“Tenggorokan silet” adalah istilah yang digunakan di Tiongkok untuk menggambarkan sakit tenggorokan parah, bak menelan pecahan kaca atau bilah silet
EtIndonesia. Para ahli mengatakan Tiongkok sedang mengalami gelombang baru COVID-19, dengan pasien melaporkan gejala sakit tenggorokan yang parah dan terasa seperti terbakar.
Zhong Nanshan, salah satu pulmonolog dan ahli epidemiologi terkemuka di Tiongkok, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan media lokal pada 19 Mei bahwa gejala “tenggorokan silet” lebih menonjol dalam gelombang ini, disertai batuk yang lebih sering.
Istilah “Tenggorokan silet” adalah istilah yang digunakan di Tiongkok untuk menggambarkan sakit tenggorokan yang parah, seperti menelan pecahan kaca atau bilah silet.
Dr. Li Tongzeng, direktur Departemen Penyakit Menular di Rumah Sakit You’an Beijing, mengatakan kepada media Tiongkok bahwa gelombang baru COVID-19 yang dimulai pada Maret ini diperkirakan akan mencapai puncaknya pada akhir Mei.
Menurut Zhong, varian dominan dalam gelombang ini adalah varian Omicron XDV, yang sangat menular namun relatif kurang mematikan. Gejala awal termasuk demam, sakit kepala, kelelahan, tenggorokan terasa terbakar, dan batuk parah.
Ia meyakini bahwa epidemi ini masih berada dalam “fase mendaki” dan diperkirakan akan berlangsung selama enam hingga delapan minggu serta mereda pada akhir Juni.
Warganet Tiongkok menggambarkan pengalaman menyakitkan mereka dengan varian baru ini di Weibo, platform media sosial Tiongkok yang diawasi ketat oleh rezim.
Beberapa komentar yang dibagikan termasuk:
“Beberapa hari lalu saat makan siang, seorang rekan kerja batuk hebat sampai saya kira dia tersedak makanan. Dia bilang karena efek berkepanjangan dari COVID kali ini. Ketika saya tanya gejala utamanya, dia bilang ‘tenggorokan silet.’”
Komentar lain berbunyi, “Saya kena tenggorokan silet dan merasa benar-benar lemas.”
“Pasca-COVID tenggorokan silet ini benar-benar brutal—bengkak, sakit, dan saya hampir tidak bisa bicara. Ada obat cepatnya nggak?”
Seorang warga Beijing yang terinfeksi selama hampir 10 hari mengatakan kepada The Epoch Times edisi bahasa Tionghoa : “Saya demam, sakit tenggorokan, dahak kuning bercampur darah, mimisan, batuk, bersin, pilek, pusing, dan tidak punya energi. Menakutkan sekali—saya bersin sekali dan hidung saya langsung berdarah, sampai saya ketakutan. Gelombang COVID kali ini parah sekali.”
Data COVID-19 Lenyap
Rezim Tiongkok telah lama menghadapi tuduhan menutupi data epidemi, terutama terkait angka kematian.
Meskipun tagar “peningkatan infeksi COVID-19” menjadi trending di Weibo, media di daratan Tiongkok meremehkan epidemi ini. Para ahli mencatat adanya data penting yang hilang atau tidak informatif dari pihak berwenang.
Dr. Jonathan Liu, profesor di Canadian College of Traditional Chinese Medicine dan direktur Klinik Kang Mei Pengobatan Tradisional Tiongkok, serta skeptis terhadap data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tiongkok (CCDC), mengatakan bahwa data resmi untuk Maret hanya melaporkan tujuh kematian akibat COVID-19.
“Dengan tingkat epidemi normal, angka serendah itu tidak masuk akal. Kanada, dengan populasi jarang dan sanitasi baik, melaporkan 1.915 kematian akibat COVID dari Agustus tahun lalu hingga Mei tahun ini—lebih dari 200 per bulan. Bagaimana mungkin Tiongkok, dengan populasi padat, hanya memiliki tujuh kematian per bulan?” ujar Liu kepada The Epoch Times.
Menurut CCDC, kasus rawat jalan dan gawat darurat meningkat dari 7,5 persen menjadi 16,2 persen, sementara kasus infeksi saluran pernapasan parah yang dirawat inap meningkat dari 3,3 persen menjadi 6,3 persen.
Xiaoxu Sean Lin, asisten profesor di Departemen Ilmu Biomedis di Feitian College, New York, dan kontributor The Epoch Times, mengatakan bahwa CCDC gagal melaporkan data yang paling penting.
Ia mengatakan kepada The Epoch Times bahwa data dari CCDC hanya mencerminkan peningkatan tingkat positif virus corona baru, namun menghilangkan empat faktor penting: jumlah kasus terkonfirmasi, tingkat rawat inap, tingkat keparahan kasus, dan tingkat kematian. Keempat data ini penting untuk memahami sejauh mana penyebaran wabah. Ia juga mengatakan bahwa rezim Tiongkok di masa lalu terlalu banyak menyembunyikan informasi.
Lonjakan Kasus COVID-19 di Asia
Kasus COVID-19 juga meningkat di Singapura, Thailand, Malaysia, Taiwan, dan Hong Kong.
Pada 8 Mei, Pusat Perlindungan Kesehatan Hong Kong melaporkan bahwa selama empat minggu terakhir, indikator pemantauan utama COVID mencapai titik tertinggi dalam setahun, dengan 31 kematian orang dewasa.
Otoritas kesehatan Singapura mencatat pada 13 Mei bahwa kasus dari 27 April hingga 3 Mei melonjak sekitar 28 persen menjadi lebih dari 14.000, dengan peningkatan 30 persen pada rawat inap harian.
CDC Taiwan melaporkan bahwa kasus telah meningkat signifikan sejak Mei, dengan puncak diperkirakan terjadi pada Juni.
Zhong mengatakan bahwa dari perspektif patogenik, virus COVID-19 mungkin akan mengurangi virulensinya demi kelangsungan hidup, namun terlalu dini untuk menyimpulkan apakah virus ini akan menjadi seperti flu di masa depan. Namun, satu hal yang pasti, katanya: Virus COVID-19 tidak akan lenyap. (asr)
Laporan ini turut disumbangkan oleh Luo Ya, Xiaohua Gu, dan Grace Song