Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan perintah untuk menaikkan tarif sebesar 10% terhadap barang impor dari Tiongkok. Sementara itu, industri garmen Tiongkok hanya memiliki margin keuntungan rata-rata 4,24%, sehingga kebijakan ini memberikan tekanan besar terhadap bisnis mereka. Akibatnya, banyak perusahaan pakaian Tiongkok mempercepat relokasi produksi ke Asia Tenggara
ETIndonesia. Pada 1 Februari 2025, Trump menandatangani perintah eksekutif yang menetapkan tarif tambahan 10% untuk barang impor dari Tiongkok dan tarif 25% untuk barang impor dari Meksiko dan Kanada. Kebijakan ini mulai berlaku pada 4 Februari.
Langkah tarif ini memberikan pukulan besar terhadap bisnis ekspor tekstil dan pakaian Tiongkok ke AS. Demi bertahan, banyak perusahaan Tiongkok mulai memindahkan rantai pasokan mereka ke Asia Tenggara.
Sejak putaran pertama tarif yang diberlakukan Trump pada awal 2020, keuntungan produk ekspor Tiongkok ke AS semakin tergerus. Beberapa produk tekstil dan pakaian bahkan sudah berada di ambang batas keuntungan minimum.
Menurut data dari Asosiasi Pakaian Tiongkok, pada tiga kuartal pertama tahun 2024, tingkat laba bisnis industri pakaian Tiongkok hanya mencapai 4,24%, turun 0,14% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023. Jumlah ekspor pakaian mencapai 25,25 miliar unit, meningkat 11,3% dari tahun sebelumnya, tetapi harga rata-rata ekspor per unit turun 11,8% menjadi hanya 3,8 dolar AS.
Menurut laporan BBC bahasa mandarin pada 2 Februari, seorang pengusaha asal Tiongkok bernama Huang telah mendirikan pabrik keduanya di Phnom Penh, Kamboja.
“Beberapa pelanggan mengatakan kepada perusahaan Tiongkok: ‘Jika kalian tidak memindahkan produksi ke luar negeri, kami akan membatalkan pesanan.’” kata Huang.
Ia menjelaskan bahwa biaya tarif biasanya ditanggung oleh pemasok. Jika produksinya tetap di Tiongkok, ia memperkirakan bahwa tarif tambahan 10% akan mengurangi pendapatannya hingga 800.000 dolar AS, angka yang lebih besar dari total keuntungannya.
“Ini jumlah yang sangat besar, kami tidak bisa menanggungnya. Dengan tarif ini, mustahil untuk terus memproduksi pakaian di Tiongkok,” ujarnya.
Merek-merek besar seperti Nike, Adidas, dan Puma telah lebih dulu memindahkan produksi mereka ke Vietnam. Kini, banyak perusahaan Tiongkok juga mulai menata ulang rantai pasokan mereka.
Huang menjelaskan kepada BBC bahwa kebijakan ini akan mempercepat relokasi pabrik ke negara lain. Di sekitar pabriknya di Kamboja, kini muncul banyak pabrik baru yang didirikan oleh perusahaan dari Shandong, Zhejiang, Jiangsu, dan Guangdong, yang memproduksi jaket musim dingin dan sweater.
Ekonom independen Tiongkok, He Jiangbing, mengatakan kepada Voice of America (VOA) melalui telepon bahwa “ekonomi Tiongkok masih akan terpukul keras oleh tarif tambahan dari Trump, karena selama ini Tiongkok bergantung pada ekspor untuk mendorong pertumbuhan ekonominya.”
Selain itu, pada 15 November 2024, Kementerian Keuangan PKT dan Administrasi Pajak Negara mengeluarkan pemberitahuan mengenai penyesuaian kebijakan pengembalian pajak ekspor untuk produk seperti aluminium dan berbagai tekstil berbahan serat karbon dan serat kaca. Sejak 1 Desember 2024, tarif pengembalian pajak ekspor untuk produk-produk ini dikurangi dari 13% menjadi 9%.
Kenny Yao, seorang konsultan di AlixPartners, mengatakan kepada BBC bahwa perusahaan-perusahaan Tiongkok kini mulai khawatir apakah Trump akan memperluas kebijakan tarifnya ke negara lain yang menjadi tujuan relokasi rantai pasokan. (Hui)
Sumber : NTDTV.com