Pada Minggu (29 Desember) lalu, mantan pemain sepak bola nasional Georgia yang pro-Rusia, Mikheil Kavelashvili, dilantik sebagai presiden negara tersebut. Pelantikannya memicu aksi protes besar-besaran di ibu kota Tbilisi, di mana terjadi bentrokan antara massa dengan polisi. Para demonstran menuduh adanya kecurangan dalam proses pemilu dan menuntut pemilu ulang.
ETIndonesia. Mikheil Kavelashvili, mantan atlet sepak bola pro-Rusia, dilantik sebagai Presiden Georgia di gedung parlemen. Partainya, “Georgia Dream”, yang memenangkan pemilu parlemen pada 26 Oktober, menuduh Barat mencoba menyeret Tbilisi ke dalam perang Rusia-Ukraina.
Pada Minggu yang sama, ribuan warga pro-Barat di Tbilisi turun ke jalan, menuju gedung parlemen untuk menyuarakan protes.
Banyak di antara mereka mengangkat “kartu merah”, menuntut Kavelashvili mundur dan mendesak pemerintah untuk melanjutkan negosiasi bergabung dengan Uni Eropa. Mereka juga meminta bantuan Uni Eropa untuk melawan kontrol Rusia terhadap Georgia.
Seorang demonstran bernama Sophie Shamanidi mengatakan, “Karena hari ini presiden kita adalah seorang pemain sepak bola, kami memberinya kartu merah. Langkah selanjutnya adalah mengeluarkannya dari lapangan. Rakyat Georgia pasti akan melakukannya.”
Di lokasi protes, sejumlah orang ditangkap oleh polisi. Pada demonstrasi sebelumnya, pada 2 Desember, sekitar 400 orang juga ditahan.
Presiden Georgia yang akan segera meninggalkan jabatannya, Salome Zourabichvili, pada Minggu lalu menyampaikan pidato kepada ribuan pendukungnya. Ia menyatakan bahwa meski akan meninggalkan Istana Orbeliani, ia tidak akan menyerah untuk kembali menduduki jabatan presiden.
Salome Zourabichvili mengatakan, “Saya membawa legitimasi, saya membawa bendera negara, dan saya membawa kepercayaan dari kalian.”
Pada pemilu Oktober lalu, partai pro-Rusia “Georgia Dream” memenangkan lebih dari 54% suara. Zourabichvili dan pihak oposisi menuduh adanya kecurangan pemilu dan menduga Rusia mempengaruhi hasil pemilu tersebut.
Georgia, yang memiliki sekitar 3,7 juta penduduk, selama ini dikenal sebagai salah satu negara bekas Uni Soviet yang paling demokratis dan pro-Barat. Negara ini telah menetapkan tujuan bergabung dengan Uni Eropa dalam konstitusinya.
Namun, setelah negosiasi dengan Uni Eropa dihentikan pada November lalu, situasi politik di negara ini semakin tidak stabil. (Hui)
Sumber : NTDTV.com