ETIndonesia. Setelah menjabat, kebijakan tarif yang diumumkan oleh Donald Trump ternyata lebih konservatif dibandingkan dengan pernyataan kampanyenya. Apa pertimbangan dan strategi di balik langkah ini? Berikut analisisnya.
Setelah menjabat, Trump mengambil sikap lebih hati-hati dalam masalah perdagangan dan tarif. Ia menginstruksikan lembaga federal untuk menyelesaikan tinjauan ulang kebijakan perdagangan AS yang ada sebelum 1 April. Trump juga mengumumkan rencana untuk mempertimbangkan pengenaan tarif sebesar 25% terhadap barang impor dari Kanada dan Meksiko mulai 1 Februari, guna memaksa kedua negara tersebut membatasi aliran fentanyl dan imigran ilegal ke Amerika Serikat.
Menurut laporan The Wall Street Journal, pemerintahan Trump bermaksud untuk mempercepat tinjauan Perjanjian Amerika Serikat-Meksiko-Kanada (USMCA) dan melakukan negosiasi ulang. Perjanjian ini, yang ditandatangani pada masa jabatan pertama Trump sebagai pengganti NAFTA, sebenarnya baru akan ditinjau ulang secara hukum pada tahun 2026.
Strategi Menghadapi Kanada dan Meksiko
“Kanada dan Meksiko sangat bergantung pada Amerika Serikat dalam perdagangan dan sosial. Trump memilih dua negara yang lebih mudah untuk diajak negosiasi sebagai langkah awal, untuk menunjukkan kepada dunia internasional niatnya untuk melakukan perundingan,” ujar David Huang, seorang ekonom AS.
Sejak ditandatanganinya USMCA, Meksiko dan Kanada menjadi mitra dagang terbesar pertama dan kedua bagi AS, sedangkan Tiongkok berada di peringkat ketiga. Namun, defisit perdagangan terbesar AS tetap berasal dari Tiongkok. Pada tahun 2024, surplus perdagangan Tiongkok mencetak rekor hampir mencapai 1 triliun dolar AS (992 miliar dolar AS), di mana sepertiga dari jumlah itu berasal dari AS.
Langkah Bertahap Terhadap Tiongkok
Hingga saat ini, Trump belum mengumumkan kenaikan tarif terhadap ketidakseimbangan perdagangan AS-Tiongkok. Namun, karena aliran fentanyl dari Tiongkok ke Meksiko dan Kanada, Trump mempertimbangkan untuk memberlakukan tarif 10% terhadap barang impor dari Tiongkok mulai 1 Februari. Ia juga menandatangani memorandum untuk mengubah kebijakan bebas pajak bagi barang impor dari Tiongkok senilai di bawah 800 dolar AS, karena barang-barang tersebut seringkali mengandung bahan baku awal untuk produksi fentanyl.
Para analis melihat ini sebagai langkah bertahap sebelum hasil tinjauan ulang kebijakan perdagangan selesai.
“Sebagian besar pabrik di Tiongkok sudah dipindahkan ke Meksiko dan melakukan perdagangan transit ke AS melalui Meksiko. Kanada juga lebih condong ke Tiongkok. Jika Trump dapat menyelesaikan masalah ini, jalur pilihan bagi Beijing untuk memasukkan barang-barang ke AS akan semakin berkurang,” David Huang menambahkan.
Tuntutan Baru dari AS
Dalam sidang konfirmasi di Senat minggu lalu, Menteri Keuangan yang dicalonkan oleh Trump, Vincent Besant, mengatakan bahwa ia akan menekan Beijing untuk memenuhi perjanjian perdagangan fase pertama yang ditandatangani pada tahun 2020 dengan AS. Selain itu, ia akan menambahkan klausul kompensasi atas komitmen Beijing yang tidak dipenuhi.
Pada saat itu, perjanjian perdagangan AS-Tiongkok mengharuskan Tiongkok meningkatkan pembelian barang dan jasa dari AS senilai 200 miliar dolar dalam waktu dua tahun. Namun, Institut Ekonomi Internasional Peterson memperkirakan bahwa Tiongkok tidak melakukan pembelian tambahan yang dijanjikan tersebut.
Respons dari Beijing
Mengenai rencana tarif tambahan 10% dari Trump, juru bicara Kementerian Luar Negeri PKT, Mao Ning, mengatakan bahwa “perang dagang dan tarif tidak akan menghasilkan pemenang.” Meski demikian, pemerintah Beijing justru mengumumkan penyelidikan anti-subsidi terhadap chip berproses matang dari AS dan memberlakukan tarif anti-dumping terhadap plastik industri yang diimpor dari AS dan Eropa.
Selain itu, panggilan video antara Xi Jinping dan Vladimir Putin pada 21 Januari diinterpretasikan sebagai sinyal dari Xi kepada AS bahwa Tiongkok siap menghadapi konfrontasi. (Hui)
Sumber : NTDTV.com