(Edisi Khusus): “Xi Jinping Disingkirkan? Di Balik Kepanikan Beijing dan Barter Masa Depan Tiongkok”

EtIndonesia. Bayangkan sebuah negara adidaya rela menggunakan “aset strategis” berupa logam tanah jarang yang menjadi penopang industri dunia—hanya demi satu hal: memastikan anak-anak pejabat elite tetap bisa belajar di kampus-kampus elit Amerika, khususnya Harvard. Inilah babak baru dari drama geopolitik global yang menggemparkan dunia di awal Juni 2025.

Pada 9–10 Juni, Beijing terlihat “bertekuk lutut” di meja perundingan di London. Sementara itu, dari seberang Atlantik, Donald Trump, dengan gaya santainya, hanya memasukkan tangan ke saku sambil melontarkan kalimat yang membekukan dunia: “Tiongkok akan menyediakan seluruh logam tanah jarang yang kita butuhkan, sebagai imbalannya, pelajar mereka boleh kembali ke universitas kami.”

Kalimat inilah yang jadi sinyal awal betapa kerasnya tekanan yang sedang melanda Beijing, dan betapa besarnya taruhan yang dipasang oleh elite-elite Partai Komunis Tiongkok (PKT).

Sinyal Kekalahan dari Beijing—Dibalik Wawancara Ren Zhengfei

Tak lama setelah itu, People’s Daily, corong resmi PKT, menerbitkan wawancara eksklusif dengan Ren Zhengfei, pendiri Huawei, yang nadanya jauh dari gaya agresif biasanya.

“Kami tidak sehebat itu, Amerika tidak perlu takut,” ujar Zhengfei

Sebuah ironi pahit: Huawei, yang selama ini jadi simbol perlawanan Tiongkok, kini justru tampil rendah hati di muka umum.

Dulu, siapapun yang meremehkan Huawei pasti kena “interogasi”—atau minimal dipanggil “minum teh” oleh otoritas Tiongkok. Namun kini, justru sang pendiri Huawei yang mengucapkan kata-kata itu, dipajang di halaman utama media partai, disusul judul yang tidak kalah merendah

“Semakin terbuka negara, semakin besar kemajuan yang dicapai,” katanya.

Ini bukan sekadar perubahan nada, tapi kode keras—Beijing sedang mengirim pesan pada dunia, terutama Washington: kami siap berkompromi, kami sudah kalah, asal anak-anak kami tetap bisa belajar di kampusmu.

Menghilangnya Xi Jinping—Drama di Balik Panggung

Di tengah situasi genting ini, ada satu hal yang jauh lebih mencolok: Xi Jinping benar-benar lenyap dari sorotan publik selama tiga hari penuh.

Bukan tanpa sebab. Intelijen Rusia bahkan membocorkan bahwa Xi telah tiga kali mengalami serangan jantung sejak akhir Mei, dan di dalam tubuh partai sudah muncul pergerakan senyap untuk mengambil alih kendali kekuasaan.

Sementara dunia menunggu “konfirmasi” dari Beijing, realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya—Xi hanya muncul di dua upacara pemakaman, bukan di forum-forum penting kebijakan, bukan di ruang negosiasi. Dalam sistem politik Tiongkok, ini jelas bukan kebetulan, melainkan “pengasingan simbolik” yang sangat terencana.

Sandiwara Konsesi dan Kudeta Sunyi di Beijing

Lebih menarik lagi, semua dokumen, peraturan, dan keputusan penting yang keluar selama periode ini—termasuk soal jaminan sosial, pendidikan, dan kesehatan—tidak lagi mencantumkan nama Xi secara eksplisit.

Biasanya, setiap instruksi besar selalu diawali frasa: “Berdasarkan pemikiran Xi Jinping tentang sosialisme era baru…”

Namun kali ini, nama Xi hanya muncul satu kali, itu pun secara samar dan seolah sengaja dihapus dari konteks dokumen utama.

Apa artinya ini?

Di dunia birokrasi Tiongkok, tidak ada ruang untuk “kelalaian” dalam penyusunan dokumen tingkat tinggi. Setiap kata, bahkan tanda baca, dipastikan melalui audit ketat. Jadi jika nama Xi benar-benar hilang, itu berarti ada kekuatan baru yang sedang mengambil alih, dan sengaja menghilangkan jejaknya.

Inilah yang disebut sebagai “uji coba kekuasaan” oleh kelompok penerus. Xi “disembunyikan”, People’s Daily menggantikan peran, Ren Zhengfei tampil sebagai aktor kerendahan hati, dan di belakang layar, Trump mengetuk palu kemenangan. Lebih halus dari kudeta militer, tapi dampaknya sama mematikannya.

Barter Logam Tanah Jarang  dan Visa Harvard—Anak Elite Jadi Taruhan

Kebijakan barter ini makin jelas ketika pada 11 Juni pagi, Trump mengumumkan secara terang-terangan di media sosial: “Kesepakatan sudah tercapai—Tiongkok akan segera menyediakan seluruh logam tanah jarang dan magnet, sebagai gantinya pelajar mereka bisa kembali ke universitas kami.”

Trump bahkan menambahkan: “Saya dan Xi akan bekerja keras membuka pasar Tiongkok bagi Amerika, ini kemenangan besar bagi kedua pihak.”

Namun faktanya, Tiongkok harus tetap menerima tarif 55% atas ekspor mereka, hanya mendapat konsesi 10%, dan harus membuka keran rare earth mereka secara penuh.

Lalu, kenapa Beijing mau menerima kesepakatan yang jelas-jelas timpang ini?

Jawabannya sangat sederhana namun getir:

Bukan demi ekonomi nasional, tapi demi masa depan anak-anak para pejabat elit PKT.

Baru dua pekan lalu, Gedung Putih menghentikan sementara visa pelajar internasional Harvard—mengirim pesan keras ke Beijing.

“Jika ingin anak-anak elite kalian tetap bersekolah, serahkan sesuatu yang berharga.”

Beijing pun menyerah, logam tanah jarang  jadi “tebusan”, dan seluruh sistem tunduk pada kehendak Washington.

Krisis Waktu, Ancaman Tarif, dan Kepanikan dalam Sistem

Kesepakatan ini hanyalah perjanjian jeda sementara—lanjutan dari gencatan senjata dagang di Jenewa pada Mei. Masih tersisa 60 hari menuju deadline final. Jika dalam waktu itu tak tercapai kesepakatan komprehensif, tarif impor AS atas produk Tiongkok akan melonjak ke 145%.

Jadi, bukan kesadaran atau “pemulihan hubungan”, tapi karena terdesak waktu dan situasi internal yang rapuh.

Lebih ironis lagi, sandiwara “konsesi” ini dikemas sebagai “terobosan besar hubungan bilateral”—masyarakat diminta bersyukur, investor diimbau tenang, dan elite partai diminta patuh.

Namun siapa sebenarnya yang memutuskan? Bukan Xi. Seluruh proses negosiasi hanya diisi pejabat teknis, tanpa suara “seorang pemimpin besar” yang biasanya mendominasi headline.

Beijing dan Kudeta Sunyi—Sistem Tanpa Xi

Dalam kurun waktu satu minggu, Xi Jinping tak pernah memberi pernyataan, tak menghadiri rapat, bahkan tak membalas sindiran Trump. Ia hanya muncul di altar duka, tidak pernah di meja negosiasi.

Inilah yang disebut sebagai “pengasingan simbolik”—Xi masih menyandang semua gelar, tapi sudah bukan pengambil keputusan.

Intelijen Rusia, SVR, mengonfirmasi lewat laporan yang akurat: “Xi Jinping telah mengalami tiga kali serangan jantung, kekuasaan riil sudah dicabut, ia hanya jadi simbol.”

Sistem komando partai kini dirombak—semua instruksi dan dokumen tak lagi menyebut Xi, hanya “partai memperhatikan” atau “kami akan laksanakan”.

Pergantian kepemimpinan berlangsung tanpa suara, tanpa darah, tanpa drama.

Tiongkok di Tengah Badai Timur Tengah—Diam Seribu Bahasa

Bersamaan dengan itu, krisis di Timur Tengah memuncak—Amerika dan Israel bersiap melakukan operasi militer ke Iran.

Namun, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Beijing kini memilih diam, tidak ikut campur, tidak mengutuk, bahkan tidak membela Iran secara terbuka.

“Tiongkok selalu mendukung penyelesaian diplomatik isu nuklir Iran.”

Jawaban jubir Kementerian Luar Negeri sangat normatif dan kosong makna—tak ada sikap nyata, hanya kalimat-kalimat klise.

Pernyataan ini hanyalah upaya “pura-pura mati”, menandakan Beijing tak ingin, bahkan tak berani, ikut dalam eskalasi. Bagi Rusia dan Iran, ini sinyal nyata: Beijing telah berubah haluan, atau bahkan telah berkhianat.

Skandal Ekspor Rudal—Jejak Lama Warisan Xi

Tak berhenti sampai di situ, Wall Street Journal mengungkap laporan eksklusif bahwa Iran telah memesan ribuan ton ammonium perchlorate dari perusahaan Tiongkok untuk kebutuhan rudal balistik.

Transaksi ini terjadi sejak lama, di bawah “pengawasan” sistem Xi. Namun ketika krisis meledak, tak ada satupun pejabat tinggi yang tampil untuk membela atau menjelaskan, apalagi Xi sendiri. Semua “menghilang”, semua sistem menutup diri.

Simbol Tanpa Kuasa—Xi Jinping Dilewati Sejarah

Akhirnya, pada 12 Juni, Xi hanya muncul di upacara duka cita—tanpa suara, tanpa instruksi, tanpa kebijakan. Di satu sisi, dunia tengah bergolak dengan perang dan negosiasi panas, di sisi lain, Beijing hanya hening di altar pemakaman.

Inilah momen ketika seorang pemimpin besar “dilupakan sejarah”—bukan karena digulingkan, tapi karena dilewati oleh waktu dan peristiwa.

Penutup: “Akselerator Besar” Kini Hanya Masa Lalu

Sepanjang satu dekade, Xi Jinping kerap membanggakan kepemimpinan “tangan besi”-nya: mengendalikan kampus, modal, diplomasi, bahkan industri chip. Kini, karena terlalu sering intervensi, sistem menjadi kacau—Xi secara de facto sudah lengser, tapi secara de jure masih dipertahankan demi wajah partai.

Trump, Putin, Khamenei—semua kini bergerak tanpa memperhitungkan Xi. Tiongkok hari ini dikelola oleh “pemangku takhta” tanpa wajah, negosiator baru yang memilih kompromi sunyi ketimbang perlawanan terbuka.

Bagi elite PKT, prioritas tertinggi bukan lagi supremasi ideologi, tapi keselamatan generasi penerus mereka—anak-anak elite partai yang belajar di Amerika.

Logam tanah jarang, kebijakan, bahkan reputasi negara, semua bisa dijadikan taruhan.

Dan begitulah akhir paling pahit bagi seorang pemimpin besar: bukan digulingkan, tapi dilupakan dunia.

FOKUS DUNIA

NEWS