EtIndonesia. Persaingan strategis antara Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Timur Tengah kian memanas, menjadikan Arab Saudi sebagai medan perrebutan paling strategis. Dalam perkembangan terbaru, upaya Washington untuk mendorong normalisasi diplomatik antara Saudi dan Israel kembali menuai tantangan besar, seiring temuan dokumen rahasia Hamas yang menguak skenario geopolitik di balik konflik berkepanjangan tersebut.
Arab Saudi di Persimpangan Dua Kekuatan Besar
Arab Saudi kini menjadi bidak utama dalam percaturan geopolitik global. Amerika Serikat, sebagai sekutu tradisional Riyadh, berusaha keras mengajak Saudi masuk ke dalam orbit aliansi anti-Tiongkok. Gedung Putih bahkan secara aktif menekan Saudi agar bersedia menormalisasi hubungan dengan Israel, sebuah langkah yang dinilai krusial untuk menegaskan kembali hegemoni Barat di Timur Tengah.
Di sisi lain, Tiongkok berhasil mengukir prestasi diplomatik penting dengan memediasi pemulihan hubungan antara Saudi dan Iran pada tahun 2023. Beijing juga terus memperluas pengaruhnya di kawasan melalui mekanisme BRICS, mempererat poros anti-AS, dan menawarkan alternatif kerja sama ekonomi serta keamanan yang semakin menarik bagi negara-negara Timur Tengah.
Dokumen Rahasia Hamas: Bukti Perang Dingin Baru
Ketika Donald Trump, presiden AS yang kini kembali menguatkan sikap anti-Komunisnya, melakukan lawatan ke Timur Tengah, militer Israel menemukan sejumlah dokumen penting di jaringan terowongan bawah tanah milik Hamas di Gaza. Temuan ini langsung menjadi sorotan dunia internasional.
Menurut laporan investigasi Wall Street Journal tanggal 17 Mei 2025, dokumen internal yang berhasil disita menunjukkan bahwa Hamas telah merancang serangan besar ke Israel pada awal Oktober 2023, dengan motivasi utama mencegah Arab Saudi berpihak ke Barat melalui normalisasi hubungan dengan Israel.
Pemimpin Hamas di Gaza, Yahya Sinwar, tercatat dalam notulen rapat tanggal 2 Oktober 2023, memerintahkan langkah ekstrem agar negosiasi Israel-Saudi gagal total. Dia menilai bahwa hubungan kedua negara itu sudah hampir mencapai kesepakatan bersejarah yang akan mengubah peta politik regional.
Salah satu dokumen juga mengungkap strategi Hamas untuk meningkatkan ketegangan di Tepi Barat, dengan harapan memperkeruh situasi dan menggagalkan upaya rekonsiliasi Israel-Saudi. Dokumen ini menyoroti bahwa Saudi secara diam-diam bekerja sama dengan Israel untuk menyingkirkan pengaruh Hamas dari proses perdamaian Timur Tengah. Meski Hamas belum memberikan pernyataan resmi terkait kebocoran dokumen ini, sejumlah pejabat intelijen Arab yang dikonfirmasi oleh Wall Street Journal menganggap dokumen tersebut kredibel dan sesuai dengan dinamika politik selama setahun terakhir.
Serangan 7 Oktober 2023: Titik Balik Diplomasi Timur Tengah
Puncak dari skenario ini terjadi pada 7 Oktober 2023. Hamas meluncurkan serangan besar-besaran ke wilayah Israel, yang direspons oleh Israel dengan serangan balasan yang sangat masif. Akibat eskalasi kekerasan tersebut, Arab Saudi segera menghentikan proses normalisasi hubungan dengan Israel. Saudi secara terbuka kembali menegaskan dukungan pada prinsip solusi dua negara dan menuntut diakhirinya kekerasan terhadap warga Palestina.
Dengan berhentinya proses negosiasi, upaya rekonsiliasi Saudi-Israel yang didorong oleh Amerika Serikat mengalami kebuntuan. Para analis menilai, keberhasilan Hamas dalam menggagalkan agenda diplomatik ini merupakan salah satu kemenangan strategis Iran dan, secara tidak langsung, Tiongkok.
Dinamika Global: AS vs Tiongkok di Balik Layar
Konflik yang terjadi di Gaza dan seluruh kawasan Timur Tengah pada hakikatnya mencerminkan rivalitas dua adidaya dunia. Pemerintah AS, khususnya selama masa kepemimpinan Trump, sangat aktif melobi Saudi agar mengakui Israel. Bahkan, Washington sempat menawarkan kerja sama pengembangan teknologi nuklir sipil dan jaminan keamanan militer sebagai imbalan jika Riyadh mau berpaling dari pengaruh Beijing.
Washington menargetkan agar Saudi ikut menandatangani Abraham Accords—sebuah inisiatif yang sebelumnya telah sukses memediasi normalisasi hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Tujuannya jelas: memperkuat blok pro-Barat dan menghalau laju ekspansi Tiongkok di kawasan.
Namun di sisi seberang, Tiongkok justru berhasil memediasi rekonsiliasi antara Saudi dan Iran, yang selama ini dikenal sebagai rival abadi di Timur Tengah. Riyadh pun akhirnya menerima undangan Beijing untuk bergabung dalam forum BRICS bersama Brasil, Rusia, India, dan Afrika Selatan. Langkah ini secara signifikan memperkuat posisi poros anti-Barat di kawasan.
Trump Kembali ke Timur Tengah: Upaya Mengembalikan Dominasi AS
Kembalinya Trump ke Timur Tengah bukan sekadar kunjungan simbolis, melainkan sinyal tegas bahwa Amerika Serikat masih berambisi mengembalikan pengaruh dominan di kawasan. Dalam wawancara eksklusif dengan Fox News pada 16 Mei, Trump menegaskan bahwa era di mana negara-negara Timur Tengah beralih ke Tiongkok telah berakhir. Dia mengklaim, di bawah kepemimpinannya, AS akan kembali menjadi penentu utama arah geopolitik Timur Tengah.
Trump menyoroti bahwa “Tiongkok sempat hampir merebut hati negara-negara di kawasan ini. Namun, Amerika kini kembali bangkit dan tidak akan membiarkan itu terjadi.” Sikap keras anti-Komunis dan pro-Israel yang kembali digaungkan Trump menjadi cerminan upaya Amerika untuk mempertahankan posisinya dari gempuran pengaruh ekonomi dan diplomasi Tiongkok.
Kesimpulan: Timur Tengah sebagai Panggung Perang Dingin Abad ke-21
Pertarungan antara Amerika Serikat dan Tiongkok di Timur Tengah tidak lagi sebatas isu ekonomi dan energi, melainkan telah berkembang menjadi perang pengaruh dan aliansi global. Arab Saudi, dengan segala kekuatan ekonomi dan posisi geopolitiknya, kini benar-benar berada di titik kritis sejarah. Hasil akhir dari tarik-menarik kekuatan besar ini bukan hanya akan menentukan masa depan Timur Tengah, tetapi juga konstelasi kekuatan global dalam beberapa dekade ke depan.