Divisi ke-12 Korea Utara Diberantas Tanpa Ampun Oleh Militer Ukraina Saat Menyerang dengan Berjalan Kaki

[Badan Intelijen Militer]

Sebuah rekaman video terbaru dari garis depan menunjukkan, sejumlah besar tentara Korea Utara yang dilibatkan dalam perang Rusia-Ukraina telah mengalami gempuran tanpa ampun dari militer Ukraina di medan perang. Adapun tentara yang berasal dari Divisi ke-12 militer Korea Utara tersebut masih belum terlalu lama dibentuk oleh Kim Jong-un yang tugasnya adalah menjaga perbatasan dengan Tiongkok.

Rekaman video terbaru menunjukkan bahwa setidaknya puluhan orang tentara infanteri Korea Utara yang bergabung  dalam serangan tentara Rusia ke Kursk dapat terlihat dengan jelas karena berlatar belakang salju. Ini adalah untuk pertama kalinya tentara infanteri Korea Utara muncul dalam skala besar di medan perang. 

Dalam rekaman video kedua, terlihat tentara Rusia dan Korea Utara berlari kocar kacir mungkin akibat gempuran artileri Ukraina. Dalam rekaman video ketiga terlihat belasan tentara Korea Utara berkumpul di hutan Kursk. Bahkan ada gambar yang diekspos di Internet memperlihatkan sejumlah besar tentara Korea Utara dan Rusia, namun karena sensitivitasnya, gambarnya tidak kami tampilkan di sini.

Semua video tersebut direkam oleh drone Ukraina, menunjukkan tentara Korea Utara melancarkan serangan dengan berjalan kaki di salju tanpa menerima dukungan serangan dari tank, artileri, atau pesawat.

Tentara Korea Utara tidak dilengkapi senjata berat atau peralatan modern

Ini benar-benar berbeda dengan model serangan tentara Rusia yang pernah kita lihat sebelumnya. Serangan Rusia setidaknya mendapat dukungan dari sejumlah besar pasukan mekanis, seperti tank, kendaraan tempur infanteri. Kalau pun tentara infanteri yang melancarkan serangan kelompok, pasukan biasanya bergerak maju dari daerah berpepohonan atau ladang bertanaman tinggi untuk menghindari area yang terbuka karena mudah terdeteksi oleh musuh.

Meskipun Korea Utara telah mengirim lebih dari 10.000 orang tentara ke Rusia saat ini, tetapi mereka tanpa perlengkapan senjata berat, seperti kendaraan lapis baja, tank dan lainnya. Penyebabnya ada dua: Tentara Korea Utara sendiri hanya memiliki senjata berat yang terbatas baik dalam jumlah maupun kemampuannya. 

Saat ini, tank utama milik militer Korea Utara yang berjumlah kurang dari 1.000 unit adalah tank Tipe 59 produksi Tiongkok, dan lebih dari 1.600 unit tank tipe T-54 yang diproduksi oleh Uni Soviet. Tank Tipe 59 sebenarnya merupakan tank T-54 versi PKT yang diluncurkan pada tahun 1945 dan diproduksi massal pada tahun 1947. Saat pertama kali tank ini diluncurkan, Perang Dunia II belum berakhir. Jadi dari segi sistem tenaga, pengendalian tembakan maupun sistem pembidiknya, tank-tank ini jelas kalah jauh dari tank modern.

Meski kemampuan tank-tank ini kurang menunjang untuk digunakan dalam pertempuran modern, mereka saat ini masih dijadikan kekuatan tempur utama oleh Tentara Lapis Baja Korea Utara. Ketika situasi di Semenanjung Korea sedang tegang seperti saat ini, Korea Utara menghindari pengiriman tanknya ke Rusia. 

Apalagi tentara Rusia sendiri sangat butuh pasokan tank karena telah kehilangan ribuan unit tank dalam perang tiga tahun terakhir, sampai-sampai tank antik pun terpaksa dimanfaatkan. Seperti T-54 yang baru saja kita sebutkan, muncul di medan perang Ukraina. Jadi jika tank reguler milik Rusia saja tidak cukup untuk mendukung serangan tentara Rusia, bagaimana serangan yang dilakukan tentara Korea Utara bisa mendapat dukungan tembakan dari tank di belakang?

Badan Intelijen Umum Ukraina yang merilis kabar terbaru menyebutkan, bahwa pasukan Korea Utara itu sedang mempersiapkan serangan ke wilayah Kursk di Ukraina. Sementara pejabat pertahanan Ukraina menyatakan bahwa tentara Korea Utara di wilayah Rusia memang sedang Bersiap untuk melancarkan serangan. Namun, karena rumor kemampuan berperang tentara Korea Utara terlalu dibesar-besarkan, jadi mereka juga dimusnahkan seperti tentara musuh lainnya.

Beberapa tentara Ukraina di garis depan mengatakan bahwa tentara Korea Utara yang mendukung Rusia telah bergabung dalam pertempuran tersebut sejak seminggu yang lalu. Seorang bintara dari Batalion Komando “Adar” ke-24 menulis di akun Telegram yang berbunyi: Tentara Korea Utara yang terlatih, dan bersemangat tinggi, berdarah dingin, hanya akrab dengan senjata buatan era Uni Soviet. Namun, pejabat tersebut juga mengungkapkan bahwa para komandan Rusia tidak memahami efektivitas tempur sebenarnya dari tentara Korea Utara dan hanya menjadikan mereka sebagai tameng manusia yang diperintahkan untuk terus maju menyerang.

Warga Ukraina mengatakan bahwa Korea Utara belum dan tidak akan siap menghadapi serangan pesawat tak berawak kami, mereka akan mati seperti orang-orang Rusia. Selain itu, koordinasi antar mereka masih sangat buruk.

Divisi ke-12 Korps Pengemis Korea Utara dibentuk untuk mencegah tentara PKT

Saya juga menemukan hal yang sangat menarik ketika membaca laporan Forbes. Tentara Korea Utara yang dikirim ke medan perang Ukraina, kecuali beberapa yang tergabung dalam pasukan khusus, mereka sebagian besar berasal dari Korps Angkatan Darat Divisi ke-12. Yang menarik adalah, korps ini sebenarnya dibentuk untuk mencegah tentara PKT.

Menurut laporan media Chosun Ilbo, Partai Komunis Tiongkok tidak lagi menganggap Korea Utara sebagai asetnya sendiri, dan hubungan antara kedua negara terus merenggang setelah eksekusi mati terhadap Jang Song-thaek pada tahun 2013. Korea Utara juga menganggap Tiongkok sebagai musuhnya, terutama setelah uji coba nuklir ketiga Korea Utara pada tahun 2013, dan tentara Komunis Tiongkok mulai mengerahkan pasukannya di perbatasan dengan Korea Utara. 

Korps Angkatan Darat yang diberi nama Divisi ke-12 ini dibentuk oleh Kim Jong-un pada tahun 2010 yang ditempatkan di wilayah perbatasan Tiongkok-Rusia khusus untuk mencegah masuknya pasukan Komunis Tiongkok. Divisi tersebut sebagian besar adalah infanteri mekanik atau infanteri daerah pegunungan, dan termasuk Brigade Infanteri Lapis Baja ke-42, Brigade Infanteri Ski ke-43, dan Brigade Artileri ke-934.

Sedangkan media Korea Selatan “Daily NK”, Divisi ke-12 ditempatkan di Ryanggang, sebuah provinsi di Timur laut Korea Utara yang berbatasan dengan Tiongkok. Masyarakat di Provinsi Ryanggang, menyebut Divisi ke-12 ini sebagai “tentara pengemis”, atau geng preman. 

Di bawah krisis ekonomi Korea Utara yang parah, tentara yang kekurangan pasokan makanan dan amunisi, tanpa peduli terhadap citra pasukan, anggota tentaranya sering melakukan perampokan atau perampasan terhadap harta milik warga. 

Laporan yang diterbitkan pada tahun 2018 itu menyebutkan bahwa masyarakat lokal Korea Utara melarikan diri ke segala arah begitu mereka melihat tentara dari Divisi ke-12, seolah-olah mereka bertemu hantu. Karena mereka datang berkelompok untuk merampok harta warga, menipu warga yang ditemui dan tidak jarang melakukan pemukulan terhadap warga yang berani melawan.

Menurut sumber, akibat kekurangan pangan, tentara dari Divisi ke-12 ini menderita gizi buruk, bahkan tidak sedikit yang terserang penyakit TBC dan penyakit lainnya. Pihak berwenang Korea Utara telah mendirikan sanatorium tuberkulosis sementara di daerah Samsu, dengan 35% penghuni sanatorium tersebut adalah perwira militer. Perwira saja menderita TBC dan penyakit lain akibat kekurangan gizi, lalu apa yang terbayang oleh kita tentang kondisi yang ada pada divisi tersebut?

Namun, polisi Penjaga Perbatasan Provinsi Ranggang, yang juga ditempatkan di daerah perbatasan, bisa berpakaian lebih bagus dan memiliki makanan yang cukup. karena mereka menguasai jalur penyelundupan lokal dan berhasil mengumpulkan dana dalam jumlah besar. 

Berbeda dengan Divisi ke-12 yang dibenci warga masyarakat lokal karena suka merampok. Sampai masyarakat mewanti-wanti jangan sampai putranya bergabung dengan korps tersebut. Alhasil, Kim Jong-un memutuskan pengiriman tentara tersebut ke medan perang Rusia. Semoga saja mereka bisa mendapatkan cukup makanan di Rusia.

Militer Korea Utara tidak dapat memberikan lebih banyak bantuan substansial kepada Rusia

Ada beberapa alasan yang membuat pasukan Korea Utara tidak dapat memberikan lebih banyak bantuan substansial kepada Rusia, seperti yang pertama, kurangnya dukungan senjata berat yang sudah disebutkan sebelumnya. Tampaknya senjata berat yang diberikan militer Rusia kepada tentara Korea Utara sangat terbatas.

Kedua, kurangnya kemampuan untuk mengkoordinasikan operasi. Seperti koordinasi antara infanteri dengan tank. Koordinasi dalam operasi antara infanteri dengan artileri. Ketika pasukan infanteri menghadapi masalah, mereka harus meminta dukungan artileri dari belakang dan menyampaikan posisi musuh secara akurat ke bagian artileri yang berada di belakangnya.

Namun tentara Korea Utara pergi bertempur dalam kondisi buta lokasi medan perang juga tidak mengerti bahasa Rusia. Mereka sama sekali tidak mampu berkoordinasi dengan angkatan udara dan artileri Rusia. Dengan demikian berarti, tentara Korea Utara hanya dijadikan sebagai perisai manusia, dan komandan tempur Rusia hanya memanfaatkan tentara Korea Utara untuk membuka celah serangan atau untuk menemukan kelemahan di lini depan tentara Ukraina dengan mengabaikan keselamatan prajurit.

Masalah ketiga adalah tentara Korea Utara tidak memiliki metode tempur modern seperti drone. Kita tahu bahwa drone memainkan peran yang sangat penting dalam perang ini. Ketika Rusia menyerang Ukraina, banyak pasukannya yang tidak dilengkapi drone. Saat itu, militer Ukraina menggunakan drone TB2 Turki, sehingga menimbulkan kesulitan besar bagi pasukan lapis baja Rusia dalam serangannya. 

Tentu saja, Rusia bukanlah orang bodoh. Dalam dua tahun ke depan, mereka juga telah memperkenalkan sejumlah besar drone, termasuk beberapa drone bunuh diri tipe serangan, dan juga memperkenalkan sejumlah besar drone pengintai buatan Tiongkok. Drone dapat memberikan intelijen medan perang secara tepat waktu dan juga dapat digunakan untuk menyerang. Drone kini telah menjadi protagonis perang Ukraina. Bagi masyarakat Korea Utara yang masih awam dengan teknologi modern seperti drone, atau Internet. Jelas mengalami kesulitan untuk mengoperasikan drone.

Meskipun telah ditunjang oleh tekad yang kuat, tetapi tanpa dukungan senjata berat, dan minim kemampuan untuk mengoordinasikan operasi, juga tidak tahu bagaimana menggunakan metode tempur modern seperti drone. Tentara Korea Utara hanya menjadi umpan meriam di medan perang Kursk .

Rusia dan Iran menolak memberikan bantuan

Kaburnya Bashar al-Assad bukan hanya karena kuatnya angkatan bersenjata oposisi dalam negeri tetapi juga karena penolakan Rusia dan Iran untuk memberikan bantuan. Assad melakukan kunjungan darurat ke Moskow sehari setelah pemberontak Suriah memulai serangan mereka di Aleppo. Menurut Reuters, Assad ingin Rusia melakukan intervensi militer, namun permintaan ini ditolak mentah-mentah oleh Rusia.

Juru bicara Rusia Dmitry Peskov mengatakan kepada wartawan pada Rabu lalu bahwa pemerintah Rusia telah menghabiskan banyak energi untuk membantu Suriah di masa lalu, namun kini prioritas utama Rusia adalah perang di Ukraina. Namun, Assad kembali ke negaranya dan memberi tahu para jenderal dan komandannya bahwa bantuan Rusia sedang dalam perjalanan.

Rusia menolak bantuan, dan Assad mengalihkan harapannya kepada Iran. Pada 2 Desember, Menteri Luar Negeri Iran bertemu dengan Assad di Damaskus. Pada saat ini, Aleppo telah jatuh dan kekuatan oposisi sedang bergerak menuju Damaskus, ibukota Suriah.

Dalam pertemuan dengan menteri luar negeri Iran, Assad mengaku bahwa pasukannya terlalu lemah untuk melakukan serangan balik yang efektif. Namun dalam pertemuan tersebut, Assad tidak secara tegas meminta Iran mengirimkan pasukan untuk membantunya, karena Assad sadar bahwa jika Iran mengirimkan pasukan, Israel pasti akan mengirimkan pasukan untuk mengintervensi sehingga situasi menjadi semakin sulit untuk diatasi.

Dalam keputusasaan, masih terpikir oleh Assad untuk meminta bantuan dari Israel. Menurut laporan dari sebuah surat kabar lokal di Arab Saudi, bahwa Assad mengirimkan pesan berisi minta bantuan kepada Israel melalui sekutunya di Eropa. Tetapi mendapat tanggapan yang tegas dari Israel: “Kami tidak khawatir dengan apa yang terjadi di Suriah, namun jika Anda menginginkan bantuan, syarat pertama adalah mengusir semua elemen Iran, termasuk milisi. Setelah itu, kami baru akan mempertimbangkan pemberian bantuan”.

Namun, saat ini, hanya tersisa sedikit ruang dan waktu bagi Assad untuk bertindak dan bernegosiasi dengan Israel. Assad secara bertahap menyadari bahwa dirinya sudah tidak mungkin bisa bertahan atau membalikkan keadaan, tidak punya pilihan selain melarikan diri. Meskipun Assad pada awalnya mempertimbangkan untuk melarikan diri ke Uni Emirat Arab. Namun, Uni Emirat Arab menolak permintaan Assad dengan alasan khawatir terhadap tekanan dari Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Meski Rusia tidak bisa memberikan bantuan militer kepada rezim Assad, namun Rusia bersedia memberikan suaka kepada Assad. Untuk mencapai tujuan ini, Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov melakukan mediasi dengan Turki dan Qatar untuk memastikan Assad dapat meninggalkan Suriah dengan selamat. Itu sebabnya mengapa pesawat Assad terbang ke pangkalan militer Rusia baru kemudian menumpang pesawat Rusia terbang menuju Moskow. Selama penerbangan tersebut, Rusia telah mencapai kesepakatan dengan Turki untuk memastikan bahwa pesawat tersebut tidak akan ditembak jatuh oleh militer atau pasukan anti-pemerintah Turki.

Kinerja Zelenskyy selama invasi Rusia

Setelah melihat kinerja Assad, mari kita lihat kinerja Zelensky selama invasi Rusia.

Presiden Ukraina Zelensky menghadapi situasi yang jauh lebih sulit dibandingkan Assad. Saat itu, kekuatan militer Rusia beberapa kali lipat lebih besar dari pemberontak Suriah, dan front militernya diarahkan langsung ke ibu kota Kiev. Rusia telah melancarkan perang intelijen komprehensif terhadap Ukraina, dan pada saat yang sama menyebarkan rumor di Internet yang berbunyi: Zelensky telah melarikan diri hari ini atau besok, pokoknya dia sudah tidak lagi berada di Kiev.

Untuk menanggapi rumor ini, Zelensky terpaksa merekam video setiap hari dan mempostingkannya secara online, mengatakan bahwa saya ada di sini, di Kiev, di tengah-tengah semua orang untuk berjuang bersama. Sejujurnya, pada saat itu negara-negara Barat tidak banyak memberikan bantuan militer kepada Ukraina. Ukraina mampu mempertahankan diri dan berperang hingga saat ini sepenuhnya bergantung pada diri mereka sendiri dan presidennya.

Saat itu, terdapat pemberitaan media di Amerika Serikat bahwa beberapa pakar dan analis militer yakin Kiev akan jatuh dalam waktu tiga hari. Pandangan ini tidak hanya muncul di kalangan opini publik Tiongkok, tetapi juga umum di media Barat. Saat itu, negara-negara Barat tidak memberikan senjata berat seperti tank, pesawat, atau artileri ke Ukraina. Mereka hanya memberikan senjata anti-tank secara terbatas sebelum perang, seperti rudal Javelin dari Amerika Serikat, rudal NLAW dari Swedia dan Inggris, dan beberapa sistem rudal anti-pesawat.

Dilema yang dihadapi Zelensky jauh lebih serius dibandingkan dilema Assad. Coba pikirkan, Rusia  masih memiliki pangkalan militer dan kehadiran garnisun di Suriah. Selama serangan bersenjata anti-pemerintah, Angkatan Udara Rusia bahkan dikerahkan untuk membantu pemerintahan Assad untuk mengebom sasaran. Sedangkan Rusia memiliki pangkalan angkatan laut dan pangkalan udara di Suriah, juga menempatkan jet tempur MiG-31, Su-35, serta sistem pertahanan udara S-400.

Saat menghadapi invasi Rusia, Ukraina hanya mengandalkan kemampuannya sendiri dalam memberikan perlawanan. Jangankan bantuan senjata dari Barat pada saat itu. Ketika Ukraina meminta bantuan dari AS untuk mengirimkan rudal MIM-104 Patriot, tetapi tanggapan yang diperoleh dari pemerintahan Joe Biden adalah “penundaan”, sampai 1 tahun kemudian baru terealisasi. Ukraina juga meminta bantuan tank kepada AS, tetapi lagi-lagi mendapat jawaban berupa: “Biarkan kami memikirkannya lagi, jangan terlalu membuat Rusia kesal”. Akibatnya, penantiannya memakan waktu satu tahun lagi. Jadi Ukraina benar-benar mengandalkan kekuatan diri untuk menahan invasi militer Rusia pada tahun 2022.

Bahkan pada 26 Februari, hanya beberapa hari setelah perang berkobar, Amerika Serikat memberi tahu Zelensky: “Jika Anda ingin melarikan diri, kami dapat membantu Anda mengungsi ke negara lain”. Zelensky menjadi marah ketika mendengar hal itu: “Pertempuran ada di sini, yang saya inginkan adalah amunisi, bukan tumpangan”.

Mendengar kalimat ini membuat orang terkagum-kagum. Jika Zelensky memilih melarikan diri saat itu, seluruh situasi di Ukraina akan runtuh dalam sekejap, seperti situasi di Suriah dan Afghanistan. Rusia mungkin menduduki seluruh wilayah Ukraina dalam waktu seminggu, membentuk pemerintahan boneka, dan akhirnya mencaplok Ukraina melalui berbagai cara.

Pada  Maret 2024, Bashar al-Assad mengatakan kepada media Rusia bahwa Zelensky lebih sukses berperan sebagai komedian daripada pemimpin negara. Alhasil, setengah tahun kemudian, Assad sendiri tidak lagi menjadi pemimpin negara, melainkan menjadi seorang komedian. Padahal Bashar al-Assad telah dibantu oleh Rusia dan Iran, malahan melarikan diri dengan tergesa-gesa saat negaranya bermasalah, membohongi para jenderal, bahkan membohongi saudaranya sendiri. Apakah ia lebih patriotik daripada Zalenskyy? (***)

FOKUS DUNIA

NEWS