EtIndonesia. Negara Timur Tengah Yordania melarang kelompok Ikhwanul Muslimin, setelah muncul klaim bahwa beberapa anggotanya merencanakan upaya untuk mendestabilisasi negara tersebut.
“Telah terbukti bahwa anggota kelompok ini beroperasi secara tersembunyi dan terlibat dalam aktivitas yang dapat mengguncang stabilitas negara,” kata Kementerian Dalam Negeri Yordania dalam pernyataan pada 23 April.
“Anggota Ikhwanul Muslimin yang telah dibubarkan telah mengganggu keamanan dan persatuan nasional serta mengacaukan ketertiban umum.”
Ikhwanul Muslimin, salah satu gerakan Islamis tertua dan paling berpengaruh di kawasan ini, membantah terlibat dalam dugaan rencana tersebut.
Sayap Politik: Islamic Action Front
Islamic Action Front (IAF), sayap politik Ikhwanul Muslimin di Yordania, merupakan partai oposisi terbesar di negara itu.
Sejak 1992, IAF beroperasi secara legal di Yordania, dengan dukungan rakyat yang cukup luas dan kantor cabang di sejumlah kota dan wilayah.
Setelah pemilu legislatif tahun 2024, IAF menjadi blok oposisi terbesar di parlemen.
Namun, sebagian besar kursi parlemen tetap dikuasai oleh perwakilan yang loyal kepada Dinasti Hashemite yang telah lama berkuasa di Yordania dan kini dipimpin oleh Raja Abdullah II.
Wael al-Saqqa, sekretaris jenderal IAF, membantah bahwa partainya memiliki keterkaitan organisasi dengan Ikhwanul Muslimin. Ia menggambarkan IAF sebagai partai politik independen yang beroperasi dalam koridor hukum.
Dalam pernyataannya awal pekan ini, al-Saqqa menegaskan bahwa IAF “tidak memiliki hubungan dengan badan organisasi manapun, siapa pun itu.”
Ia menyatakan bahwa IAF tetap berkomitmen teguh “pada ketertiban, hukum, dan ketentuan konstitusi.”
Namun demikian, Menteri Dalam Negeri Mazin al-Farrayeh pada 23 April menyatakan bahwa seluruh aktivitas yang terkait dengan Ikhwanul Muslimin telah dilarang di seluruh negeri, dan siapa pun yang menyebarkan ideologi kelompok tersebut akan dituntut secara hukum.
Dalam konteks pelarangan ini, ia menjelaskan bahwa semua kantor IAF akan ditutup, serta seluruh aset dan properti partai akan disita oleh negara.
Para penentang Ikhwanul Muslimin—yang saat ini dilarang di sebagian besar negara Arab—menyebut kelompok ini sebagai organisasi teroris yang berbahaya.
Namun menurut Ikhwanul Muslimin, mereka telah meninggalkan kekerasan sejak beberapa dekade lalu dan kini hanya menempuh jalur damai untuk mencapai tujuan politik mereka.
Dugaan Rencana Destabilisasi
Menurut al-Farrayeh, para anggota IAF dituduh telah merencanakan serangan terhadap lokasi-lokasi sensitif dan sasaran keamanan di Yordania. Namun, ia tidak menyebutkan secara spesifik target dari rencana tersebut, yang disebut bertujuan mengguncang stabilitas negara.
Pekan lalu, otoritas Yordania menangkap 16 anggota partai dengan tuduhan merencanakan serangan ke sejumlah sasaran di Yordania—menggunakan roket dan drone—setelah menerima pelatihan di Lebanon.
Pihak berwenang menyatakan telah menemukan fasilitas rahasia untuk produksi roket dan drone—klaim yang belum dapat diverifikasi secara independen oleh The Epoch Times.
Pada saat itu, Departemen Intelijen Umum Yordania menyebut bahwa dugaan plot tersebut “bertujuan merusak keamanan nasional, menebar kekacauan, dan menyebabkan kerusakan materiil di dalam kerajaan.”
Posisi Strategis Yordania
Lama dianggap sebagai sekutu utama AS di Timur Tengah, Yordania saat ini menjadi tuan rumah bagi lebih dari 3.500 tentara Amerika dan sejumlah pangkalan militer AS.
Dengan populasi lebih dari 11 juta jiwa, Yordania berbatasan dengan Suriah, Irak, Arab Saudi, Israel, dan Tepi Barat yang diduduki Israel.
Yordania juga menampung jutaan pengungsi Palestina dan keturunannya, sebagian besar melarikan diri ke negara ini pada tahun 1948—setelah pembentukan negara Israel—dan setelah perang Arab–Israel tahun 1967.
Pada 1994, Yordania menandatangani perjanjian damai dengan Israel, menjadi negara Arab kedua yang melakukannya setelah Mesir.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Yordania telah memperketat kontrol terhadap lawan-lawan politik—dan warga sipil biasa—dengan menggunakan undang-undang yang bertujuan membungkam perbedaan pendapat, menurut kelompok-kelompok hak asasi internasional. Pemerintah menyatakan bahwa mereka tetap menoleransi kebebasan berbicara selama tidak menghasut kekerasan.
Reuters dan Associated Press berkontribusi dalam laporan ini.