(Edisi Khusus): “Misteri Senyap Xi Jinping: Panggung Terakhir Kekuasaan Beijing Dibuka!”

EtIndonesia. Awal musim panas 2025 membawa hawa panas ke seluruh Tiongkok. Namun, bukan isu Taiwan atau ekonomi yang menjadi perbincangan paling hangat—melainkan teka-teki besar tentang Xi Jinping. Apa yang sebenarnya terjadi pada pemimpin Tiongkok itu? Pertanyaan yang menghantui ini hanya berputar di lingkaran tertutup para pejabat tertinggi di Zhongnanhai dan petinggi militer. Sementara di luar sana, baik rakyat Tiongkok maupun masyarakat dunia hanya melihat wajah-wajah yang berusaha tampak tenang—seolah segalanya baik-baik saja.

Rutinitas birokrasi berjalan seperti biasa, hingga sebuah momen menggetarkan terjadi: Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko, melakukan kunjungan kenegaraan ke Tiongkok. Publik hanya melihat Xi Jinping muncul di layar televisi—dia hanya mengangguk, sama sekali tak bersuara. Dia hadir, namun hanya sebagai sosok pendengar, bukan pengendali.

Puncak ketegangan terjadi saat Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menelpon langsung Xi Jinping pada pukul sembilan malam. Xi, yang dikenal sangat jarang menerima panggilan langsung dan biasanya membiarkan protokol mengatur segala sesuatu, kini secara pribadi mengangkat telepon itu. Dunia pun sadar: ya, Xi memang masih menjabat, namun sesuatu jelas telah berubah. Ada kekuatan lain yang kini mengatur ritme kekuasaan di Beijing.

Perang Dingin Baru—Trump, Perjanjian Jenewa, dan Teka-Teki Kekuasaan

Pada 12 Mei 2025, dunia sempat berharap pada secercah perdamaian. Tiongkok dan Amerika Serikat menandatangani Pernyataan Bersama Perundingan Ekonomi dan Perdagangan di Jenewa, Swiss. Isinya sangat eksplisit: penurunan tarif, ekspor logam tanah jarang, pengembangan teknologi AI, penguatan kerja sama komoditas strategis, hingga pembangunan mekanisme kepercayaan lintas sektor—semua diberi tenggat waktu 90 hari.

Gedung Putih menganggap ini kemajuan bersejarah. Trump bahkan menyebutnya sebagai “terobosan damai” setelah bertahun-tahun perang dagang. Namun, hanya dalam hitungan hari, sinyal aneh muncul dari Beijing. Kementerian Luar Negeri mengeluarkan pernyataan normatif: “saling menguntungkan, mengutamakan kerja sama”. Kementerian Perdagangan bahkan hanya berkomentar, “akan berusaha melaksanakan”. Media utama seperti Xinhua dan People’s Daily justru memilih diam seribu bahasa. Internet Tiongkok, seperti terkena sensor senyap, membiarkan peristiwa besar ini tenggelam tanpa jejak.

Para pelaku bisnis internasional yang jeli langsung membaca gelagat:

“Ini seperti sebuah perusahaan cangkang yang bosnya baru saja wafat. Yang mengelola hanya bagian keuangan, pura-pura tidak tahu apa-apa. Tidak ada keputusan. Semua hanya menunggu.”

Pemerintahan Xi Jinping, atau lebih tepatnya sistem Partai Komunis Tiongkok (PKT), sedang lumpuh karena satu hal—tak ada lagi yang benar-benar berani mengambil keputusan. Aparat kementerian hanya menunggu, bertanya-tanya: “Siapa pemegang kekuasaan yang sesungguhnya sekarang?” Trump murka, bukan karena PKT ingkar janji, melainkan karena Dia melihat—mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Tiongkok—tak ada satu pun sosok di Beijing yang benar-benar berani memutuskan.

Eskalasi Tekanan—Serangan Amerika ke Titik Lemah Keluarga Elite PKT

Situasi ini berubah drastis pada 4 Juni. Gedung Putih merilis kebijakan baru: pembatasan visa bagi mahasiswa asing, khususnya yang belajar di Harvard. Sekilas terlihat biasa—seperti isu imigrasi rutin—tapi kenyataannya, kebijakan ini adalah serangan presisi ke jaringan modal dan kepentingan keluarga elite PKT.

Dalam dokumen resmi, disebutkan: Harvard memiliki relasi finansial dengan PKT, ribuan perwira militer dikirim ke AS untuk belajar, dan ada skema penyusupan tiga sistem utama PKT (partai, pemerintahan, militer) ke institusi pendidikan Amerika. Bahkan, nama anak perempuan pemimpin Tiongkok pun disebutkan secara eksplisit—sebuah pelanggaran keras atas “garis merah” tak tertulis di Beijing. Puluhan tahun, Amerika menghindari menyentuh keluarga para penguasa PKT, kini Trump justru menyerang langsung ke titik terlemah: keluarga.

Pesannya jelas: “Saya tahu di mana anakmu berada.”

Ini adalah perang psikologis tingkat tinggi. Dalam sejarah modern, hanya beberapa pemimpin dunia yang pernah mengalami situasi di mana anak-anak mereka dijadikan target publik oleh Amerika Serikat—Osama Bin Laden, Muammar Gaddafi, dan Saddam Hussein. Semua berakhir tragis bagi rezim mereka.

Bagi elite PKT, ini adalah ultimatum: “Kalian masih ingin setia pada Xi, atau mulai menghubungi CIA?”

Panggung Sandiwara Kekuasaan—Xi Jinping dalam Bayang-Bayang

Trump tidak berhenti di situ. Kali ini, dia mempermalukan Xi Jinping secara terbuka di hadapan seluruh dunia, lewat telepon tengah malam yang tidak terjadwal dan tidak diberi protokol khusus. Berbeda dengan percakapan bilateral resmi antara Trump dan Putin—yang selalu penuh pemberitahuan dan koordinasi lintas kementerian—telepon kepada Xi berlangsung dadakan, tanpa skenario. Media Tiongkok pun sempat gagap, hanya menuliskan “Xi Jinping berbicara dengan Trump”, tanpa embel-embel jabatan, isi percakapan, atau detail lain. Baru kemudian, gelar “Presiden” disisipkan di rilis berikutnya—menandakan ini adalah panggilan darurat yang tak bisa ditolak.

Xi Jinping berada dalam posisi yang sangat lemah:

  • Jika dia menerima telepon, berarti dia tunduk di depan dunia.
  • Jika dia menolak, dia bisa saja kehilangan kekuasaan secara instan.

Di balik layar, tekanan datang bukan hanya dari Amerika, tetapi juga dari sesepuh PKT dan militer yang khawatir masa depan mereka ikut terancam. Akhirnya, Xi terpaksa tampil di kamera, sekadar menjadi simbol “kesetiaan” sampai urusan transisi kekuasaan benar-benar tuntas.

Misteri Fisik dan Isolasi Xi Jinping—Dari Stroke hingga Karantina Politik

Mengapa Xi bisa begitu terpuruk? Jawabannya: kondisi fisiknya benar-benar sudah rapuh. Setelah serangan stroke mendadak pada Juli 2024, Xi menjalani operasi otak darurat. Sejak itu, kesehatannya tak pernah benar-benar pulih untuk menghadapi tekanan politik tingkat tinggi. Pembersihan besar-besaran di tubuh militer, pergantian total sistem pengawal, dan isolasi penuh di Zhongnanhai menunjukkan bahwa lingkaran dalam sudah tidak lagi mempercayai siapa pun.

Setiap tamu, baik asing seperti Lukashenko, maupun tokoh domestik seperti Panchen Lama, hanya bisa diterima di ruangan yang sama—ruangan yang kini lebih mirip “kamar rawat inap” daripada kantor pemimpin negara. Pada minggu pertama Juni, Xi benar-benar “terpaku” di tempat itu, tak lagi melakukan inspeksi luar ruangan sejak 20 Mei.

Penjelasan paling masuk akal: Xi baru saja menjalani operasi besar dan masih dalam masa pemulihan. Bahkan, sangat mungkin detail kondisi fisiknya dirahasiakan dari dirinya sendiri—seperti yang pernah terjadi pada Mao Zedong di penghujung hayatnya.

Inilah ironi tragis sistem otoriter: pemimpin sakit, tapi bukan dirinya yang memutuskan, melainkan kolektif kekuasaan yang penuh intrik.

Sejarah Kelam, Ketakutan, dan Sandiwara Transisi

Partai Komunis Tiongkok belajar banyak dari tiga tragedi besar dalam sejarah kepemimpinan mereka:

  1. 1976 – Setelah Mao wafat, mitos kekuasaan komunis runtuh saat istri Mao diadili publik.
  2. 1987 – Sekretaris Jenderal reformis “mengundurkan diri” secara misterius, memicu gelombang demonstrasi mahasiswa.
  3. 1989 – Perdana Menteri “menghilang” selamanya di sebuah rumah tahanan rahasia.

Kini, elite PKT terlalu takut mengulangi “revolusi internal” yang dramatis. Karena Xi adalah simbol generasi “merah murni”—putra asli revolusi—kejatuhannya tidak boleh terjadi dengan kekerasan, tetapi dengan transisi yang “terhormat” di depan kamera. Namun, kehormatan itu hanya sebuah sandiwara. Semua adalah rekayasa panggung agar rakyat dan dunia melihat kekuasaan berpindah tangan secara “normal”.

Parade Terakhir, Ancaman AI, dan Diplomasi Senyap Barat

Semua persiapan menuju satu puncak: parade militer besar pada 3 September 2025 di Beijing, memperingati 80 tahun kemenangan Perang Dunia II. Namun, di balik parade ini, sesungguhnya adalah “foto bersama terakhir” dua rezim besar yang berada di ujung tanduk: Tiongkok dan Rusia.

Tamu kehormatan adalah Vladimir Putin, yang baru saja lolos dari percobaan pembunuhan lewat serangan drone di Kursk—serangan yang terdeteksi hanya mungkin dilakukan dengan teknologi intelijen dan AI tingkat tinggi milik Amerika. Ini bukan sekadar ancaman fisik, tapi uji coba pembersihan kekuasaan secara diam-diam. Media Amerika hanya menyebutnya “eskalasi taktis”. Tak ada kata “garis merah” atau “pelanggaran batas”—ini kode bahwa operasi seperti itu telah “diizinkan”.

Sistem AI seperti Palantir, Spark, Cognition, dan terutama Gotham kini telah naik ke level berikutnya—bukan hanya memonitor, tetapi juga mensimulasikan langkah para pemimpin dunia:

  • Siapa yang bisa menjadi target?
  • Siapa pengganti yang paling stabil?
  • Seberapa besar risiko jika seorang pemimpin jatuh?

Keberlangsungan Putin dan Xi bukan lagi soal keberanian atau kekuatan, melainkan soal kalkulasi AI dan waktu politik Amerika.

Penutup—Foto Bersama di Ujung Zaman

Ketika parade digelar, kamera dunia akan mengarah ke satu titik: Xi Jinping dan Vladimir Putin, berdiri bersama, tersenyum kaku di tengah dentuman meriam kehormatan—namun mereka tahu, semuanya hanya sandiwara. CIA, NATO, dan tim Trump akan menilai siapa yang hadir, siapa yang absen, siapa yang wajahnya paling tegang, dan siapa yang mobilnya berganti tipe.

Ini bukan pesta kemenangan Tiongkok-Rusia. Ini adalah ultimatum terakhir Amerika.

“Kalian masih berdiri hari ini, karena kami belum menekan tombol ‘eksekusi’.”

Pada akhirnya, dunia hanya tinggal menghitung hari. Ketika tirai ditutup dan lampu dipadamkan, babak baru akan dimulai—tanpa Xi, tanpa Putin, dan mungkin, tanpa sistem lama yang pernah mereka wakili.

FOKUS DUNIA

NEWS