EtIndonesia. Pada Mei mendatang, Philipina diprediksi akan menyaksikan sebuah pemilihan yang sangat dinanti, di mana panggung utama diperankan oleh keluarga Duterte dan sosok yang dikenal dengan julukan “Little Marx”. Di balik dinamika politik yang kompleks tersebut, terselubung pula perang rahasia antara dua kekuatan besar dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok.
Awal Mula Insiden: Penangkapan yang Menggemparkan
Kejadian dramatis bermula pada pagi hari 11 Maret di Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila. Mantan Presiden Philipina Rodrigo Duterte, yang kini berusia 79 tahun, tiba-tiba ditangkap segera setelah mendarat. Dia segera dibawa ke Pangkalan Udara Villamor. Menurut keterangan resmi, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan sepanjang 15 halaman pada 7 Maret, yang menuduhnya melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait perang narkoba antara tahun 2016 hingga 2019. Meski Philipina mengundurkan diri dari keanggotaan ICC sejak tahun 2019, lembaga tersebut tetap menyatakan bahwa tindakannya masih berada dalam yurisdiksinya.
Gejolak Publik dan Kekacauan di Seluruh Negeri
Penangkapan tersebut segera memicu reaksi keras dari masyarakat. Demonstrasi besar-besaran merebak di berbagai kota, dengan rakyat turun ke jalan sambil membawa spanduk dan meneriakkan slogan-slogan yang menyuarakan kemarahan. Bahkan, sejumlah faksi radikal sempat membakar bendera ICC sebagai bentuk penolakan.
Di Manila serta provinsi sekitarnya, situasi semakin memanas; demonstran menggunakan bom bakar dan batu bata untuk menyerang markas polisi dan pangkalan militer Amerika. Ketegangan yang terjadi sempat menimbulkan bayangan perang saudara di tengah hiruk pikuk kerusuhan.
Malam itu, dalam langkah yang penuh intrik, Duterte secara diam-diam dikirim ke Den Haag, Belanda. Keesokan harinya, pada 12 Maret, ICC mengonfirmasi bahwa mantan presiden telah ditahan atas dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, putrinya, Sara Duterte, langsung berangkat ke Den Haag, menandakan dimulainya babak baru dalam perjalanan politik keluarga Duterte.
Pergeseran Aliansi dan Kebijakan Perang Narkoba
Pada masa jabatannya, Duterte dikenal sebagai figur yang kontroversial. Kebijakan tegasnya dalam perang narkoba sempat membawa popularitas besar, meskipun harus menelan dampak tragis berupa ribuan nyawa yang hilang. Namun, kontroversi yang sebenarnya tidak hanya terkait dengan kebijakan keras tersebut, melainkan juga dengan pergeseran aliansi geopolitik.
Sejak September 2016, Duterte secara terbuka menyatakan keinginannya untuk mengurangi ketergantungan militer terhadap Amerika Serikat. Dia mengumumkan bahwa latihan militer bersama antara Amerika dan Philipina yang akan datang adalah yang terakhir, sambil mengalihkan dukungan kepada Tiongkok dan Rusia. Langkah ini semakin diperkuat pada Oktober 2016 saat dia mengunjungi Tiongkok dan menandatangani sejumlah kesepakatan ekonomi, yang mencakup pinjaman lunak senilai 9 miliar dolar AS serta investasi senilai 15 miliar dolar AS. Duterte bahkan dengan tegas menyatakan di depan kamera di Beijing: “Saya mengumumkan pemisahan militer dan ekonomi dengan Amerika. Saya sekarang termasuk dalam kubu Tiongkok.” Pernyataan tersebut mengguncang kancah politik domestik Philipina dan mengubah peta aliansi regional.
Dampak pada Hubungan Militer dan Jaringan Senjata Rahasia
Perubahan aliansi ini turut membawa dampak signifikan terhadap hubungan militer Philipina. Pada tahun 2017, Tiongkok mulai mengirimkan senjata, termasuk senapan dan amunisi, serta memberikan bantuan militer kepada Philipina—sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi mengingat Philipina hampir sepenuhnya mengandalkan Amerika untuk alutsista. Namun, pada 2020, Duterte sempat membatalkan perjanjian penempatan pasukan (VFA) yang telah lama menjadi andalan militer Amerika. Meskipun kemudian perjanjian tersebut diaktifkan kembali karena ketergantungan Philipina pada pengaruh dan bantuan finansial Amerika, langkah tersebut tetap membuat Pentagon merasa terpojok.
Lebih mencengangkan lagi, muncul informasi mengenai jaringan pengalihan senjata rahasia yang diduga melibatkan Duterte dan Tiongkok. Operasi malam hari di pelabuhan Manila yang disamarkan dengan kegiatan bongkar muat barang di mana komponen senjata canggih dikemas ulang dan disalurkan ke negara-negara seperti Korea Utara, Iran, dan Rusia, memicu kehebohan di kalangan intelijen internasional. Sistem sanksi global yang telah dibangun Amerika pun dilaporkan mengalami celah besar, memberikan akses senjata canggih kepada negara-negara yang selama ini dianggap sebagai “poros kejahatan.”
Philipina: Papan Catur dalam Permainan Global
Letak geografis Philipina yang strategis di Laut Cina Selatan menjadikannya pion penting dalam pertarungan antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Selat Bashi, yang dikuasai Philipina, merupakan jalur terselubung bagi kapal selam nuklir Tiongkok untuk memasuki Samudra Pasifik. Kedalaman air yang mencapai lebih dari 2000 meter membuat kemampuan pengawasan atas kapal selam tersebut menjadi terbatas, sehingga potensi ancaman langsung terhadap wilayah Amerika semakin nyata.
Menanggapi situasi tersebut, Amerika Serikat dikabarkan segera mengaktifkan kembali pangkalan militer di Philipina dan merencanakan penempatan sistem rudal—termasuk kemungkinan penempatan rudal canggih dari India seperti BrahMos—di wilayah strategis. Langkah ini diduga merupakan upaya untuk menekan sektor-sektor industri vital di Tiongkok, seperti HiSilicon, Huawei, dan pusat data Tencent, yang jika terganggu, dapat melumpuhkan ekonomi Tiongkok selama beberapa tahun.
Dampak Politik Domestik dan Krisis Keluarga Duterte
Krisis politik di Philipina semakin rumit setelah penangkapan Duterte. Dengan kepergian figur sentral tersebut, keluarga Duterte kini berada di persimpangan jalan. Putrinya, Sara Duterte, yang menjabat sebagai wakil presiden, tengah menghadapi ancaman pemakzulan. Pada 5 Februari, DPR Philipina mengeluarkan suara dengan 215 dari total 316 kursi mendukung pemakzulan, menandakan penurunan dukungan yang signifikan.
Intrik politik semakin memanas ketika pada November tahun sebelumnya, Sara secara terbuka mengancam akan menyewa pembunuh bayaran untuk menyingkirkan “Little Marx” yang merujuk pada Presiden Ferdinand Marcos Jr dan keluarga Ketua DPR. Pernyataan tersebut semakin memperberat dakwaan terhadapnya, dengan tuduhan upaya pembunuhan terhadap presiden yang semakin menggantung. Sementara itu, anggota keluarga Duterte yang lain, seperti Paul yang pernah dijuluki “perampok” karena kasus narkoba, dan Sebastian, yang sempat mencoba meniti karier sebagai bintang rock, tampak belum mampu menggantikan posisi strategis yang ditinggalkan.
Kondisi ini membuat panggung politik Philipina semakin genting, terutama menjelang pemilihan Senat. Dukungan di DPR yang telah jatuh, serta kebutuhan untuk mengumpulkan suara cukup di Senat, menempatkan keluarga Duterte dalam posisi yang sangat terdesak. Dalam suasana politik yang penuh intrik dan dinamika tinggi, pertarungan ini dipastikan akan mempengaruhi arah masa depan negara.