ICC Kembali Akan Tangkap Pemimpin Negara Pelaku Kejahatan? Penangkapan Duterte Jadi Preseden – CNN: “Dua Tokoh Ini” Juga Terancam…

EtIndonesia. Penangkapan Duterte atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan memunculkan kembali perdebatan publik mengenai apakah ICC benar-benar memiliki kemampuan untuk menindak tegas pelaku kejahatan internasional, termasuk para pemimpin negara. Banyak pakar menyatakan bahwa peristiwa ini menjadi tonggak penting yang membuka jalan bagi ICC untuk meminta pertanggungjawaban para pemimpin negara yang diduga melakukan kejahatan berat, termasuk Presiden Rusia, Vladimir Putin dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

Menurut laporan CNN, Rodrigo Duterte dicari oleh ICC karena dugaan keterlibatannya dalam operasi “perang melawan narkoba” yang brutal selama masa jabatannya sebagai presiden Philipina. Operasi tersebut menyebabkan lebih dari 6.000 kematian, dan memicu penyelidikan internasional. Meski ICC dapat mengeluarkan surat perintah penangkapan, pengadilan ini tidak memiliki kekuatan eksekusi secara langsung. Pelaksanaannya sangat bergantung pada kerjasama negara-negara anggota penandatangan Statuta Roma—yang menjadi dasar hukum pembentukan ICC.

Laporan tersebut menyebutkan bahwa sejak berdiri pada tahun 2002, ICC telah mengeluarkan 60 surat perintah penangkapan terhadap pelaku kejahatan internasional. Namun, dari jumlah tersebut, 31 tersangka masih belum tertangkap hingga saat ini. Dari 29 orang yang telah ditangkap, hanya 11 yang benar-benar dijatuhi hukuman secara resmi. Meski begitu, penangkapan Duterte dinilai sebagai langkah yang sangat berbeda dari sebelumnya. Kali ini, penangkapan terjadi berkat kerjasama aktif dari pihak kepolisian Philipina dan berlangsung dengan cepat hingga proses pemindahan ke Den Haag.

Laporan CNN menilai bahwa penangkapan Duterte berpotensi menjadi preseden penting bagi tindakan serupa terhadap Presiden Rusia, Vladimir Putin dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu yang juga dituduh melakukan kejahatan perang. 

Profesor Hukum Pidana Internasional dari Fakultas Hukum Internasional Universitas Peking di Shenzhen, Gregory Gordon, menyatakan kepada CNN:

“Penangkapan Duterte menjadi preseden penting. Publik kini bisa percaya bahwa ICC—sebagai simbol keadilan—memiliki kemampuan untuk menindak pemimpin negara yang telah melakukan kejahatan berat.”

Meski surat perintah penangkapan dari ICC tidak memiliki kekuatan hukum mutlak, kehadirannya tetap mampu memberikan tekanan serius terhadap tersangka. 

Leila Sadat, Profesor Hukum Internasional di Universitas Washington dan mantan Penasihat Khusus Kejahatan terhadap Kemanusiaan di ICC, menyebutkan contoh Presiden Rusia Vladimir Putin.

Menurut Sadat, meskipun Putin telah menjadi buronan ICC sejak Maret 2023 dan belum ditangkap hingga sekarang, ruang geraknya telah menjadi sangat terbatas:

“Kecuali dia benar-benar yakin akan mendapat kekebalan diplomatik, Putin praktis enggan keluar dari wilayah Rusia,” ujarnya.

Gregory Gordon pun sepakat dengan pernyataan Sadat. Dia menjelaskan bahwa selama Putin masih memegang kekuasaan penuh di Rusia dan tetap terlindungi oleh sistem yang ada, kemungkinan besar dia tidak akan bisa benar-benar dimintai pertanggungjawaban oleh ICC.

“Kecuali terjadi perubahan besar dalam situasi politik di Rusia—seperti yang terjadi di Filipina—yang membuat Putin menjadi rentan secara politik,” kata Gordon.

Meski begitu, Gordon menegaskan bahwa penangkapan Duterte bisa dianggap sebagai terobosan besar.

“Ini memberikan harapan bahwa ICC memang memiliki kapasitas untuk meminta pertanggungjawaban terhadap pemimpin negara atas kejahatan internasional,” ujar Gordon.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS