Israel, hal ini membuat Israel mendapat dukungan moral dari sejumlah negara untuk menyerang balik Hamas. Fatah, yang juga merupakan bagian dari Otoritas Palestina, tidak memberikan bantuan kepada Hamas. 

Negara-negara Arab lainnya hanya mengutuk secara moral tetapi tidak mengambil tindakan militer terhadap Israel. Misalnya, Mesir membangun tembok pemisah di perbatasan untuk mencegah para pengungsi Gaza yang juga sama-sama orang Arab memasuki Mesir. 

Pelatihan militer dan dukungan senjata yang diterima Hamas dan Hizbullah lebih banyak datang dari Iran, yang ingin memanfaatkan situasi yang kacau untuk memperluas pengaruhnya demi mendapatkan kendali di Timur Tengah, dibandingkan dari negara-negara Arab lainnya. 

Model pembangunan negara-negara Arab saat ini lebih terdiversifikasi. Kekuatan regional seperti Mesir, Arab Saudi, dan Irak cenderung memilih kestabilan situasi dan memiliki lebih banyak energi untuk mengembangkan perekonomian mereka. Mesir yang merupakan negara tertua di kawasan itu telah menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Suriah terlalu sibuk untuk mengurus dirinya sendiri karena perang saudara. 

Ketegangan hubungan antara Arab Saudi dan Israel telah mereda dan terlihat ada tanda-tanda terjalinnya hubungan diplomatik yang normal, agar mereka dapat memiliki lebih banyak energi untuk menghadapi Iran, yang terus memperluas pengaruhnya. Mereka tidak mau terlibat dalam konflik militer dengan Israel. 

Dunia Arab kini kekurangan figur-figur yang berkekuatan militer dan politik seperti Nasser di Mesir dan Saddam Hussein di Irak untuk mempersatukan negara-negara Arab dalam konfrontasi mereka dengan Israel. Inilah sejumlah perbedaan situasi dibandingkan dengan perang-perang di Timur Tengah sebelumnya.

Iran, yang bukan negara Arab tetapi menganut Islam, memiliki eksistensi istimewa di Timur Tengah. Sebagai negara teokratis dengan 90% Muslim Syiah, Iran telah mendukung Suriah, Hizbullah, dan Hamas melalui perang proksi, dan terus berusaha untuk memperluas pengaruhnya demi mendapatkan kendali di dunia Islam. 

Selama perang Hamas-Israel, Korps Garda Revolusi Islam Iran melancarkan serangan drone dan rudal terhadap Israel melalui pangkalan militernya di Suriah. Pada 27 September tahun ini, pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah dan wakil komandan Korps Pengawal Revolusi Islam Iran tewas dalam serangan mendadak oleh tentara Israel. 

Pada 1 Oktober, Iran melancarkan lebih dari 100 serangan rudal balistik ke Israel sebagai pembalasan, memaksa ribuan warga bersembunyi di tempat perlindungan serangan udara. Meski begitu, penulis tetap berpendapat bahwa mustahil terjadi perang besar-besaran antara Israel dan Iran. Dari sudut pandang geografis, kedua negara tersebut terpisah ribuan mil, dan Yordania dan Irak berada di tengah-tengahnya yang menjadi hambatan. 

Lagi pula kekuatan angkatan laut dan udara kedua negara belum cukup untuk mencapai wilayah pihak lain. Sebagian besar negara Arab tidak mendukung tindakan Iran di Timur Tengah dan khawatir dengan semakin besarnya pengaruh Iran. Serangan balasan rudal Iran ke Israel pada 1 Oktober bahkan terlebih dahulu diberitahukan kepada sekutu terbesar Israel, Amerika Serikat. 

Sehingga militer Israel mampu melakukan pencegatan dengan mengirim sistem Iron Dome untuk meminimalisasi jumlah korban jiwa.  Penulis menilai bahwa serangan balasan tersebut tak lain cuma sebuah tanggapan simbolis terhadap pembunuhan pemimpin Hizbullah beberapa hari sebelumnya. 

Teknologi tinggi telah mengubah cara peperangan modern. Dalam perang di Timur Tengah sebelumnya, Israel belum pernah kalah, bahkan meraih keunggulan yang lebih besar setiap kali berperang. Dalam perang udara di Lembah Bekaa antara Israel dan Suriah tahun 1982, Israel berhasil menciptakan total kemenangan sebesar 82:0. Ini adalah sebuah keajaiban dalam sejarah pertempuran udara dunia. 

Setelah itu, negara-negara Arab terpaksa mengakui adanya kesenjangan kekuatan militer dengan Israel, oleh sebab itu mereka tidak lagi berniat untuk melancarkan perang Timur Tengah berskala besar. Perang Timur Tengah yang terjadi sebelumnya semua berlatar belakang Perang Dingin. Kedua kubu yang berperang masing-masing mendapat dukungan dari negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet. 

Pola Perang Dingin tidak lagi ada pasca disintegrasinya Uni Soviet pada tahun 1991. Meski Rusia kini masih memberikan dukungan finansial dan militer kepada Iran, namun sudah sangat terbatas karena terjebak dalam perang dengan Ukraina. 

Melalui operasi pemenggalan kepala yang ditargetkan, militer Israel berhasil membunuh Ketua Politbiro Hamas Ismail Haniyeh dan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah, yang secara efektif telah menghalangi dan membendung kekuatan musuh serta mencapai tujuan operasi militernya. 

Saat ini, Hamas telah terkepung seluruhnya di wilayah kecil Gaza, dan Hizbullah juga menderita pukulan berat, sehingga sulit untuk melanjutkan serangan besar-besaran terhadap Israel dalam waktu singkat. Tujuan utama dan pasti dari operasi militer Israel adalah melenyapkan kekuatan proksi Iran di Timur Tengah seperti Hamas dan Hizbullah, agar mereka tidak lagi melancarkan serangan ke Israel di masa mendatang.

Hingga tulisan ini dibuat, sedikitnya 6 orang warga Israel tewas dalam serangan rudal Iran dan terorisme domestik. Dapat diperkirakan bahwa Israel, negara yang tidak banyak mengeluarkan kata-kata kasar, tidak akan menyerah. 

Perdana Menteri Netanyahu mengatakan : “Malam ini Iran telah membuat kesalahan besar – Ia harus menanggung akibatnya”. Saat ini, Angkatan Udara Israel telah dikirim untuk menyerang Iran yang jaraknya ribuan mil. Situasi di Timur Tengah telah berubah dari perang proksi menjadi konfrontasi langsung antara Israel dan Iran. 

Mari kita tunggu dan lihat apakah hal ini akan berubah menjadi perang Timur Tengah skala penuh di hari-hari mendatang ! (Lin)