EtIndonesia. Selama 72 jam penuh, mulai Sabtu pagi hingga Senin malam, Presiden Tiongkok dan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok (PKT), Xi Jinping, menghilang secara misterius dari hadapan publik. Tidak ada rilis resmi, tidak ada dokumentasi visual, bahkan sistem propaganda negara yang biasanya memujanya secara konsisten mendadak sunyi. Tidak ada pernyataan diplomatik, tidak ada pembicaraan internasional yang melibatkan namanya, dan seluruh mesin media negara secara mencolok mengabaikan keberadaannya.
Selama tiga hari tersebut, Tiongkok seperti sebuah kereta super raksasa yang kehilangan masinis. Di saat bersamaan, perundingan dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat berlangsung secara intens. Anehnya, dalam waktu yang sangat singkat, Tiongkok tiba-tiba menyetujui proposal kompromi dari pihak AS.
He Lifeng, arsitek kebijakan ekonomi Tiongkok, kembali ke panggung dan segera mengambil alih jalannya negosiasi. Tak lama kemudian, faksi para sesepuh Partai (dikenal dengan sebutan Yuanlaopai) secara aktif mengambil kendali penuh atas dinamika dalam negeri dan kebijakan eksternal.
Senin, 12 Mei: Pernyataan Bersama yang Penuh Konsesi
Tepat pada Senin pagi, pernyataan bersama antara Beijing dan Washington diumumkan secara serentak. Kecepatan rilis dan isi dokumen membuat banyak pengamat geopolitik terkejut. Isinya sarat dengan konsesi dari pihak Tiongkok — seolah-olah naskah tersebut telah lama disiapkan dan hanya menunggu momen eksekusi.
Awalnya, sebagian kalangan mengira ini hanya bagian dari strategi low profile Xi Jinping. Namun kecurigaan semakin kuat ketika pada 13 Mei pagi, Xi tiba-tiba muncul di Beijing untuk menghadiri pembukaan forum Menteri Luar Negeri negara-negara Amerika Latin dan Karibia.
Forum Skala Menengah yang Diikuti Pemimpin Tertinggi
Yang menjadi pertanyaan: mengapa acara berlevel menengah seperti ini dihadiri langsung oleh Xi Jinping?
Secara resmi, forum ini disebut sebagai pertemuan antara Tiongkok dan komunitas negara Amerika Latin dan Karibia (CELAC). Namun, jika dicermati lebih dalam, muncul berbagai kejanggalan:
- Tidak ada daftar resmi negara yang benar-benar hadir.
- Menteri luar negeri dari negara-negara besar seperti Meksiko, Bolivia, dan Peru absen.
- Banyak delegasi berasal dari kalangan asosiasi pengusaha Tionghoa, Institut Konfusius, atau lembaga swadaya masyarakat yang tidak memiliki otoritas diplomatik formal.
Alih-alih menjadi forum internasional strategis, acara ini tampak lebih sebagai panggung propaganda domestik dan sandiwara diplomatik, dengan Xi sebagai tokoh utama yang sedang berupaya meyakinkan dua pihak sekaligus:
- Ke dalam negeri, bahwa dia masih mampu mengundang “tamu-tamu internasional.”
- Ke luar negeri, bahwa Tiongkok masih memiliki pengaruh di Amerika Latin — wilayah yang selama ini diklaim sebagai “halaman belakang” Washington.
Forum yang Justru Memberi Data untuk CIA
Namun upaya tersebut justru berbalik arah. Ketika para delegasi kembali ke negara asal, lembaga intelijen seperti CIA dan aparat keamanan AS di Amerika Latin dengan mudah memanfaatkan forum ini untuk:
- Mengidentifikasi aktor-aktor yang dekat dengan Beijing.
- Melacak penerima dana bantuan dari Partai Komunis Tiongkok.
- Menyusun daftar individu potensial yang bisa menjadi agen pengaruh atau jaringan intelijen.
Di kalangan dalam pemerintahan AS, acara ini bahkan dijuluki sebagai bentuk “diplomasi bunuh diri” — karena tanpa disadari, Tiongkok menyerahkan daftar “teman-teman”-nya langsung ke tangan lawan.
Delegasi Palsu: Didatangkan Lewat Dolar Partai
Bagaimana bisa Tiongkok mengundang begitu banyak “perwakilan” dari Amerika Latin?
Jawabannya sederhana: uang.
Selama lebih dari satu dekade, Beijing telah mengucurkan lebih dari 3,5 miliar dolar ke berbagai entitas di kawasan itu: dari partai politik, media, LSM, hingga think tank. Delegasi yang hadir sebagian besar bukan mewakili negara, melainkan didatangkan melalui “dana panggung” Partai Komunis Tiongkok.
Asalkan Anda mewakili organisasi dengan nama bombastis seperti “Aliansi Pembangunan Global Selatan” atau “Persahabatan Rakyat Anti-Hegemoni,” Anda bisa berdiri di atas panggung Beijing — walau hanya beranggotakan 3 orang.
Tujuan Strategis: Isolasi Taiwan
Di balik propaganda ini, ada agenda jangka panjang: mengusir Taiwan dari panggung diplomasi global.
Kasus Honduras pada 2023 menjadi contoh:
- Presiden Xiomara Castro meminta Taiwan bantuan sebesar 2,45 miliar dolar — termasuk untuk membangun rumah sakit dan infrastruktur.
- Ketika ditolak, Honduras langsung memutus hubungan diplomatik dan berpaling ke Tiongkok.
- Dalam waktu singkat, status “anggota Belt and Road Initiative” disematkan, dan proyek infrastruktur pun mulai dijalankan.
Polanya serupa terjadi di Nikaragua pada tahun 2021 dan sejumlah negara kecil lain di Karibia.
Kenapa Beijing Mengincar Amerika Latin dan Karibia?
Karena kawasan ini sangat rentan disusupi. Beberapa alasannya:
- Identitas nasional yang lemah, warisan dari masa kolonial.
- Pergantian rezim yang tidak stabil.
- Sistem pemerintahan yang rapuh dan defisit fiskal tinggi.
Dengan tawaran proyek infrastruktur dan pinjaman lunak, pemerintah lokal mudah tergoda. Bahkan di negara-negara kecil Karibia:
- Media bisa dibeli, think tank disuap.
- Infrastruktur strategis seperti pelabuhan dan sistem komunikasi bisa dikuasai oleh perusahaan milik negara Tiongkok.
- Bahkan akses ke militer dan parlemen dapat diperoleh hanya dengan dana hibah.
Ketika Xi Kembali, “Bom Politik” Meledak
Kepulangan Xi Jinping disambut dengan rilis dokumen resmi oleh Dewan Negara Tiongkok: Buku Putih Keamanan Nasional di Era Baru. Dokumen setebal 22.000 kata ini merupakan deklarasi paling politis dan komprehensif dalam sejarah keamanan Tiongkok.
Sorotan utama:
- Fokus pada kelangsungan Partai Komunis, bukan negara.
- Semua aspek — pangan, energi, AI, kesehatan, data pribadi, bahkan unggahan di media sosial — kini masuk ke dalam kategori “isu keamanan.”
- Narasi utamanya adalah: setiap warga negara bisa menjadi ancaman, tergantung interpretasi penguasa.
Kontrol AI dan Bangkitnya Rezim Otokratis Teknologis
Xi Jinping tidak lagi percaya pada loyalitas manusia. Maka kontrol kekuasaan dialihkan ke AI. Sistem pengawasan massal yang canggih kini memonitor segala aspek:
- Kamera mengenali wajah, bahkan saat bermasker.
- AI melacak pola perilaku, aplikasi favorit, hingga ekspresi wajah.
- Teknologi ini bisa mendeteksi siapa yang “berpotensi membangkang,” sebelum orang itu sendiri sadar akan sikapnya.
Dan buku putih ini memberikan justifikasi hukum untuk represi massal.
Xi Membangun Rezim Perang Satu Komando
Xi Jinping kini sedang memformat ulang struktur kekuasaan:
- Menyingkirkan sistem lama dan faksi tua.
- Membangun struktur satu komando yang berisi militer generasi baru, big data, dan kecerdasan buatan.
Bahkan kemungkinan perang disiapkan sebagai alibi untuk menunda transisi kekuasaan dalam Partai.
Kesimpulan: Ini Strategi Matang atau Tanda Panik?
Apa yang terjadi selama 72 jam Xi Jinping menghilang bukan sekadar refleksi, melainkan bentuk konsolidasi kekuasaan secara total — baik terhadap faksi dalam partai maupun terhadap rakyat.
Namun di balik semua itu muncul pertanyaan besar:
Apakah ini strategi jitu dari pemimpin yang penuh perhitungan?
Ataukah hanya reaksi panik dari rezim yang mulai kehilangan kendali?
Catatan Akhir:
Saat dunia memperhatikan langkah Tiongkok, satu hal menjadi jelas: Xi Jinping tidak hanya sedang memainkan bidak catur dalam geopolitik global — ia sedang menyusun sistem pemerintahan baru berbasis total control. Bukan lagi pemerintahan rakyat, tapi pemerintahan algoritma.