EtIndonesia. Seiring dengan semakin intensifnya serangan militer Rusia, situasi medan perang di Ukraina terus memburuk. Baru-baru ini, sejumlah laporan menyebutkan bahwa pihak internal Ukraina sedang menyusun sebuah “rencana hari kiamat” yang sangat destruktif, termasuk kemungkinan meledakkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di wilayahnya jika kalah dalam perang, bahkan dilaporkan berencana mengaktifkan kembali program rahasia pengembangan senjata nuklir, sebagai bentuk strategi “bakar habis bersama” untuk memberi tekanan pada Rusia dan negara-negara Barat.
Menurut pengakuan dari mantan penasihat Kantor Presiden Ukraina, Oleksiy Arestovych, Kepala Direktorat Intelijen Pertahanan Ukraina, Kyrylo Budanov, telah menyusun dua “rencana terakhir”:
- Pertama, menghancurkan empat PLTN di Ukraina—termasuk fasilitas besar di Zaporizhzhia—sesaat sebelum kekalahan, serta meluncurkan serangan rudal terhadap 11 fasilitas nuklir di dalam wilayah Rusia.
- Kedua, secara rahasia mengaktifkan kembali program pengembangan senjata nuklir, termasuk pembuatan “bom kotor” (dirty bomb) untuk menciptakan efek deterrent (pencegahan) nuklir terhadap Rusia.
Jika kedua skenario ini benar-benar dijalankan, maka Eropa Timur—bahkan seluruh Benua Eropa—akan menghadapi ancaman polusi nuklir yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.
Para ahli menegaskan bahwa meskipun PLTN tidak memiliki daya ledak seketika seperti bom nuklir, namun apabila reaktor terkena serangan dan terjadi kebocoran radiasi, dampaknya akan sangat panjang, tak terkendali, dan bisa menjadi bencana ekologi maupun kemanusiaan. Mengambil contoh dari PLTN Zaporizhzhia: bila fasilitas ini dihancurkan, maka awan radioaktifnya dapat mencapai Berlin hanya dalam waktu tiga hari, dan menyebar ke Paris dalam tujuh hari. Tindakan semacam ini hampir setara dengan “meledakkan bom nuklir kronis di Eropa.”
Sementara itu, sejak 22 Maret lalu, militer Rusia telah meningkatkan serangan terhadap ibu kota Ukraina, Kyiv, serta infrastruktur energi di sekitarnya. Ratusan drone menyerang Kyiv dan kota-kota sekitarnya, menyebabkan ledakan di gardu listrik dan jaringan gas, yang memperburuk krisis pasokan energi Ukraina. Meskipun negara-negara Barat terus mengirimkan senjata dan amunisi, dampaknya terhadap medan pertempuran di garis depan Ukraina mulai melemah.
Menghadapi kemunduran beruntun di garis depan serta semakin berkurangnya dukungan dari Barat, pihak internal Ukraina tampaknya mulai mempertimbangkan jalur respons yang lebih ekstrem. Diketahui, kubu mantan Presiden AS, Donald Trump telah mengusulkan untuk mengambil alih pengelolaan PLTN di Ukraina—secara formal disebut untuk membantu menjaga keselamatan dan teknologi energi—namun secara luas dipandang sebagai upaya AS untuk mengendalikan fasilitas nuklir Ukraina agar tidak berubah menjadi senjata bencana.
Saat ini, sejumlah negara Eropa pun mulai menyuarakan sikap keras. Seorang jenderal senior Inggris yang telah pensiun memperingatkan Rusia bahwa kapal selam nuklir Inggris dapat menggunakan rudal Trident untuk menghancurkan 40 kota di Rusia. Sementara itu, Presiden Prancis, Emmanuel Macron secara tegas memperingatkan bahwa bila setelah perang nanti ada negara yang menempatkan pasukan di Ukraina, maka Rusia akan merespons dengan tembakan.
Sebagai balasan, militer Rusia segera mengerahkan pasukan rudal “Iskander” dan “Zirkon” yang mampu membawa hulu ledak nuklir, dengan sasaran langsung ke jantung Eropa.
Perang antara Rusia dan Ukraina kini telah memasuki tahun ketiga. Meskipun Rusia mengklaim telah meraih keunggulan di beberapa wilayah, namun konsekuensinya adalah korban lebih dari 700.000 orang tewas atau terluka. Di sisi lain, Ukraina terus berjuang dalam kondisi terisolasi dan hampir menjadi ladang hangus.Menghadapi potensi krisis nuklir ini, masyarakat internasional menyerukan agar semua pihak menahan diri dan menghindari membawa perang menuju jurang kehancuran yang tak bisa diperbaiki. (jhn/yn)