“Harga Itu Tiga Karung”: Perjanjian Hutan dan Pengorbanan dari Keserakahan

EtIndonesia. Di sebuah desa tua di Skotlandia, yang telah berdiri selama berabad-abad, tersimpan sebuah legenda kelam. Konon, seorang penyihir dari dalam hutan pernah muncul dan memberikan peringatan keras kepada para penduduk desa: jangan menebang pohon secara serampangan, atau mereka akan terkena kutukan mematikan — tanah akan menjadi tandus, dan para wanita tidak akan bisa mengandung.

Untuk menghindari malapetaka itu, sebuah perjanjian pun dibuat. Setiap kali menebang pohon, hanya dalam jumlah kecil yang diperbolehkan, dan setiap tahun setelah panen, para penduduk harus meninggalkan satu karung hasil pertanian di tepi hutan sebagai bentuk penghormatan. Selama ratusan tahun, perjanjian itu menjaga keseimbangan sakral antara manusia dan alam, dan desa itu hidup makmur dalam kedamaian.

Namun, waktu terus bergulir. Di masa generasi baru, muncul orang-orang yang mengejek kisah lama sebagai takhayul belaka. Mereka menebangi hampir seluruh hutan, lalu membangun sebuah pabrik penggilingan besar, berharap mendapatkan kekayaan yang jauh lebih besar. Tapi ketika penyihir itu kembali, wajahnya murka dan suaranya penuh dendam. 

Dia memperingatkan: “Kalian akan membayar mahal.”

Alih-alih sadar, penduduk malah menangkap penyihir itu dan menggantungnya di pohon. 

Sebelum mati, dia melontarkan kalimat terakhir yang menggema hingga kini: “Harga sekarang… tiga karung.”

Setelah peristiwa itu, sang pemilik penggilingan dihantui rasa takut. Dia pun memutuskan untuk meninggalkan tiga karung hasil panen setiap tahun. Hasilnya? Ladangnya terus panen melimpah, dan dia dikaruniai tiga putri yang cantik jelita. Hidupnya terlihat sempurna, hingga akhirnya dia lupa akan dosa masa lalu dan menghentikan persembahan tiga karung tersebut.

Keesokan paginya, putri bungsunya menghilang secara misterius. Pencarian seluruh desa tak membuahkan hasil, sampai akhirnya terdengar jeritan ngeri dari dalam pabrik penggilingan. Di ruang penggilingan batu, ditemukan lautan darah, dan tubuh sang putri terjepit hancur di antara batu-batu, pemandangan yang membuat siapa pun mual melihatnya.

Sejak saat itu, pabrik tersebut ditinggalkan, dan seiring waktu berubah menjadi sebuah gudang tua berbentuk silinder.

Konon, pada tahun 1960-an, warga masih percaya bahwa kutukan lama itu belum terangkat. Demi membuktikannya, sekelompok pemuda desa mengutus seorang remaja laki-laki untuk bermalam sendirian di dalam silo tua itu. Keesokan paginya, dia ditemukan tergeletak di dasar bangunan dengan kedua kakinya patah.

Dengan tubuh gemetar, dia menceritakan bahwa di malam itu, karung-karung kosong di dalam silo hidup dan merangkak ke arahnya, mencoba menyeretnya ke dalam kegelapan. Perjanjian itu, tampaknya belum berakhir. Dan siapa pun yang melupakan masa lalu dan menginjak wilayah itu, akan menanggung akibatnya sekali lagi.

Meski terdengar seperti cerita legenda, kisah ini mengandung pesan yang menggugah hati — bahwa kedermawanan alam tidaklah tanpa batas. Buah dari kebaikan membutuhkan pengorbanan untuk tetap tumbuh. Jika keserakahan menggerus komitmen dan kepercayaan, maka balasan mengerikan akan datang, lambat atau cepat.

Dan ingatlah, harga tiga karung itu tidak hanya sekadar hasil panen. Mungkin yang akan dibayar adalah nyawa orang yang kau cintai — atau bahkan jiwamu sendiri.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS