EtIndonesia. Selama bertahun-tahun, banyak pihak menganggap ancaman Israel terhadap Iran hanyalah gertakan kosong—perang kata-kata tanpa aksi nyata. Namun, pada pertengahan 13 Juni, dunia menyaksikan babak baru yang menegangkan: Israel benar-benar bergerak, melancarkan serangan langsung ke jantung Iran, menghancurkan target strategis di Teheran dan kota-kota utama lain. Dari para jenderal Garda Revolusi, ilmuwan nuklir top, hingga basis peluncuran rudal, semua menjadi sasaran yang dilumpuhkan dalam hitungan menit.
Langkah Israel ini tidak berdiri sendiri. Amerika Serikat, jauh sebelum serangan dimulai, telah mengevakuasi diplomatnya dari Irak dan memperketat pengamanan di seluruh pangkalan militer di kawasan. Fakta ini menunjukkan bahwa Washington sepenuhnya mengetahui skenario besar yang akan terjadi. Bahkan, Presiden Donald Trump secara terbuka mengakui bahwa dia sudah diberitahu terlebih dahulu, dan mengisyaratkan adanya “duet peran” antara AS dan Israel—sandiwara politik yang bukan hanya menipu Iran, tetapi juga rezim komunis Tiongkok.
Babak Baru Perang Timur Tengah: Skenario “Hari Kiamat” Dimulai
Pada dini hari 13 Juni, saat dunia barat tertidur, Timur Tengah sedang dipaksa untuk menghadapi kenyataan keras: lebih dari 200 jet tempur Israel menembus langit Iran. Target mereka bukan sembarangan: mulai dari fasilitas nuklir, pangkalan militer, gudang senjata, hingga markas komando tertinggi Iran dihancurkan dalam satu malam.
Yang mengejutkan, Mossad—dinas intelijen legendaris Israel—telah lama membangun jaringan rahasia di dalam wilayah Iran. Mereka menanam “penanda” target, menyiapkan basis drone, bahkan menduplikasi metode operasi militer seperti “jaringan babi” Ukraina (atau justru Ukraina yang belajar dari Mossad, mengingat Presiden Zelenskyy juga berdarah Yahudi).
Hasilnya? Sistem pertahanan udara Iran, yang selama ini digadang-gadang sebagai perisai utama, justru menjadi “pajangan”—tidak mampu membendung gempuran udara yang begitu terkoordinasi dan presisi.
Strategi Israel: Bergerak Mandiri, Tak Menunggu Restu Amerika
Israel tidak lagi menunggu keputusan Dewan Keamanan PBB ataupun “lampu hijau” resmi dari Amerika Serikat. Setelah bertahun-tahun memperingatkan dunia soal ancaman nuklir Iran, Tel Aviv akhirnya mengambil keputusan mutlak: bertindak sebelum semuanya terlambat. Menurut sumber intelijen, Iran telah berhasil mengumpulkan cukup uranium untuk membuat hingga 15 bom nuklir dan proses militerisasi sudah berjalan.
Bagi Israel, waktu habis. Sanksi ekonomi dan diplomasi sudah tidak lagi efektif. Setelah selama bertahun-tahun berhasil “memotong tangan” Iran di Suriah dan Lebanon, serta menekan kekuatan ekonomi mereka melalui embargo AS, para pemimpin Israel—Perdana Menteri Netanyahu dan Menteri Pertahanan, Katz—mengambil keputusan strategis: Operasi “Kebangkitan Singa” diluncurkan.
Dalam operasi ini, lebih dari 200 pesawat tempur Israel—termasuk F-15, F-16, dan F-35—lepas landas serentak. Mereka membawa bom presisi tinggi, menembus wilayah udara Irak dan Suriah tanpa terdeteksi, dan menghantam jantung pertahanan Iran.
Sasaran Utama: Program Nuklir dan Elite Militer Iran
Pada gelombang pertama serangan, lebih dari 330 bom presisi dijatuhkan ke 100 target strategis. Sasaran utama adalah fasilitas pengayaan uranium Natanz, markas besar militer di Teheran dan Isfahan, gudang amunisi, serta pangkalan bawah tanah Garda Revolusi.
Selain itu, jet F-35 Israel dengan bantuan data koordinat Mossad berhasil menembus bunker beton yang didesain untuk tahan bom, membunuh sejumlah pejabat tinggi militer, termasuk:
- Mohammad Bagheri – Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran
- Hossein Salami – Komandan Garda Revolusi Iran
- Amir Ali Hajizadeh – Komandan Angkatan Udara Garda Revolusi
- Abbas Pour – Komandan Drone
- Khalil Shaikhsian – Kepala Sistem Pertahanan Udara
Tak hanya para jenderal, sejumlah ilmuwan nuklir utama Iran juga menjadi korban. Sedikitnya 10 tokoh penting program nuklir tewas, termasuk:
- Abbasi-Davani – “Bapak” teknologi pengayaan uranium Iran
- Teranchi – Ahli desain hulu ledak
- Minouchehr – Pakar sistem sentrifugal
- Zolfaghari – Kepala produksi uranium berkadar tinggi
- Hosseini – Mantan kepala riset nuklir
- Matbibizadeh – Ahli kualitas rantai produksi uranium
Akibatnya, dalam hitungan menit, seluruh “otak” program nuklir militer Iran dilumpuhkan—sebuah kerugian yang tidak mudah untuk dipulihkan, bahkan dalam waktu puluhan tahun ke depan.
Natanz: Simbol Kehancuran Program Nuklir Iran
Natanz, pusat program pengayaan uranium Iran, menjadi target utama. Di fasilitas bawah tanah yang dijaga ketat ini, ribuan sentrifugal memproses uranium hingga mendekati kadar senjata. Serangan Israel dengan bom penghancur beton membuat seluruh instalasi Natanz luluh lantak.
Berbeda dari insiden sabotase tahun 2020 dan 2021 yang hanya memperlambat proses, kali ini Natanz dihancurkan total. Peran Mossad sangat vital, dengan tim kecil yang menanam alat penanda dan sistem laser bawah tanah, sehingga bom presisi Israel menghantam titik vital dengan akurat.
Satu-satunya fasilitas yang luput adalah Fordow—bunker pengayaan di kedalaman pegunungan Qom, yang hanya bisa dihancurkan oleh bom MOP milik AS. Israel memang tak punya akses atau pesawat pembawa bom super berat ini, tapi pesan mereka jelas: apapun yang bisa dihancurkan, akan dihancurkan; sisanya, akan terus diawasi dengan segala cara.
Operasi Intelijen dan Sandiwara Psikologis
Operasi militer ini didahului oleh manuver intelijen dan perang psikologis canggih. Israel mengadakan “rapat kabinet palsu” seolah-olah membahas sandera Gaza, padahal yang terjadi adalah penandatanganan perintah perang tertutup. Berita-berita “palsu” tentang pernikahan keluarga Netanyahu dan agenda kunjungan diplomatik disebarkan demi mengecoh musuh.
Sementara itu, Trump juga turut berperan dalam “sandiwara” internasional. Hanya beberapa jam sebelum serangan, dia menegaskan komitmen mencari solusi damai, sehingga Iran dan dunia internasional lengah.
Hasilnya, bahkan media Tiongkok dan Duta Besar Tiongkok di Israel pun terbawa skenario, tampil di TV lokal dengan pesan anti-nuklir Iran dan menentang Hamas—tanpa menyadari mereka sedang menjadi bagian dari panggung besar Mossad.
Respons Iran dan Lingkaran Sekutunya: Gagal Total
Tak butuh waktu lama, Iran langsung merespons dengan meluncurkan lebih dari 100 drone dari wilayah Irak dan Suriah ke arah Israel. Namun, seluruh upaya ini sia-sia. Sistem pertahanan udara Israel (Iron Dome, David’s Sling, dan Magic Wand) bekerja sempurna, bahkan dibantu oleh jet tempur Yordania yang ikut mencegat ancaman.
Di dalam negeri Iran, Pemimpin Tertinggi Khamenei hanya mampu melontarkan ancaman tanpa aksi nyata. Pemerintah Lebanon pun melarang Hizbullah ikut campur, dan Rusia—yang selama ini bermitra strategis dengan Iran—hanya mengirim nota protes simbolis.
Tiongkok, di sisi lain, sebatas menyampaikan keprihatinan melalui juru bicara Kemenlu, tanpa tindakan konkret. Ini membuktikan bahwa saat krisis nyata terjadi, “lingkaran pertemanan” Iran sekadar ilusi politik—tak ada satu pun yang benar-benar bisa diandalkan.
Amerika Serikat: Mendukung dari Balik Layar
Meski secara resmi menyatakan serangan ini “inisiatif penuh Israel”, Amerika Serikat memberikan ruang strategis yang sangat besar. Trump, lewat media sosial, menegaskan bahwa dia telah memberi Iran banyak kesempatan negosiasi dan memperingatkan, jika Iran membalas ke kepentingan AS, maka Amerika akan membalas dengan kekuatan penuh.
Amerika juga memberikan sinyal jelas: untuk saat ini, mereka tidak akan turun tangan langsung, tetapi tetap siap jika kepentingan mereka terancam. Sementara itu, akses ke senjata penghancur bunker (MOP) tetap menjadi hak eksklusif AS, dan Israel memahami batas operasional yang ada.
Pesan untuk Dunia: Tradisi “Berdiri Sendiri” Israel dan Akhir Era “Deterrence Nuklir”
Dari serangan ke reaktor Osirak (Irak) tahun 1981, fasilitas nuklir Suriah 2007, hingga Iran hari ini, Israel selalu memegang prinsip: “Jangan beri kesempatan musuh membangun senjata pemusnah massal.”
Netanyahu menegaskan bahwa serangan ini bukan hanya demi keamanan Israel, melainkan juga dunia internasional. Pesan ini ditujukan untuk negara-negara besar seperti Tiongkok dan Rusia yang selama ini menjadi “payung” Iran, baik teknologi maupun logistik.
Operasi Israel ke Iran menjadi babak baru dalam strategi keamanan global: pencegahan melalui serangan pre-emptive (pre-emptive strike) kini menjadi realitas, menggantikan teori deterrence lama. Serangan ini menunjukkan bahwa negara-negara yang merasa benar-benar terancam akan memilih aksi langsung ketimbang menunggu bencana datang.
Penutup: Garis Merah yang Baru untuk Dunia
Israel telah menciptakan garis merah baru dalam geopolitik dunia: ancaman nyata harus dilawan dengan tindakan nyata. Bagi Israel, ini soal kelangsungan hidup; bagi dunia, ini pengingat akan bahaya membiarkan otoritarianisme dan teknologi destruktif berkembang tanpa batas.
Netanyahu menutup pidatonya dengan peringatan tegas: “Kami melakukan ini demi anak-anak kami, juga demi anak-anak kalian di seluruh dunia. Ketika senjata nuklir jatuh ke tangan penguasa yang tak bertanggung jawab, seluruh umat manusia terancam.”
Apa yang terjadi di malam 13 Juni adalah lebih dari sekadar operasi militer—ini adalah peristiwa yang akan dikenang sebagai penanda zaman: ketika dunia menyadari, kadang satu aksi nyata lebih berarti dari seribu janji diplomatik.