Kejutan Global: Trump Umumkan Rencana Ambisius Ambil Alih Gaza dan Ciptakan ‘Riviera Timur Tengah’!

EtIndonesia. Dalam pernyataan yang mengguncang kancah geopolitik global, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara terang-terangan menyampaikan rencana kontroversialnya untuk mengambil alih wilayah Gaza. Menurut pernyataan yang disampaikan dalam pertemuan di Gedung Putih bersama Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, AS akan “meratakan” Gaza, membersihkan sisa-sisa bahan peledak dan ranjau, lalu membangun kembali kawasan tersebut dengan konsep seperti kawasan wisata mewah, yang diklaim Trump sebagai “Riviera Timur Tengah”.

Rencana Besar yang Menggemparkan

Dalam konferensi pers yang diadakan usai pertemuan tersebut, Trump menegaskan: “AS akan mengambil alih Gaza. Kami akan meratakan segala kerusakan, menghilangkan ancaman bom yang belum meledak, dan membangun infrastruktur baru. Kawasan ini akan menjadi pusat lapangan pekerjaan dan perumahan, serta simbol stabilitas di Timur Tengah.”

Pernyataan tersebut seakan melambangkan visi “real estat” Trump yang telah dikenal luas. Dengan ambisi menguasai Gaza untuk jangka panjang, dia menyatakan bahwa wilayah tersebut tidak hanya akan diperbaharui, tetapi juga akan menjadi aset strategis yang dapat membawa kemakmuran di kawasan yang selama ini dikenal dengan konflik yang berkepanjangan.

Langkah-langkah Persiapan dan Kebijakan Terkait

Rencana ambisius tersebut ternyata tidak muncul secara tiba-tiba. Beberapa kebijakan dan langkah persiapan telah dilaksanakan oleh pemerintahan Trump sebagai fondasi strategi geopolitik di Timur Tengah, di antaranya:

  1. Peninjauan dan Pembekuan Bantuan Luar Negeri: Pada 24 Januari 2025, Menteri Luar Negeri AS mengeluarkan perintah untuk meninjau serta membekukan hampir seluruh dana bantuan luar negeri, kecuali bantuan pangan darurat dan dukungan militer bagi Israel dan Mesir. Kebijakan ini bertujuan untuk menyaring aliran dana yang selama ini dianggap berpotensi disalahgunakan untuk mendukung kelompok teroris.
  2. Penutupan USAID dan Integrasinya ke Kementerian Luar Negeri: Sejak 3 Februari 2025, USAID—yang selama ini mengelola proyek bantuan luar negeri bernilai miliaran dolar—ditutup. Fungsi-fungsinya kemudian dipindahkan ke Departemen Luar Negeri, dengan penunjukan Menteri Luar Negeri sebagai “pelaksana tugas” baru. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya mengoptimalkan pengelolaan bantuan dan mencegah penyalahgunaan dana.
  3. Penghentian Hubungan dengan Lembaga-lembaga PBB: Pada 4 Februari 2025, Trump menandatangani perintah eksekutif yang menghentikan interaksi dengan Dewan Hak Asasi Manusia PBB, membekukan pendanaan untuk UNRWA, serta meninjau ulang keanggotaan UNESCO. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh kritik terhadap lembaga-lembaga internasional yang dianggap mendukung pihak-pihak dengan catatan pelanggaran HAM atau menyokong kelompok teroris.

Motivasi dan Tujuan Strategis

Menurut pernyataan serta analisis kebijakan, rencana pengambilalihan Gaza oleh AS dipandang sebagai bagian dari upaya strategis untuk:

  • Mengurangi Pengaruh Terorisme:
    Dengan menguasai Gaza, diharapkan pendanaan dan dukungan bagi kelompok teroris—yang diduga mendapat aliran dana dari berbagai sumber internasional—dapat dipotong secara total. Trump menyatakan bahwa jika AS tidak memberi ruang bagi dukungan dari negara seperti Iran, maka pendanaan untuk kelompok seperti Hamas akan terhambat.
  • Memperlemah Pengaruh Tiongkok dan Aliansi Globalnya:
    Kebijakan-kebijakan persiapan yang telah dilakukan juga diarahkan untuk memutus “lingkar pengepungan” terhadap AS, khususnya yang dibangun oleh Tiongkok dan sekutunya melalui berbagai lembaga internasional. Dengan begitu, diharapkan stabilitas keamanan di wilayah perbatasan seperti Amerika Utara dan Amerika Latin juga dapat dipertahankan.
  • Meningkatkan Keamanan dan Stabilitas di Timur Tengah:
    Dukungan penuh yang diberikan oleh Netanyahu menunjukkan bahwa bagi Israel, pengambilalihan Gaza oleh AS merupakan solusi jangka panjang untuk mengatasi ancaman keamanan yang selama ini datang dari wilayah tersebut. Dengan kontrol langsung AS, perbatasan Gaza dianggap tidak lagi menjadi sumber potensi konflik.

Reaksi dan Kontroversi Internasional

Meski mendapat dukungan penuh dari beberapa pihak di Israel, rencana ini langsung menuai kecaman dari berbagai kalangan:

Negara-Negara Arab:

  • Arab Saudi, Mesir, dan Yordania menyatakan penolakan tegas atas rencana tersebut. Menurut pernyataan resmi, tanpa pengakuan terhadap negara Palestina, tidak ada landasan untuk menjalin hubungan diplomatik yang normal dengan Israel.

“Tanpa Negara Palestina, jangan harap kami menjalin hubungan diplomatik dengan Israel,” tegas pernyataan dari pihak Arab Saudi.

  • Kelompok Palestina dan Masyarakat Internasional:
    Warga Gaza, yang saat ini berjumlah sekitar dua juta jiwa, menolak gagasan pemindahan paksa dari tanah kelahiran mereka. Mereka menegaskan: “Ini adalah rumah kami. Tidak seorang pun berhak mengusir kami.”

Selain itu, beberapa negara Barat dan lembaga internasional menyuarakan kekhawatiran bahwa langkah tersebut dapat bertentangan dengan prinsip hukum internasional, yang mengakui Gaza sebagai bagian integral dari wilayah Palestina.

Implikasi Ekonomi, Sosial, dan Hukum

Rencana untuk meratakan dan membangun kembali Gaza diperkirakan akan menelan biaya ratusan miliar dolar. Proses pembersihan dari ranjau dan bahan peledak, perombakan infrastruktur, serta penyediaan perumahan dan lapangan pekerjaan, menjadi tantangan besar bagi AS.

Selain itu, upaya memindahkan penduduk Gaza ke negara lain seperti Mesir atau Yordania, yang telah menampung jutaan pengungsi Palestina di masa lalu, dapat memicu krisis kemanusiaan baru.

Secara hukum, status Gaza masih menjadi perdebatan internasional. Meskipun Israel pernah menarik diri dari Gaza pada tahun 2005, pengendalian atas perbatasan dan akses ke wilayah tersebut tetap menjadi sumber kontroversi. Menurut pendapat Mahkamah Internasional yang dikeluarkan pada 20 Juli 2024, pendudukan di wilayah Palestina, termasuk Gaza, dianggap melanggar hukum internasional dan merampas hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina.

Kesimpulan

Sementara Presiden Trump dan pendukungnya melihat rencana pengambilalihan Gaza sebagai kunci untuk menciptakan perdamaian dan kemakmuran baru di Timur Tengah, berbagai pihak mempertanyakan keabsahan dan kelayakan solusi yang berbasis pada paradigma real estat ini. Konflik yang telah berlangsung lama, dinamika politik yang kompleks, serta tantangan kemanusiaan yang nyata, menjadikan implementasi rencana tersebut penuh dengan risiko dan kontroversi.

Langkah berani ini kini menunggu respons dari dunia internasional. Apakah visi ambisius Trump akan membuka era baru stabilitas di Timur Tengah, atau justru menjadi katalisator bagi konflik yang lebih luas, waktu yang akan menjawab.

FOKUS DUNIA

NEWS