EtIndonesia. Pada tanggal 8 Maret, militer Rusia mengumumkan bahwa pasukannya telah merebut kembali tiga desa di Oblast Kursk dari tangan pasukan Ukraina. Saat ini, lebih dari dua pertiga wilayah yang sebelumnya dikuasai Ukraina telah kembali ke kendali Rusia. Situasi ini menunjukkan bahwa Ukraina semakin kehilangan posisi tawar dalam negosiasi damai dengan Rusia.
Pada hari yang sama, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy secara langsung mengonfirmasi bahwa dia tidak akan menghadiri pertemuan tingkat tinggi antara Amerika Serikat dan Ukraina di Arab Saudi yang dijadwalkan berlangsung pekan depan.
Serangan Besar-besaran di Kursk: Pasukan Rusia Terus Maju
Menurut laporan dari RIA Novosti pada 8 Maret, Wakil Direktur Biro Politik Militer Kementerian Pertahanan Rusia sekaligus Komandan Pasukan Khusus “Akhmat”, Mayor Jenderal Apti Alaudinov, mengumumkan melalui platform Telegram bahwa militer Rusia telah melancarkan serangan besar-besaran di seluruh garis depan Kursk.
“Di semua arah di garis depan Kursk, seluruh pasukan kami telah melancarkan serangan besar-besaran. Musuh sedang meninggalkan posisinya dan mundur dari wilayah yang mereka pertahankan. Prajurit kami maju dengan sangat lancar,” ujar Alaudinov.
Kementerian Pertahanan Rusia juga mengonfirmasi bahwa pasukannya telah merebut kembali tiga desa di Oblast Kursk, menandakan kemajuan baru dalam pertempuran melawan Ukraina di wilayah tersebut.
Menurut laporan AFP, desa-desa yang berhasil direbut kembali oleh militer Rusia meliputi Viktorovka, Nikolayevka, dan Staraya Sorochina.
Pada musim panas tahun lalu, pasukan Ukraina melancarkan serangan ke Oblast Kursk di Rusia dan berhasil merebut beberapa wilayah. Namun, kini pasukan Rusia telah menguasai kembali lebih dari 2/3 wilayah tersebut.
Ukraina Kehilangan Posisi Tawar dalam Negosiasi Perdamaian
Sumber militer yang diwawancarai oleh Ukrainska Pravda menyebutkan bahwa pasukan Ukraina sedang berusaha “menstabilkan situasi” di Kursk. Namun, pasokan logistik mereka telah “sepenuhnya terputus” oleh militer Rusia.
Militer Rusia terus memberikan tekanan pada Kota Sudzha di Kursk yang masih dikuasai oleh pasukan Ukraina. Saat ini, pasukan Ukraina hanya dapat mengandalkan satu jalan raya lintas batas utama untuk menjaga suplai logistik. Sayangnya, jalur ini terus-menerus dihantam oleh serangan drone dan artileri Rusia.
Dalam beberapa hari terakhir, situasi di Oblast Kursk memburuk dengan sangat cepat bagi pasukan Ukraina. Hal ini semakin memperjelas bahwa Ukraina tengah kehilangan satu-satunya kartu truf dalam perundingan damai dengan Rusia.
Zelenskyy Mengkonfirmasi: Tidak Akan Hadir dalam Pembicaraan Gencatan Senjata AS-Ukraina di Arab Saudi Minggu Depan
Meskipun hubungan antara Amerika Serikat dan Ukraina saat ini tidak begitu optimis, Ukraina pada akhirnya memutuskan untuk tetap melanjutkan pembicaraan dengan Amerika Serikat. Menurut laporan dari The Daily Telegraph dan media internasional lainnya, pada tanggal 8 Maret, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengonfirmasi bahwa dia tidak akan hadir dalam putaran baru pembicaraan tingkat tinggi antara Ukraina dan Amerika Serikat di Arab Saudi pada Selasa depan (11 Maret). Namun, dia menegaskan bahwa Ukraina “sepenuhnya berkomitmen” dalam diskusi terkait perdamaian.
Zelenskyy menyebutkan bahwa dia akan mengunjungi Arab Saudi pada tanggal 10 Maret untuk bertemu dengan Putra Mahkota, tetapi dia tidak akan tinggal hingga keesokan harinya untuk bertemu dengan delegasi Amerika Serikat. Sebagai gantinya, dia akan mengirimkan para pembantunya untuk menghadiri negosiasi yang diharapkan dapat mengakhiri perang Rusia-Ukraina.
Dalam pernyataannya melalui platform X (sebelumnya Twitter), Zelenskyy menyampaikan: “Sejak detik pertama perang meletus, Ukraina selalu mencari perdamaian. Usulan konkret kini sudah berada di atas meja perundingan.”
Zelenskyy juga merinci anggota delegasi Ukraina yang akan hadir, di antaranya Kepala Staf Andriy Yermak, Menteri Luar Negeri Andriy Sybiha, Menteri Pertahanan Rustem Umerov, serta pejabat militer senior Pavlo Palisa.
“Ukraina sepenuhnya terlibat dalam dialog konstruktif. Kami berharap dapat membahas dan mencapai keputusan serta langkah-langkah yang diperlukan untuk perdamaian,” tulis Zelenskyy.
Rusia Menunggu Kekacauan di Barat
Menurut laporan dari BBC, meskipun Zelenskyy sempat berselisih dengan Donald Trump dan Wakil Presiden AS, JD Vance serta tidak mau meminta maaf, dia tetap menunjukkan sikap rendah hati. Setelah kunjungannya ke Amerika Serikat, dia melanjutkan lawatannya ke Eropa. Meski para pemimpin Eropa bersedia mendukung Ukraina, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengingatkan bahwa untuk mencapai perdamaian abadi, diperlukan dukungan dari Amerika Serikat. Oleh karena itu, Ukraina pada akhirnya harus tetap bernegosiasi dengan Washington, meskipun prospek dari perundingan tersebut masih belum jelas.
Baru-baru ini, Trump secara tidak biasa mengecam Rusia. Dia mengatakan bahwa jika Presiden Rusia Vladimir Putin enggan duduk di meja perundingan, Amerika Serikat akan memperluas sanksi ekonomi terhadap Moskow.
Sementara itu, menurut laporan Associated Press, Presiden Prancis, Emmanuel Macron menganjurkan untuk memperluas “payung nuklir” Prancis ke Eropa Timur. Gagasan ini disambut baik oleh Polandia dan tiga negara Baltik. Namun, Prancis hanya memiliki sekitar 290 hulu ledak nuklir, sedangkan Rusia dan Amerika Serikat masing-masing memiliki lebih dari 5.000 hulu ledak nuklir. Bahkan jika ditambah dengan persenjataan nuklir Inggris yang belakangan ini semakin aktif dalam pertahanan Eropa, jumlah tersebut masih jauh dari cukup.
Kini, pembicaraan perdamaian dalam perang Rusia-Ukraina telah mencapai momen krusial, namun ketidakpastian yang tinggi membuat banyak negara merasa cemas.(jhn/yn)