EtIndonesia. Dalam berbagai mitos, Atlantis digambarkan sebagai sebuah kota megah yang ditelan lautan. Namun di dunia nyata, jauh di dasar Samudra Atlantik, para ilmuwan telah menemukan sebuah “kota yang hilang” yang menakjubkan—sebuah keajaiban alami yang nyata dan menawan, seolah-olah diukir oleh tangan alam dari dunia lain.
Terletak pada kedalaman sekitar 700 meter di bawah permukaan laut, “kota” ini baru ditemukan secara tidak sengaja pada tahun 2000. Saat itu, para peneliti mengirimkan kapal selam robot untuk menyelami dasar laut dan tanpa sengaja menemukan lanskap geologi yang tampak seperti dari dimensi lain. Menara batu kapur berwarna putih yang menjulang tinggi muncul dari dasar laut, menyerupai reruntuhan arsitektur dari peradaban asing. Kawasan ini kemudian diberi nama “Kota yang Hilang” (The Lost City)—dan bukan tanpa alasan. Penampilannya, atmosfernya, dan misterinya sangat memicu imajinasi tentang keberadaan situs peradaban kuno yang hilang.
Namun berbeda dengan reruntuhan mati, “kota” ini adalah ekosistem hidrotermal yang masih hidup dan aktif. Di bawah kondisi ekstrem, kehidupan tetap bertahan dengan cara yang mengejutkan. Cairan panas dengan suhu sekitar 40°C menyembur dari celah-celah bebatuan, menopang kehidupan hewan langka seperti udang, kepiting, dan belut laut. Tidak seperti kehidupan di permukaan bumi yang bergantung pada sinar matahari, makhluk-makhluk ini hidup dengan mengandalkan gas hidrogen dan metana yang dilepaskan dari cairan hidrotermal. Jenis kehidupan ini dianggap sebagai bentuk paling mendekati “kehidupan luar angkasa” yang bisa ada di Bumi.
Jendela Menuju Awal Mula Kehidupan
Bagi para ilmuwan, “Kota yang Hilang” bukan sekadar keajaiban geologi. Tempat ini dianggap sebagai jendela masa lalu, yang mungkin merekonstruksi kondisi lingkungan saat kehidupan pertama kali muncul di Bumi miliaran tahun lalu. Tak hanya itu, tempat ini juga memberi petunjuk tentang kemungkinan keberadaan kehidupan di planet lain.
Mikrobiolog terkenal, William Brazelton, pernah menyatakan bahwa ekosistem seperti ini mungkin juga masih aktif di satelit Saturnus Enceladus atau di Europa, bulan milik Jupiter. Bahkan bisa jadi, kondisi serupa pernah ada di Mars kuno. Dengan kata lain, “Kota yang Hilang” memberi gambaran tentang bagaimana dan di mana kehidupan bisa berkembang di luar planet kita.
Ladang hidrotermal ini diperkirakan telah eksis selama lebih dari 120.000 tahun, menjadikannya salah satu sistem hidrotermal laut dalam yang paling tua dan paling stabil yang pernah ditemukan di Bumi. Di tengah-tengahnya berdiri struktur terbesar yang dinamakan “Poseidon”, sebagai penghormatan kepada dewa laut dalam mitologi Yunani—melambangkan kekuasaan dan kesakralan dari kota bawah laut ini.
Ancaman Kehancuran yang Nyata
Namun, sebagaimana nasib kota Atlantis dalam legenda, “Kota yang Hilang” yang benar-benar ada di dunia nyata ini pun tengah menghadapi ancaman kehancuran.
Pada tahun 2018, Pemerintah Polandia mendapatkan izin untuk melakukan eksplorasi dan pertambangan laut dalam di wilayah lebih dari 10.000 kilometer persegi di sepanjang Punggungan Tengah Atlantik, yang mencakup area “Kota yang Hilang”. Pengumuman ini langsung menimbulkan kegemparan di kalangan ilmuwan dunia.
Dr. Gretchen Früh-Green (Transliterasi-red), salah satu ilmuwan yang pertama kali menemukan situs ini, mengungkapkan keprihatinannya dalam sebuah wawancara.
Dia mengatakan:“Kita mungkin akan menghancurkan tempat ini bahkan sebelum kita benar-benar memahaminya. Nilainya bagi pemahaman kita tentang asal usul kehidupan dan proses geologi awal Bumi sungguh tak ternilai.”
Dr. Früh-Green menambahkan dengan nada reflektif: “Tempat ini adalah bagian dari kisah kita, kisah Bumi. Jika kita mengganggunya, kita tak tahu seberapa cepat ia bisa pulih. Bahkan, kita tidak tahu apa dampaknya terhadap keseimbangan kimia laut secara keseluruhan.”
Warisan yang Harus Dilindungi
Nilai terbesar dari “Kota yang Hilang” bukan hanya terletak pada potensi penemuan ilmiahnya. Lebih dari itu, dia menjadi pengingat yang kuat bahwa planet ini masih menyimpan misteri besar—dan bahwa bagian terdalam Bumi pun layak dihormati serta dilindungi.
Di saat umat manusia mendongak ke langit, bermimpi menjelajahi bintang dan galaksi yang jauh, kita sering lupa bahwa planet kita sendiri masih menyembunyikan “alam semesta” yang belum tersentuh di bawah samudra, di kegelapan yang sunyi, tempat kehidupan bisa muncul dari panas, bukan dari cahaya.
Mungkin, sebelum kita menjelajah Mars atau Enceladus, sebaiknya lebih dulu menjelajahi dan memahami keajaiban di dasar laut kita sendiri. (jhn/yn)