“Sudah saatnya membongkar industri pengambilan organ paksa yang disponsori negara oleh PKT,” kata Senator AS dari Partai Republik, Ted Cruz kepada The Epoch Times edisi bahasa Inggris.
EtIndonesia. Dua legislator Amerika Serikat dari dua kamar parlemen AS yakni Senat dan Kongres, mengajukan kembali rancangan undang-undang bikameral untuk menjatuhkan sanksi terhadap pengambilan organ paksa secara sistematis oleh Beijing, yang mana menargetkan kelompok spiritual Falun Gong yang teraniaya.
Dilaporkan The Epoch Times edisi bahasa Inggris, pada Senin (3/3/2025) The Falun Gong Protection Act atau Undang-Undang Perlindungan Falun Gong akan mewajibkan sanksi terhadap siapa pun yang dianggap oleh presiden AS sebagai peserta atau fasilitator yang mengetahui praktik tersebut. Individu yang terlibat akan dilarang memasuki wilayah Amerika Serikat atau bertransaksi dengan warga AS. Aset mereka di AS akan diblokir dan visa mereka yang masih berlaku akan dicabut.
Pelanggar dapat dikenakan denda sipil sebesar $250.000 atau hukuman pidana maksimum $1 juta dan 20 tahun penjara.
Undang-undang ini juga akan menetapkan kebijakan AS untuk menghindari kerja sama dengan Tiongkok dalam sektor transplantasi organ selama Partai Komunis Tiongkok (PKT) tetap berkuasa.
Selain itu, AS akan bekerja sama dengan sekutu dan lembaga multilateral untuk menyoroti penganiayaan terhadap Falun Gong serta berkoordinasi dengan komunitas internasional dalam penerapan sanksi dan pembatasan visa yang ditargetkan.
Senator AS Partai Republik dari Negara Bagian Texas, Ted Cruz dan Anggota Kongres Partai Republik dari Negara Bagian Pennsylvania, Scott Perry mengajukan kembali RUU ini ke masing-masing kamar legislatif mereka.
“Penganiayaan Tiongkok terhadap praktisi Falun Gong adalah serangan terhadap kebebasan beragama dan hak asasi manusia,” kata Cruz kepada The Epoch Times sebelum memperkenalkan kembali RUU tersebut di Senat bersama sponsor lainnya, yakni Senator Ron Johnson, Rick Scott dan Thom Tillis.

“Sudah saatnya membongkar industri pengambilan organ paksa yang disponsori negara oleh PKT,” lanjutnya, seraya menambahkan bahwa ia berharap rekan-rekannya akan bergabung dengannya dalam menentang pelanggaran ini dan “memastikan PKT bertanggung jawab.”
Perry menyuarakan seruan serupa, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa “PKT dan para pendukungnya harus bertanggung jawab atas kekejaman ini.”
“Amerika Serikat, sebagai mercusuar kebebasan di dunia, tidak boleh diam ketika Partai Komunis Tiongkok melakukan penyiksaan sistematis, pemenjaraan, dan pengambilan organ paksa terhadap praktisi Falun Gong,” ujarnya.
Langkah ini merupakan upaya terbaru dari para legislator AS untuk menghentikan praktik mengerikan yang telah dikecam secara bulat oleh Kongres AS hampir satu dekade lalu. Versi sebelumnya dari undang-undang ini telah disahkan oleh DPR pada Juni lalu, tetapi terhambat di Senat.
RUU ini mengarahkan presiden AS untuk menyerahkan daftar pelaku pengambilan organ paksa kepada komite kongres yang relevan dalam waktu enam bulan setelah undang-undang tersebut diberlakukan, dan memperbaruinya setiap tahun.
Di bawah undang-undang ini, Menteri Luar Negeri AS akan bekerja sama dengan kepala Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan serta Institut Kesehatan Nasional untuk menyusun laporan mengenai kebijakan dan praktik transplantasi organ di Tiongkok bagi komite kongres yang relevan.
Laporan mereka akan mencakup bagaimana kebijakan tersebut diterapkan terhadap tahanan hati nurani, termasuk praktisi Falun Gong. Selain itu, laporan akan menilai jumlah operasi transplantasi organ tahunan di Tiongkok dan bagaimana organ tersebut diperoleh, termasuk melalui donasi sukarela.
Di negara-negara Barat dengan sistem donasi organ yang berkembang, biasanya dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan organ yang cocok. Namun, di Tiongkok, waktu tunggu bisa hanya dalam hitungan hari, sehingga menarik pasien dari luar negeri untuk menjalani operasi di sana. RUU ini akan mengharuskan pejabat AS menilai apakah jadwal transplantasi organ di Tiongkok masuk akal atau tidak.
Penyelidikan juga akan mencantumkan daftar hibah yang telah diberikan AS dalam satu dekade terakhir untuk mendukung penelitian transplantasi organ di Tiongkok atau kerja sama dengan entitas Tiongkok dalam bidang tersebut. Selain itu, mereka harus menentukan, berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Genosida dan Kekejaman Elie Wiesel 2018, apakah penganiayaan rezim Tiongkok terhadap Falun Gong dapat dikategorikan sebagai “kekejaman.”
Rezim Tiongkok menganggap Falun Gong—sebuah disiplin meditasi yang berlandaskan pada prinsip kejujuran, belas kasih, dan toleransi—sebagai ancaman besar yang harus diberantas.
Sejak tahun 1999, ketika PKT mulai menindas praktik spiritual ini, para praktisinya terus melaporkan pelecehan, penangkapan, dan penyiksaan di penjara.
Pada tahun 2019, setelah melakukan penyelidikan, Pengadilan Independen Tiongkok menyimpulkan bahwa praktisi Falun Gong merupakan bagian utama dari pasokan organ untuk program pengambilan organ paksa oleh rezim Tiongkok. Pengadilan tersebut menyatakan bahwa pengambilan organ paksa telah terjadi “selama bertahun-tahun di seluruh Tiongkok dalam skala yang signifikan.”
Anggota Kongres AS Partai Demokrat dari New York, Pat Ryan mengatakan bahwa ia bangga menjadi co-leader dalam versi RUU ini di DPR AS.

“Kita harus melakukan segala daya untuk meminta pertanggungjawaban aktor jahat PKT dan para pelaku perdagangan organ atas kejahatan mereka yang tak terbayangkan,” katanya kepada The Epoch Times.
Ia menambahkan bahwa undang-undang bipartisan ini merupakan “langkah besar menuju hal tersebut” dan bahwa ia akan “terus bersuara tanpa ragu terhadap pembatasan hak asasi manusia dan penganiayaan terhadap kelompok agama, di mana pun itu terjadi.”
Tiga negara bagian AS, termasuk negara bagian asal Senator Ted Cruz, telah mengesahkan undang-undang untuk membatasi keterlibatan dalam praktik ini dengan membatasi cakupan asuransi kesehatan untuk operasi transplantasi organ yang berhubungan dengan Tiongkok.
Negara bagian Arizona saat ini juga tengah mengupayakan legislasi serupa.