Oleh: Fadjar Pratikto
Kepulauan Raja Ampat di Papua Barat Daya kembali menjadi sorotan publik, bukan karena keindahan lautnya, tetapi karena kerusakan ekosistem akibat aktivitas pertambangan nikel. Warganet ramai-ramai membagikan informasi tentang kerusakan tersebut dengan tagar #SaveRajaAmpat.
Tekanan publik memuncak setelah aktivis Greenpeace melakukan aksi protes saat Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno berbicara di “Indonesia Critical Minerals Conference & Expo 2025”, 3 Juni lalu. Aksi itu berujung pada pengusiran para aktivis, termasuk seorang perempuan Papua yang membentangkan spanduk protes terhadap tambang nikel.
Protes ini mengarah pada pertanyaan besar: siapa di balik kerusakan ini? Pemerintah kemudian melakukan inspeksi terhadap empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah Raja Ampat dari 26–31 Mei 2025. Keempatnya adalah PT Gag Nikel (GN), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP).
Jejak Modal Asing dan Kepentingannya
PT Gag Nikel (GN), yang beroperasi di Pulau Gag seluas 13.136 hektare, awalnya dimiliki oleh perusahaan Australia Asia Pacific Nickel dan PT Aneka Tambang (Antam). Namun sejak 2008, Antam menjadi pemilik penuh. Pada Oktober 2024, Antam mengakuisisi 30% saham PT Jiu Long Metal Industry (JLMI), anak usaha Eternal Tsingshan Group dari Tiongkok, senilai Rp1,6 triliun. JLMI sendiri menjalankan smelter di Pulau Gag, menjadikannya bagian penting dari rantai pasok hilirisasi nikel Indonesia.
JLMI juga memiliki fasilitas pengolahan di Weda, Halmahera Tengah, dan mengolah bijih nikel dari PT GN menjadi Nickel Pig Iron dan Nickel Matte. Akuisisi ini bukan hanya tentang investasi, tapi juga memastikan pasokan bahan baku ke pabrik Tiongkok.
Sementara itu, PT Anugerah Surya Pratama (ASP) juga terafiliasi dengan Tiongkok melalui induknya, PT Wanxiang Nickel Indonesia, yang menguasai ribuan hektare di Kepulauan Waigeo dan Pulau Manuram. Perusahaan ini merupakan bagian dari jaringan bisnis raksasa tambang Tiongkok, Vansun Group, yang juga mengoperasikan smelter besar di Morowali.
PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) yang beroperasi di Pulau Kawei seluas 5.922 hektare, dimiliki oleh WNI Hamzah Hendrawan. Meski sahamnya tidak dimiliki asing, hasil tambangnya sebagian besar diekspor ke Tiongkok. Sementara PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), yang baru mulai survei sejak September 2024 di Pulau Manyaifun dan Batang Pele, belum diketahui pasti keterkaitannya dengan investor asing.
Pemerintah Akhirnya Mencabut Empat Izin
Menyusul tekanan publik, pemerintah akhirnya mencabut izin empat perusahaan tambang: PT ASP, PT KSM, PT MRP, dan PT Nurham. Pengumuman resmi dilakukan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi pada 10 Juni 2025. Keputusan ini disebut berdasarkan evaluasi lintas kementerian dan bukan semata karena viralnya isu di media sosial.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa hanya PT Gag Nikel yang mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2025 dan telah diperiksa langsung oleh timnya. Meskipun sebelumnya sempat dihentikan operasinya karena dianggap melanggar UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Bahlil kemudian menyatakan bahwa Pulau Gag tidak masuk kawasan Geopark Raja Ampat dan letaknya cukup jauh dari pusat wisata Piaynemo.
Namun, keputusan mempertahankan izin PT GN memunculkan tanda tanya besar. Terlebih, laporan menunjukkan bahwa 300 dari 500 hektare deforestasi di Raja Ampat justru terjadi di Pulau Gag—lokasi operasi PT GN.
Sementara itu, PT ASP diketahui melakukan penambangan tanpa sistem manajemen lingkungan dan pengelolaan limbah. KLHK telah memasang papan peringatan untuk menghentikan aktivitasnya. Secara umum, keempat perusahaan yang dicabut izinnya diduga melakukan pelanggaran serius terkait legalitas dan pengelolaan lingkungan.
Sorotan Terhadap Investasi Asing dan Lemahnya Pengawasan
Kasus ini menunjukkan bagaimana investasi asing, khususnya dari Tiongkok, menjadi faktor dominan dalam industri tambang di Papua. Banyak perusahaan asing memanfaatkan celah hukum dan lemahnya pengawasan pemerintah untuk mengeksploitasi sumber daya alam di kawasan konservasi seperti Raja Ampat.
Anggota Komisi VII DPR RI, Desy Natalia, meminta pemerintah meninjau ulang kerja sama investasi yang mengabaikan prinsip keberlanjutan dan hak masyarakat lokal. Ia menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan.
Greenpeace melalui juru kampanyenya, Iqbal Damanik, juga mengkritik pembenaran pemerintah bahwa lokasi tambang PT GN cukup jauh dari kawasan wisata. Menurutnya, hal itu tak relevan karena aturan melarang penambangan di pulau kecil. Fakta bahwa 500 hektare hutan telah hilang, 300 hektare di antaranya di Pulau Gag, adalah sinyal bahaya.
Masyarakat adat, nelayan, dan warga yang terdampak kerusakan lingkungan mulai melakukan perlawanan hukum. Mereka dibantu Lembaga Bantuan Hukum Papua Barat dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) untuk menyiapkan gugatan perdata terhadap perusahaan tambang yang merusak lingkungan dan merampas ruang hidup mereka.
Langkah ini penting sebagai preseden bahwa masyarakat lokal tidak tinggal diam ketika ekosistem mereka dirusak atas nama pembangunan. Mereka menuntut keadilan lingkungan dan ekonomi.
Raja Ampat, yang dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia, kini belum aman oleh kerakusan industri tambang. Kasus ini memperlihatkan ketidakseimbangan antara ambisi ekonomi nasional dan tanggung jawab ekologis. Meski pemerintah mencabut beberapa izin, pertanyaan besar masih menggantung: mengapa PT Gag Nikel tetap diizinkan beroperasi, padahal kerusakan lingkungan paling besar terjadi di wilayahnya?
Investasi asing, khususnya dari Tiongkok, juga berperan besar dalam skema tambang dan hilirisasi. Namun, tanpa pengawasan ketat dan keberpihakan kepada lingkungan serta masyarakat adat, investasi semacam ini justru membawa bencana ekologis.
Kasus Raja Ampat adalah peringatan: Indonesia tidak boleh mengorbankan warisan alamnya demi kepentingan modal asing dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Keberlanjutan, keadilan, dan kedaulatan ekologis harus menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan pembangunan.