(Edisi Khusus): Drama Kudeta Senyap, Pembersihan Politik, dan Hitung Mundur Jatuhnya Xi Jinping

EtIndonesia. Masih banyak yang mengira insiden digiringnya Hu Jintao keluar dari ruang sidang Kongres ke-20 Partai Komunis Tiongkok (PKT) adalah puncak dari drama politik Tiongkok modern. Faktanya, momen itu justru merupakan episode paling “halus” dari sebuah operasi besar-besaran yang sesungguhnya: rencana kudeta internal yang nyaris membalikkan seluruh struktur kekuasaan di tubuh PKT.

Apa yang sebenarnya terjadi jauh melampaui insiden tersebut. Di balik tembok merah kekuasaan, telah berlangsung upaya sistematis untuk menghabisi para tokoh senior dan membentuk barisan tunggal di bawah kendali Xi Jinping. Namun, rencana besar ini gagal total di saat-saat kritis, menyisakan sisa-sisa faksi lawan yang kini mulai bangkit kembali seiring melemahnya kekuasaan Xi.

Skema Kudeta dan Surat Rahasia Chen Min’er

Surat yang Menggemparkan

Semua bermula pada awal Juni, ketika Chen Min’er—salah satu kader kepercayaan Xi—secara diam-diam menulis surat kepada Wen Jiabao, mantan Perdana Menteri Tiongkok. Surat itu, yang kini beredar luas di kalangan elite PKT, secara terang-terangan mengungkap rencana awal Kongres ke-20: menyingkirkan 15 pejabat senior partai secara serentak.

Daftar hitam itu bukan sembarangan—isinya para tokoh senior, penggerak utama faksi Tuanpai (Liga Pemuda), dan para penentang garis politik Xi. Bahkan, mereka yang selama ini “setia”, seperti Hu Chunhua dan Wang Yang, juga tak luput masuk daftar.

Skenario utamanya: jika rencana berjalan mulus, seluruh kekuatan faksi teknokrat, senior, dan regional akan “dibersihkan” hingga hanya menyisakan satu warna: loyalis Xi Jinping. Namun, kudeta ini gagal menyelesaikan langkah terakhirnya, akibat keraguan dua aktor utama.

Dua Kunci Gagalnya Kudeta

Chen Min’er: Sang “Putra Mahkota” yang Ragu

Chen Min’er waktu itu sudah diproyeksikan menjadi Sekretaris Komisi Disiplin Pusat PKT, posisi strategis untuk mengamankan kekuasaan Xi. Namun, di tengah rapat rahasia, Chen tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang bagi Xi Jinping adalah tanda pembangkangan: “Dulu Sekretaris Hu pernah melindungi kita, apakah menangkap 15 orang ini tidak terlalu berlebihan?”

Kalimat sederhana ini fatal. Dalam politik Tiongkok, keraguan adalah dosa besar. Akibatnya, Chen langsung dicoret dari daftar anggota tetap Politbiro dan digantikan oleh Li Xi yang lebih loyal. Dia sadar: dirinya hanyalah pion. Dari situ, Chen Min’er mulai bergerak diam-diam, bukan untuk menolong siapa pun, melainkan demi menyelamatkan dirinya sendiri.

Zhang Youxia: Komandan yang Tak Bertindak

Zhang Youxia, wakil panglima tertinggi militer sekaligus pengawal utama operasi kudeta, justru memilih diam saat genting. Dia tak menggerakkan pasukan, tak memberontak, hanya membiarkan situasi berjalan tanpa intervensi.

Zhang paham, jika terjadi kekacauan, yang jadi korban bukan Xi sang konseptor, melainkan dirinya sebagai eksekutor. Lebih dari itu, Zhang tahu siapa yang pernah mengangkat karier militernya: Hu Jintao. Dia pun mengambil jalan tengah, mematuhi perintah di permukaan, tapi “melonggarkan” pengamanan di bawah, seolah memberi isyarat: “Kalian diam, saya pun diam.”

Klimaks di Hari Terakhir Kongres ke-20

Aksi Simbolik di Podium

Pada hari terakhir Kongres ke-20, Hu Jintao duduk tepat di sebelah kiri Xi Jinping, di hadapannya daftar Politbiro baru yang hanya berisi kader loyalis Xi. Skenario Xi adalah agar Hu tetap di kursinya, seolah menyetujui daftar itu, lalu kamera merekam momen “legitimasi”.

Namun, Hu Jintao rupanya sadar ada sesuatu yang janggal. Dia berusaha mengambil berkas di depannya, tapi Li Zhanshu segera menahan. Xi Jinping memberi isyarat, memanggil Kong Shaoxun, Wakil Kepala Kantor Umum, untuk berbisik ke telinga Hu.

Petugas keamanan kemudian masuk. Meski suasana mencekam, Hu tak langsung dipaksa keluar, melainkan berdiri dan berbicara pelan dengan Kong Shaoxun sekitar satu menit. Tak ada yang tahu persis isi percakapan itu, tapi jelas, Hu tengah mengambil keputusan besar.

Inti sikap Hu Jintao:

  • Jika dia bertahan, kekacauan dan potensi penahanan bisa pecah di tempat.
  • Jika dia keluar, dia bisa menyelamatkan sebagian orang dari faksinya.

Akhirnya, Hu memilih mundur secara sadar. Dia menoleh ke Xi Jinping, menyampaikan pesan (diduga: “Saya keluar, jangan ada masalah setelah ini”), dan Xi hanya mengangguk dingin. Kepada Li Keqiang, Hu menepuk pundaknya—kode keras agar tetap tenang dan jangan terbawa arus emosi.

Di ruang sidang yang hening, kamera merekam semua detail. Kepergian Hu bukan sekadar pengusiran, tapi penolakan terang-terangan untuk menandatangani “legalitas” pembersihan politik Kongres ke-20.

Penundaan dan Kebangkitan Faksi Lama

Fase “Tuli dan Bisu” 2022–2024

Setelah peristiwa tersebut, selama dua tahun penuh, faksi senior dan reformis hanya bisa diam menyaksikan propaganda “dua status”, “inti kepemimpinan”, dan segala slogan loyalis Xi merajalela.

Namun, memasuki musim panas 2024, situasi tiba-tiba berubah. Isu kesehatan Xi Jinping yang menurun membuat kendali kekuasaan terancam. Zhang Youxia selama delapan bulan perlahan membersihkan loyalis Xi dari tubuh militer. Akhirnya, pada musim semi–musim panas 2024, kendali militer benar-benar beralih ke faksi lama.

Kini, kekuasaan Xi di partai mulai goyah.

Rapat-Rapat Elite dan Sinyal Pergantian Kepemimpinan

Kembalinya “Pemain Kawakan”

Antara 14 Mei hingga 7 Juni 2025, PKT dua kali menggelar rapat perluasan Politbiro dan serangkaian rapat koordinasi. Daftar peserta penuh dengan “pemain lama”:

  • Liu Yuan (perwakilan militer),
  • Li Qiang (pelaksana utama),
  • Wang Huning (ideolog utama),
  • Hu Chunhua & Wang Yang (Tuanpai),
  • Zhao Leji, Jia Qinglin, Li Changchun, Zhu Rongji, Li Ruihuan, Wang Qishan, Zeng Qinghong, Wen Jiabao (elite senior lintas bidang).

Bahkan Hu Jintao dan Zhang Youxia, yang sempat menghilang, kini kembali ke permukaan. Xi Jinping sendiri tampil defensif, bukan sebagai pemimpin, tapi membela diri.

Para elite ini hadir bukan untuk nostalgia, tapi untuk memperjelas barisan dan menyusun kekuatan baru. Meski pidato mereka tidak muncul di media nasional, saluran analisis politik luar negeri justru jadi ajang “kode bersama”.

Xi Jinping kini menghadapi hitung mundur digantikannya kepemimpinan dari dalam partai.

Hitung Mundur, Rapat Pleno, dan Skenario Penggulingan

Momen Penentuan: Menuju Rapat Pleno Keempat

Proses pergantian ini sangat mendesak. Beidaihe, forum tahunan untuk konsolidasi kekuasaan, bukan lagi milik Xi. PKT tengah menyiapkan satu rapat besar Politbiro untuk mencapai konsensus, dilanjutkan sidang pleno (plenum) keempat guna penetapan Sekjen baru—semuanya harus dilakukan sebelum Beidaihe.

Alasannya jelas: jika tertunda, Xi masih bisa melakukan manuver politik untuk mempertahankan sisa kekuasaan, memicu perang bayangan baru. Bahkan parade militer besar (9.3 Parade) yang biasanya jadi panggung Xi, kini kehilangan makna strategis.

Satu pesan penting: Sebelum Beidaihe, Xi harus sudah benar-benar dipinggirkan.

Krisis Eksternal—Tiongkok Dianggap Ancaman oleh Rusia

Bocoran Memo FSB: Tiongkok Bukan Lagi Sekutu Penuh

Tepat ketika suhu politik dalam negeri memuncak, tekanan eksternal muncul dari arah tak terduga. Pada 9 Juni, New York Times membocorkan memo rahasia FSB (Dinas Keamanan Rusia), khususnya dari Departemen VII yang menangani operasi kontra intelijen terhadap Tiongkok.

Inti memo:

  • Tiongkok resmi dikategorikan sebagai ancaman utama spionase Rusia.
  • Sejak akhir 2023, FSB menjalankan “Proyek Pact 4”—operasi anti-infiltrasi yang menarget PKT.
  • Tiongkok aktif merekrut ilmuwan Rusia, mencuri teknologi drone, avionik, dan algoritma penerbangan.
  • Beijing mengirim “perwakilan perusahaan” dan akademisi ke Arktik untuk membangun jaringan spionase, sekaligus melakukan penetrasi budaya di Timur Jauh Rusia.
  • Pengalaman tempur Wagner juga diincar sebagai model.

Lebih menarik, bocoran memo itu tampaknya disengaja—Putin ingin memberi sinyal ke Barat bahwa Rusia tak sepenuhnya berpihak pada Tiongkok. Bahkan sekutu “merah” kini mulai menjaga jarak. 

Isolasi Total dan Akhir Era Xi Jinping

Kini, Xi Jinping menghadapi isolasi dari dua sisi:

  • Di dalam negeri, kekuasaan nyata perlahan raib, elite-elite lama membentuk barisan baru, menyiapkan transisi sistemik.
  • Di luar negeri, kepercayaan global makin menipis, bahkan sekutu Rusia mulai “membuka sekat”.

Gelombang tekanan ini bukan lagi sekadar keinginan faksi lawan, tapi telah menjadi keinginan dunia: era Xi Jinping segera berakhir.

Kesimpulan:

Bukan soal siapa yang akan mengganti Xi, melainkan seluruh ekosistem kekuasaan—baik internal PKT maupun geopolitik global—sudah menyiapkan panggung baru tanpa dirinya. Kudeta politik senyap, pembersihan elite, dan isolasi eksternal telah menyatu dalam satu arus besar perubahan yang kini sudah tak terbendung.

Penutup

Momen pengusiran Hu Jintao yang terekam kamera kini dikenang sebagai penanda transisi, bukan hanya peralihan kekuasaan, tapi babak baru sejarah PKT. Drama di balik tembok merah tak lagi tersembunyi—ia telah menjadi pelajaran bahwa di era kekuasaan absolut, satu keraguan dan satu penolakan mampu mengubah peta politik negeri sebesar Tiongkok.

FOKUS DUNIA

NEWS