“Tarif AS –Tiongkok akan Jadi Perang Jangka Panjang”, Ucapan Pejabat Tiongkok Tuai Sindiran, Sementara Pengusaha Menjerit

EtIndonesia. Tindakan balasan dari Partai Komunis Tiongkok (PKT) terhadap tarif Amerika Serikat justru membuat pelaku industri Tiongkok, khususnya sektor e-commerce dan manufaktur, berada dalam tekanan besar. Di tengah gelombang pembatalan pesanan dari pelanggan asing, banyak pabrik terpaksa meliburkan karyawan secara massal. Para analis menyebut, kebijakan balasan PKT yang sembrono ini justru memperburuk krisis ekonomi dalam negeri.

Seorang pemilik usaha di Tiongkok mengeluhkan: “Banyak pesanan kami terpaksa dibatalkan. Saya punya lebih dari seratus pekerja—saya sungguh tidak tahu harus bagaimana.”

Para pengusaha e-commerce di Tiongkok juga melaporkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, kondisi ekonomi terus memburuk, dengan tingkat pengangguran yang tetap tinggi. Kebijakan pemerintah untuk “menghidupkan kembali ekonomi” dinilai tidak membawa hasil nyata. Kini, dengan dimulainya perang tarif melawan Amerika, banyak perusahaan justru semakin terpuruk.

Li Hengqing, ekonom dari Washington Institute for Information and Strategy, mengungkapkan: “Kondisi ini bisa sangat mematikan. Amerika sebelumnya mengimpor barang senilai 400 hingga 500 miliar dolar AS dari Tiongkok setiap tahunnya. Jika kondisi ini berlanjut, perusahaan-perusahaan itu akan kehilangan pesanan dengan sangat cepat.”

Sejumlah pemilik pabrik perhiasan menyatakan bahwa biasanya pada waktu seperti ini, pesanan Natal dari Amerika sudah mulai masuk. Namun, tahun ini, belum ada satu pun pesanan yang datang dari pelanggan AS.

Seorang warga Tiongkok mengaku:“Pabrik kami belum pernah sepi seperti ini. Susah sekali mendapatkan pesanan.”

Para analis melihat bahwa strategi tarif Presiden Trump bertujuan untuk memperbaiki ketimpangan perdagangan global, menghidupkan kembali industri manufaktur dalam negeri, dan membuka lebih banyak lapangan kerja bagi warga Amerika—sebuah langkah untuk “Membuat Amerika Hebat Kembali”. Sebaliknya, konfrontasi yang dilakukan PKT dinilai hanya demi mempertahankan sistem otoriternya, meski harus mengorbankan perekonomian nasional.

Li Hengqing kembali menambahkan:“Jika PKT bersikeras terus menjalankan konfrontasi ini, maka perusahaan-perusahaan akan kehilangan pesanan. Itu sama saja menambah beban bagi ekonomi Tiongkok yang sudah rapuh.”

Pada hari Kamis (10/4), seorang pejabat Gedung Putih mengonfirmasi kepada New Tang Dynasty TV bahwa dengan tambahan tarif 20% terkait isu fentanyl, total tarif Amerika terhadap produk Tiongkok kini mencapai 145%.

Menteri Keuangan AS, Bessent, pada Rabu (9/4), menyatakan bahwa tarif tinggi ini sejatinya tidak akan meningkat jika negara-negara lain tidak mengambil langkah balasan. Dia menegaskan bahwa Pemerintah Tiongkok sendirilah yang memilih untuk memperkeruh situasi.

Selama beberapa hari terakhir, selain membalas dengan tarif tinggi, PKT juga memberlakukan pembatasan ekspor terhadap bahan-bahan penting yang digunakan oleh perusahaan Amerika untuk produksi chip dan produk pertahanan. Tiongkok juga menggunakan regulasi dan penyelidikan untuk mengintimidasi dan menghukum perusahaan-perusahaan Amerika.

Tak hanya itu, Kementerian Luar Negeri Tiongkok beberapa kali menyatakan akan “melawan sampai akhir.” Pada 10 April, juru bicara Kemenlu Mao Ning bahkan menggunakan platform X (dulu Twitter) untuk mengutip ucapan Mao Zedong, pemimpin Partai Komunis Tiongkok terdahulu—yang diduga kuat merupakan isyarat bahwa perang tarif dengan AS akan menjadi “perang jangka panjang.” Unggahan tersebut justru memicu gelombang sindiran dari warganet.Li Dayu, pembawa acara US-China Focus with Dayu, mengomentari dengan tajam: “PKT saat ini tidak sedang menyelamatkan rakyat. Mereka hanya sedang menyelamatkan kepentingan elit penguasa dan keluarga-keluarga partai. Ini bukan demi rakyat Tiongkok, tapi justru mengorbankan rakyat demi kelangsungan kekuasaan partai.” (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS