Siapa yang Akan Menjadi Paus Katolik Berikutnya? Dia Berpeluang Menjadi Paus Asia Pertama


EtIndonesia.
Paus Fransiskus dari Gereja Katolik wafat pada 21 April, mengakhiri masa kepemimpinannya selama 12 tahun. Pertanyaan besar yang kini muncul adalah: siapakah yang akan menggantikannya? Secara teori, setiap pria Katolik yang telah dibaptis memiliki peluang menjadi paus, namun secara tradisional, pemimpin Gereja Katolik selalu dipilih dari kalangan kardinal.

Saat ini terdapat lebih dari 250 kardinal di seluruh dunia. Media Amerika Serikat telah menyebut beberapa nama kardinal potensial, termasuk Kardinal Pietro Parolin yang dikenal berpandangan moderat, serta Kardinal Luis Antonio Tagle asal Philipina yang berpotensi menjadi paus pertama dari Asia—nama-nama yang memicu perhatian luas publik internasional.

Paus Fransiskus adalah anggota Ordo Serikat Yesus asal Argentina. Dia menjadi paus pada tahun 2013 dan merupakan paus pertama dari Amerika Latin. Menurut keterangan resmi yang dirilis Wakil Kepala Departemen Kesehatan Vatikan, Giovanni Arcangeli, Paus Fransiskus wafat akibat stroke, koma, dan gagal jantung yang tidak dapat dipulihkan.

Selama masa kepemimpinannya, banyak kebijakan Fransiskus yang menuai kontroversi. Dia merupakan paus pertama yang secara terbuka memberikan “berkat” kepada kaum homoseksual—langkah yang dipandang oleh sebagian kalangan keagamaan sebagai bertentangan dengan ajaran Kitab Suci.

Selain itu, sikap Fransiskus yang dianggap terlalu “lunak” terhadap rezim Tiongkok juga menuai kritik. Banyak yang menilai Vatikan mengorbankan umat Katolik dari Gereja bawah tanah di Tiongkok, dan memilih bungkam atas pelanggaran kebebasan beragama di negara tersebut. Hal ini memicu ketidakpuasan, terutama di kalangan umat Katolik Asia Timur.

Dengan wafatnya Fransiskus, sorotan dunia kini tertuju pada siapa yang akan menggantikannya. Pada 21 April, Reuters merangkum sembilan nama kandidat kuat, dua di antaranya bukan berasal dari Eropa.

1. Kardinal Pietro Parolin (70 tahun, Italia)

Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Negara Vatikan sejak 2013, Parolin dikenal sebagai diplomat ulung yang fasih dalam berbagai bahasa. Dia adalah tokoh utama di balik upaya menjalin hubungan antara Vatikan dengan Tiongkok dan Vietnam. Parolin dikenal moderat dan sangat dihormati di dalam Gereja. Meskipun tidak secara aktif terlibat dalam “perang budaya” seperti isu aborsi dan hak LGBTQ, dia pernah menyebut legalisasi pernikahan sesama jenis sebagai “kemunduran bagi umat manusia”.

2. Kardinal Luis Antonio Tagle (67 tahun, Philipina)

Jika terpilih, Tagle akan menjadi paus pertama dari Asia. Dia dikenal fasih berbahasa Italia dan Inggris, serta dijuluki “Fransiskus dari Asia” karena komitmennya terhadap keadilan sosial. Ibu Tagle adalah keturunan Tionghoa-Philipina. Sejak ditahbiskan sebagai imam pada 1982, dia telah mengabdi dalam pelayanan pastoral dan administrasi Gereja, termasuk sebagai Uskup Agung Manila dan kini memimpin Departemen Evangelisasi. Namun, kariernya sempat terguncang pada 2022 ketika organisasi Caritas Internationalis yang dipimpinnya tersandung skandal bullying.

3. Kardinal Jean-Marc Aveline (66 tahun, Prancis)

Uskup Agung Marseille ini memiliki gaya kepemimpinan yang mengingatkan pada Paus Yohanes XXIII dari era 1960-an. Lahir di Aljazair dari keluarga imigran Spanyol, Aveline dikenal ramah dan penuh humor. Jika terpilih, dia akan menjadi paus pertama dari Prancis sejak abad ke-14, dan paus termuda sejak Yohanes Paulus II.

4. Kardinal Peter Erdo (72 tahun, Hungaria)

Seorang tokoh konservatif dari Eropa Timur. Erdo dikenal pragmatis dan tak pernah berseberangan langsung dengan Paus Fransiskus. Dia menjadi kardinal saat masih berusia 40-an. Pada 2015, dia menentang ajakan Fransiskus agar Gereja menerima para pengungsi, dengan alasan hal itu bisa memicu perdagangan manusia.

5. Kardinal Mario Grech (68 tahun, Malta)

Dia berasal dari negara anggota UE terkecil, tetapi memiliki posisi penting sebagai Sekretaris Jenderal Sinode Para Uskup. Awalnya dikenal konservatif, namun kemudian tampil sebagai tokoh reformis. Pernyataannya bahwa Gereja harus keluar dari pola pikir lama agar tetap relevan di masyarakat modern menuai kritik dari kubu tradisionalis. Namun, asal-usulnya dari negara kecil membuatnya tidak terlalu menimbulkan kontroversi geopolitik.

6. Kardinal Juan Jose Omella (79 tahun, Spanyol)

Uskup Agung Barcelona ini dikenal rendah hati dan dekat dengan kaum miskin. Dia pernah menyatakan bahwa Gereja seharusnya tidak melihat dunia hanya dari sudut pandang orang kaya. Lahir pada 1946, dia pernah menjalani misi di Afrika (Zaire/Demokratik Kongo) dan bekerja sama dengan lembaga amal Spanyol dalam proyek-proyek sosial. Dia juga dikenal karena permintaan maaf publik terkait kasus pelecehan seksual oleh rohaniwan di Spanyol.

7. Kardinal Joseph Tobin (72 tahun, AS)

Uskup Agung Newark, New Jersey ini berasal dari Detroit, dan pernah tinggal di berbagai negara. Dia fasih dalam bahasa Italia, Spanyol, Prancis, dan Portugis. Dia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Kantor Vatikan dan diangkat sebagai kardinal oleh Fransiskus pada 2016. Dia mendapat pujian karena tegas menangani skandal pelecehan seksual yang melibatkan mantan Uskup Agung Washington, Theodore McCarrick. Meskipun peluang Amerika Serikat melahirkan seorang paus relatif kecil, Tobin dianggap sebagai salah satu kandidat kuat.

8. Kardinal Peter Turkson (76 tahun, Ghana)

Dia adalah kandidat potensial pertama dari Afrika Sub-Sahara. Ditahbiskan sebagai imam pada 1975, Turkson dikenal karena keberhasilannya dalam berbagai misi Gereja. Dia menjadi kardinal pertama dari Afrika Barat pada 2003, dan kemudian menjabat sebagai Presiden Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian pada era Paus Benediktus XVI.

9. Kardinal Matteo Maria Zuppi (69 tahun, Italia)

Uskup Agung Bologna ini dijuluki “harapan baru” bagi Italia untuk kembali melahirkan seorang paus sejak 1978. Dia sempat mencuri perhatian dengan menyajikan tortellini bebas daging babi demi menghormati umat Muslim. Zuppi dikenal sebagai tokoh yang aktif dalam diplomasi kemanusiaan, pernah memediasi konflik sipil 17 tahun di Mozambik, dan belakangan menjadi utusan Vatikan dalam upaya menyelamatkan anak-anak Ukraina dari Rusia. Namun, keterlambatannya dalam menangani kasus pelecehan seksual di Italia bisa menjadi batu sandungan. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS