Perisai Anti-Sanksi Tiongkok : Melindungi Perdagangan atau Memperdalam Masalah Ekonomi?

Antonio Graceffo, Ph.D

Pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT), Xi Jinping, tengah mengubah Undang-undang domestik dan memperkuat kendali negara untuk melawan perang dagang AS–Tiongkok—sebuah strategi yang berisiko mengusir investasi asing dan semakin memperlambat pemulihan ekonomi Tiongkok yang sudah rapuh

Beijing mengumumkan pada 24 Maret bahwa Perdana Menteri Li Qiang  menandatangani perintah yang memperkuat langkah balasan Tiongkok terhadap sanksi asing, dengan memberlakukan peraturan baru di bawah Undang-Undang Anti-Sanksi Asing. Aturan yang langsung berlaku ini memberi wewenang kepada Beijing untuk mencantumkan dan menghukum entitas yang melakukan “tindakan diskriminatif”, melalui pembekuan aset, penyitaan hak kekayaan intelektual (HKI), penolakan masuk, dan pelarangan perdagangan di berbagai sektor seperti pendidikan, sains, dan layanan hukum.

Bersamaan dengan revisi Undang-Undang Rahasia Negara yang mulai berlaku pada 1 Mei 2024—dan kini mencakup definisi samar tentang “rahasia kerja”—langkah-langkah ini memperkuat senjata hukum PKT dalam menghadapi perang dagang AS–Tiongkok, yang kembali memanas akibat ancaman tarif 20 persen dari Presiden AS Donald Trump.

Perubahan hukum ini menandai pergeseran dari keterbukaan menuju keamanan, didorong oleh strategi “sirkulasi ganda” Xi yang diluncurkan pada 2020. Strategi ini menekankan kemandirian domestik sambil tetap terlibat secara selektif dalam perdagangan global. Ini juga merupakan bagian dari agenda yang lebih luas untuk menghidupkan kembali ekonomi Tiongkok yang melambat sekaligus memperketat kendali PKT atas negara.

Undang-Undang Anti-Sanksi Asing, yang awalnya disahkan pada 2021, menargetkan sanksi asing seperti pembatasan AS terhadap kapas Xinjiang atau ekspor teknologi, dengan memungkinkan Tiongkok menyita HKI dan aset lain dari entitas yang mematuhi sanksi tersebut. Ini adalah alat balasan untuk melindungi kepentingan PKT dan menghukum perusahaan asing, terutama karena larangan teknologi AS—termasuk pembatasan semikonduktor—semakin meningkat di bawah kebijakan ekspor era Biden.

Peraturan tahun 2025 memperluas alat ini, memungkinkan larangan perdagangan sektoral yang bisa sangat merugikan perusahaan multinasional. Sementara itu, Undang-Undang Rahasia Negara yang diperluas kini mengklasifikasikan “rahasia kerja” dan data terkait keamanan nasional sebagai rahasia negara, dengan hukuman berat atas pengungkapan yang dianggap merugikan kepentingan negara. Ini membatasi transparansi, mencerminkan ketegangan dari Undang-Undang Anti-Mata-Mata 2023, yang memblokir akses asing ke teknologi penting dan data ekonomi seperti rantai pasokan atau keuangan.

Secara ekonomi, Beijing menyajikan hukum ini sebagai perlindungan terhadap inovasi dan stabilitas modal. Wewenang penyitaan HKI dalam Undang-Undang Anti-Sanksi Asing bertujuan mencegah perusahaan asing memanfaatkan sanksi untuk melemahkan kemajuan Tiongkok—seperti desain chip atau algoritma kecerdasan buatan—agar tetap menjadi aset domestik.

Demikian pula, Undang-Undang Rahasia Negara melindungi inovasi seperti semikonduktor dengan menjaga agar tetap berada di dalam Tiongkok, mendukung tujuan Xi akan kemandirian. Langkah-langkah ini juga membatasi pelarian modal: ancaman pembekuan aset mencegah entitas Tiongkok memindahkan uang atau teknologi ke luar negeri untuk menghindari sanksi, sementara pembatasan data mencegah ekstraksi informasi sensitif oleh pihak asing.

Pada 8 Maret, Kejaksaan Agung Rakyat Tertinggi PKT mempresentasikan Laporan Kerja 2025 di Kongres Rakyat Nasional ke-14, badan legislatif yang dikendalikan PKT, menyoroti fokus Beijing yang semakin besar terhadap penegakan HKI. Laporan itu mengungkap bahwa 21.000 orang telah dituntut atas kejahatan terkait HKI sepanjang 2024.

Meski diklaim sebagai upaya melindungi HKI, strategi penegakan ini semakin menjadi alat untuk menjaga kendali PKT atas sektor-sektor sensitif. Penindakan domestik—ditambah dengan undang-undang luas seperti Undang-Undang Anti-Sanksi Asing—menciptakan lingkungan hukum yang dipenuhi unsur keamanan, mengisolasi rezim dari pengawasan luar.

Perubahan ini meningkatkan risiko bagi perusahaan asing di Tiongkok, yang kini tunduk pada standar hukum yang tidak transparan dan penegakan yang bermotif politik. Misalnya, sebuah perusahaan teknologi bisa kehilangan hak patennya karena mematuhi sanksi AS, sementara produsen mungkin menghadapi audit “rahasia kerja” yang invasif. Peraturan sengketa HKI yang baru—disorot oleh The National Law Review—juga memperberat beban kepatuhan dan meningkatkan kemungkinan penyitaan HKI.

Kondisi ini secara langsung menggagalkan upaya terbaru untuk menarik investasi asing. Di Forum Pembangunan Tiongkok, Perdana Menteri Li mengajak para CEO global dan mempromosikan pentingnya Tiongkok—namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Foreign Direct Investment (FDI)  atau Investasi langsung asing sudah anjlok 99 persen dalam tiga tahun terakhir, dan pemulihan tampak tidak mungkin dengan semakin kuatnya kontrol otoriter.

Arah isolasionis ini tak hanya menghambat inovasi dan integrasi global, tetapi juga mengancam program konsumsi domestik senilai $41 miliar milik Xi. Dengan ekonomi yang sudah rapuh karena ketidakstabilan pasar properti, hilangnya modal asing dan berkurangnya penciptaan lapangan kerja bisa membahayakan miliaran dolar ekspor AS dan semakin menunda pemulihan jangka panjang Tiongkok.

PKT semakin mempersenjatai hukum HKI dan kerahasiaan sebagai alat balasan atas isolasi akibat tarif era Trump dan sanksi G7, menyatukan aspek ekonomi dan keamanan dalam posisi yang menyerupai benteng. Undang-Undang Anti-Sanksi Asing 2021 melawan larangan teknologi AS dengan memberi wewenang penyitaan HKI dari entitas yang mematuhi sanksi Barat, sementara perluasan Undang-Undang Rahasia Negara 2024 melindungi Beijing dari tekanan eksternal dengan secara luas mendefinisikan “rahasia kerja” dan menghukum kesalahan penanganan data—mengenai semua perusahaan, baik domestik maupun asing.

Pesan dari PKT sangat jelas: patuhi sanksi, hilangkan HKI-mu, bagikan informasi sensitif, dan bersiap untuk diawasi. Namun, serangan balik hukum ini sarat dengan ironi. Xi, yang berulang kali mengecam Trump atas tarif dan pembatasan dagang, menyatakan di KTT APEC 2024 di Lima bahwa “Unilateralisme dan proteksionisme tanpa kendali, serta ekonomi dunia yang semakin terfragmentasi, mengancam untuk membalikkan tren globalisasi ekonomi.”

PKT mungkin percaya bahwa pembatasan yang lebih ketat akan memaksa AS untuk bernegosiasi, dan memberi Tiongkok akses pasar AS yang lebih baik. Namun lebih mungkin, undang-undang ini justru akan mengusir investasi asing, semakin merusak ekspor Tiongkok, dan memperdalam isolasi, memperlambat ekonomi Tiongkok lebih jauh.


Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini merupakan opini penulis dan tidak serta merta mencerminkan pandangan The Epoch Times.

Antonio Graceffo, Ph.D., adalah analis ekonomi Tiongkok yang  menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Ia lulusan Shanghai University of Sport, memiliki gelar MBA dari Shanghai Jiaotong University, dan mempelajari keamanan nasional di American Military University.

FOKUS DUNIA

NEWS