Dengan menggulingkan ratusan bankir, gelombang anti-korupsi Tiongkok menandai upaya penyelamatan penuh risiko terhadap sektor perbankan yang tertekan akibat pinjaman properti bermasalah dan utang lokal triliunan yuan.
Sean Tseng
Selama hampir tiga tahun terakhir, kampanye anti-korupsi di Tiongkok telah menyapu seluruh penjuru sektor keuangan, menggulingkan ratusan pejabat perbankan tingkat menengah dan tinggi—dari pejabat setingkat wakil menteri di kantor pusat Beijing hingga manajer cabang di pelosok kabupaten.
Kampanye ini dimulai pada akhir 2022 dan kini telah mencakup seluruh enam bank raksasa milik negara, tiga bank kebijakan utama, serta puluhan lembaga keuangan tingkat provinsi dan kota.
Sejak tahun 2023, setidaknya 200 pejabat perbankan telah diselidiki atau dihukum, menurut penghitungan The Epoch Times berdasarkan pengumuman resmi.
Pembersihan ini terjadi saat sistem perbankan Tiongkok bergulat dengan keruntuhan pasar properti yang menghancurkan nilai agunan, serta tumpukan utang tersembunyi dari pemerintah daerah—kombinasi eksplosif yang telah memaksa penggabungan, pembubaran, atau pencabutan izin 162 bank kecil hanya dalam tahun 2024, menurut laporan South China Morning Post pada Januari.
Orang dalam mengatakan bahwa kampanye ini merupakan reset menyeluruh yang bertujuan membongkar jaringan patronase yang telah mendorong praktik pinjaman sembrono, menyebabkan kehancuran sektor properti, dan menjerumuskan pemerintah daerah ke dalam jeratan utang di luar neraca.
Dengan memberantas korupsi dan menempatkan teknokrat yang memiliki latar belakang pengendalian risiko, Beijing berharap bisa menstabilkan industri yang kini tertekan akibat meningkatnya gagal bayar, krisis likuiditas, dan keraguan publik atas keamanan simpanan.
Jaring Penyisiran Sektor Finansial
Pengumuman resmi menunjukkan bahwa hampir tidak ada satu minggu pun di tahun ini yang berlalu tanpa ada bankir yang tumbang.
Hingga akhir April, Komisi Pusat untuk Pemeriksaan Disiplin (CCDI) Partai Komunis Tiongkok telah membuka 90 penyelidikan di sektor keuangan, 63 di antaranya di bank.
Enam bank raksasa negara telah kehilangan 34 eksekutif—10 dari China Construction Bank (CCB), 6 dari Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), masing-masing 7 dari Agricultural Bank of China (ABC) dan Bank of China (BOC), serta masing-masing 2 dari Bank of Communications (BoCom) dan Postal Savings Bank of China (PSBC).
Tiga bank kebijakan juga telah kehilangan 11 pejabat senior—5 dari Agricultural Development Bank of China, sisanya dari China Development Bank dan Export-Import Bank of China.
Sebanyak 14 kasus lainnya melibatkan serikat kredit pedesaan dan bank komersial kota di Guangdong, Sichuan, Shandong, Yunnan, dan Hubei, ditambah banyak penangkapan di bank-bank provinsi Sichuan, Guizhou, dan Jiangxi, serta Chongqing Rural Commercial Bank.
Bulan April saja mencatat setidaknya 7 penahanan, termasuk mantan Presiden CCB Henan Shi Tingfeng—yang kemudian menjabat sebagai ketua CCB Pension Co. dan wakil direktur lembaga think tank bank—dan mantan Wakil Presiden CCB Lu Jianhua.
Penangkapan mereka menegaskan bahwa kampanye ini mencakup basis kekuasaan provinsi hingga ke kantor pusat korporasi di Beijing.
“Ini adalah pembersihan menyeluruh dari atas ke bawah,” kata Peng Desheng, penasihat kebijakan di BoCom Beijing kepada The Epoch Times.
“Dulu, pengangkatan pejabat bergantung pada koneksi politik dan bisnis. Sekarang Beijing menginginkan pengalaman pengendalian risiko dan kompetensi profesional,” tambahnya. “Jabatan senior kini akan lebih condong ke teknokrat dan menjauh dari jejaring patronase lama.”
Mengapa Beijing Bergerak Sekarang
Ketika ledakan properti Tiongkok meledak pada akhir 2021, harga tanah anjlok dan permintaan hipotek menguap, menghapus nilai agunan yang menopang triliunan yuan pinjaman bank.
Bank-bank kecil di pedesaan dan kota kecil menjadi yang paling terdampak; banyak dari mereka kini memiliki rasio kredit macet hingga 40%, menurut Asian Banking & Finance, mengutip Betty Huang dari BBVA Research.
Tak mampu menyerap kerugian, setidaknya 162 bank kecil telah dipaksa bergabung, dibubarkan, atau dicabut izinnya hanya dalam tahun 2024.
Pada saat yang sama, pemerintah daerah tak lagi mampu bertindak sebagai penyelamat.
Selama bertahun-tahun, provinsi dan kota menggunakan kendaraan pembiayaan pemerintah daerah (LGFV)—perusahaan cangkang yang mereka bentuk untuk meminjam dana secara off-the-books guna membangun jalan, kereta bawah tanah, dan taman industri—dengan harapan bahwa pendapatan dari penjualan tanah dan pasar properti yang booming akan menutupi biaya tersebut.
Namun, taruhan itu kini berbalik arah.
Dengan merosotnya penjualan properti dan penerimaan pajak, perusahaan cangkang itu kesulitan membayar ulang utang yang menurut analis mencapai 78 triliun yuan (sekitar USD 10 triliun)—lebih dari setengah ukuran total ekonomi Tiongkok.
Setiap kuartal, setidaknya 1 triliun yuan (sekitar USD 137 miliar) obligasi LGFV jatuh tempo, memaksa pejabat daerah terus mencari dana baru.
Solusi darurat Beijing—program tukar utang sekali pakai sebesar 10 triliun yuan (sekitar USD 1,4 triliun) yang memungkinkan provinsi membiayai kembali sebagian dari pinjaman “tersembunyi” ini dengan obligasi jangka panjang yang dijamin negara—hanya mencakup sebagian kecil dari total utang dan hanya menunda pembayaran ke masa depan.
“Sebagian besar pejabat perbankan yang tumbang berasal dari unit yang telah lama ditandai—masalah telah membusuk selama bertahun-tahun,” kata Sun Tao, ekonom Tiongkok dan pakar hukum keuangan dari Universitas Shandong kepada The Epoch Times.
Ia menelusuri kampanye anti-korupsi ini ke putaran kedua inspeksi CCDI dan audit mendalam oleh Kantor Audit Nasional yang berfokus pada bank kebijakan dan utang lokal tersembunyi.
Begini Cara Mesin Uang Beroperasi
Orang dalam menggambarkan sistem yang digerakkan oleh target kuota pinjaman tanpa henti dan diminyaki oleh suap.
Tuan Guo, mantan manajer cabang bank negara di Guangdong, mengatakan bahwa banyak presiden cabang lokal menggunakan perantara untuk mengarahkan pinjaman ke perusahaan “favorit,” mengambil bagian keuntungan, dan memindahkan uangnya ke luar negeri untuk membeli properti.
“Di dalam sistem, kami sejak lama tahu bahwa risikonya terus menumpuk. Banyak cabang lokal dipaksa oleh ‘target’ untuk terus mengeluarkan pinjaman; tanpa pinjaman, mereka tidak bisa memenuhi kuota,” ujar Guo kepada The Epoch Times.
Ia mengatakan banyak dari mereka yang kini diselidiki adalah “orang lama perbankan” yang naik pangkat lewat koneksi politik dan bisnis.
“Beberapa eksekutif sudah memindahkan keuntungan mereka ke luar negeri sejak 2015—membeli properti di Australia dan Jepang yang sekarang nilainya berkali lipat. Beberapa dari mereka kena larangan keluar dan tak bisa meninggalkan Tiongkok, jadi rumah-rumah itu mungkin hanya akan kosong begitu saja,” tambahnya.
Buletin CCDI menyebutkan tuduhan yang umum: penerbitan pinjaman ilegal, suap, pertukaran kekuasaan dengan uang, mencari keuntungan lewat LGFV, dan pencucian uang ke luar negeri.
Syarat Awal untuk Reformasi di Tengah Krisis Finansial
Yao Liming, konsultan regulasi keuangan di Beijing, menyebut pembersihan ini sebagai “pembersihan politik sekaligus prasyarat untuk reformasi finansial.”
Bahkan manajer tingkat rendah pun menjadi sasaran, menunjukkan bahwa politik dan pengendalian risiko kini berjalan beriringan.
Seorang eksekutif fintech yang berbasis di Shanghai, yang meminta anonimitas, menggambarkan kampanye ini sebagai triase yang sudah lama tertunda.
“Bank-bank telah digunakan untuk menambal defisit fiskal pemerintah daerah dan memfasilitasi pelarian modal bagi elit lokal. Banyak pemberi pinjaman hanya menggulung pinjaman buruk dengan kredit baru. Regulator tahu itu. Kampanye ini adalah bentuk pertanggungjawaban sekaligus cara untuk membersihkan ruang bagi restrukturisasi berikutnya,” ujarnya kepada The Epoch Times.
“Kampanye saat ini hanya menangani masalah yang telah terakumulasi selama satu dekade atau lebih.”
Dengan menyapu semua tingkat—dari kantor pusat hingga cabang kabupaten—Beijing tampaknya berusaha memutus rantai yang telah menjadikan sistem perbankan yang sangat berutang sebagai titik ledak krisis finansial Tiongkok yang sedang berlangsung. (asr)
Shen Yue turut berkontribusi dalam laporan ini.