oleh Shen Zhou
Pada 1 Juni, Dinas Keamanan Ukraina meluncurkan serangan udara yang diberi nama “Jaring Laba-Laba” dengan menggunakan pesawat nirawak untuk menyerang 4 Pangkalan Angkatan Udara Rusia. Serangan yang mengejutkan ini telah merusak sejumlah pesawat pengebom strategis dan pesawat peringatan dini Rusia. Disadari atau tidak, operasi Ukraina ini telah memaksa militer dari berbagai negara untuk memahami kembali infiltrasi dan serangan sabotase yang mungkin dilancarkan oleh pihak musuh, termasuk tidak menutup kemungkinan militer Partai Komunis Tiongkok melancarkan operasi serupa ke daratan Amerika Serikat.
Serangan Udara yang Dilancarkan dari Wilayah Rusia
Ukraina telah berulang kali meluncurkan serangan udara jarak jauh ke sejumlah target di Rusia dengan menggunakan pesawat nirawak, termasuk pangkalan udara, depot minyak, depot amunisi, pabrik produksi perangkat militer, dll. Rusia juga melakukan hal yang sama, bahkan tanpa pandang bulu menyerang fasilitas sipil Ukraina. Namun, dalam operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina pada 1 Juni itu, pesawat nirawak kecil lepas landas dari tempat yang tidak jauh dari 4 Pangkalan Angkatan Udara Rusia dan berhasil menyelesaikan tugas serangan dalam waktu singkat.
Meskipun 2 pangkalan udara Rusia yang diserang Ukraina tidak begitu jauh, tetapi seperti Pangkalan Angkatan Udara Olenya itu memiliki jarak sampai 1.900 Km dari Ukraina, apalagi Pangkalan Udara Belaya di Siberia jaraknya sekitar 4.000 Km dari Ukraina, yang memang tidak mungkin bisa terjangkau oleh pesawat nirawak kecil Ukraina. Tetapi jika pesawat nirawak itu diluncurkan dari Ukraina, hal yang dikhawatirkan adalah sulit lolos dari gempuran sistem pertahanan udara Rusia, sehingga menurunkan tingkat keberhasilan serangan.
Pada 20 Januari 2025, Ukraina menggunakan pesawat nirawak jarak jauh untuk menyerang pabrik pembuat pesawat pengebom Tu-160 di Kazan, Rusia yang berjarak sekitar 1.000 kilometer dari Ukraina dan menimbulkan beberapa ledakan. Meski Rusia kemudian mengklaim bahwa pihak militer berhasil melumpuhkan semua pesawat nirawak Ukraina sehingga kerugian yang dialami tidak besar.
Kali ini, Ukraina menggunakan pesawat nirawak kecil yang diluncurkan dari lokasi di wilayah Rusia yang tidak jauh dari pangkalan AU, membuat militer Rusia kewalahan dalam membendung serangan. Pesawat nirawak ini hanya butuh waktu terbang yang pendek untuk memasuki pangkalan AU Rusia menuju target aset utama seperti pesawat pengebom strategis dan pesawat peringatan dini, serta menjatuhkan bom kecil. Serangan mendadak ini telah menimbulkan kerusakan yang membuat pesawat-pesawat tidak lagi dapat digunakan atau tidak dapat diperbaiki dalam jangka waktu pendek. Inisiatif ini menumbangkan taktik infiltrasi dan serangan sabotase konvensional yang dilancarkan dari belakang garis musuh. Selain itu, operasi “Jaring Laba-Laba” ini juga memberikan makna tentang mode serangan udara baru yang sebenarnya dapat diluncurkan di belakang musuh.
Satu-satunya serangan yang sebanding dengan ini mungkin adalah Operasi Grim Beeper Israel. Pada 17 September 2024, Israel menargetkan pager dan walkie-talkie yang umum dipakai anggota Hizbullah di Lebanon, meledakkan bahan peledak yang terlebih dahulu ditanamkan di dalamnya. Pelaksanaan Operasi Grim Beeper ini memiliki kondisi khusus dan sulit untuk ditiru lagi. Namun operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina masih dapat ditiru.
Diberitakan bahwa pesawat nirawak Ukraina ini dirakit di dalam wilayah Rusia, menggunakan sistem kendali otonom AI, menyewa truk Rusia untuk mengangkutnya dan diparkir di tempat yang tidak jauh dari pangkalan udara Rusia. Pesawat nirawak terbang bersamaan dari dalam truk menuju sasaran yang ditentukan. Video daring menunjukkan bahwa pesawat nirawak yang telah diprogram itu menyerang target yang merupakan titik lemah pesawat, seperti sambungan antara sayap dan tangki bahan bakar. Dari rekaman video terlihat asap hitam pekat mengepul dari badan pesawat akibat ledakan mengenai bahan bakarnya.
Operator Ukraina mengevakuasi diri lebih awal untuk meminimalkan risiko sekaligus membuktikan bahwa serangan dilakukan oleh pesawat yang tanpa awak.
Pada 1 Juni 2025, operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina menyerang Pangkalan Angkatan Udara Rusia, yang terjauh berada di Timur Jauh yang berjarak sekitar 4.000 kilometer dari Ukraina. (video screenshot)
Kekuatan Pengeboman Strategis Rusia Menurun Drastis
Ukraina telah mengerahkan paling tidak 117 unit pesawat nirawak dalam operasi serangan ini, dan mengklaim berhasil menghancurkan atau merusak 41 unit pesawat pengebom strategis Rusia, termasuk Tu-95, Tu-22M3, Tu-160 dan pesawat peringatan dini A-50, yang mencakup sekitar 34% dari pembawa rudal jelajah strategis Rusia, dengan penilaian kerugian yang dihitung relatif optimis yaitu sekitar USD 7 miliar. Tetapi bagaimanapun juga, operasi Ukraina ini telah menimbulkan penurunan serius kekuatan tempur militer Rusia.
Tu-22 adalah pesawat pengebom kelas menengah Rusia model lama yang mampu membawa rudal jelajah Kh-22 yang beratnya sekitar 5,82 ton dan sulit dibawa oleh pesawat tempur Rusia, termasuk pesawat serang Su-34. Rusaknya pesawat pengebom Tu-22 berarti kemampuan militer Rusia untuk menggunakan rudal besar yang diluncurkan dari udara untuk menyerang Ukraina dari jarak jauh telah melemah.
Tu-95 adalah pesawat pengebom jarak jauh Rusia terdahulu yang mampu membawa hingga 8 buah rudal jelajah Kh-55/Kh-101/Kh-102, dengan berat rudal berkisar antara 1,65 ton hingga 2,4 ton.
Tu-160 adalah pesawat pengebom jarak jauh yang mulai beroperasi sebelum berakhirnya Perang Dingin dan dapat membawa 12 buah rudal jelajah Kh-55/Kh-101/Kh-102. Setelah runtuhnya Uni Soviet, Ukraina mewarisi 16 Tu-160, dan kemudian menjual 8 unit ke Rusia. Rusia masih memproduksi Tu-160 meskipun tidak gencar, dan sekarang ada 22 unit yang masih beroperasi. Setelah pesawat pengebom tersebut rusak, akan sangat sulit untuk diperbaikinya lantaran jalur produksi kedua jenis pesawat pengebom telah ditutup.
Rusaknya pesawat pengebom strategis karena serangan Ukraina telah melemahkan kemampuan serangan jarak jauh militer Rusia secara serius. Menurut Ukraina, pada 6 Maret 2022, pesawat pengebom Rusia meluncurkan 8 rudal jelajah Kh-101 ke sasaran Ukraina. Pada 26 Juni 2022, pesawat pengebom Rusia meluncurkan 4 hingga 6 buah rudal jelajah Kh-101 ke Ukraina.
Pesawat pengebom ini juga merupakan bagian dari pencegahan nuklir strategis Rusia, kerusakan sejumlah pesawat tersebut juga melemahkan kemampuan Rusia dalam menghadapi NATO. Belakang ini jet tempur NATO dan AS sering mencegat pesawat pengebom Tu-160 Rusia yang terbang di dekat perbatasan. Begitu pula setiap tahun pesawat pengebom PKT melakukan latihan dengan pesawat pengebom Rusia di Laut Jepang, Laut Tiongkok Timur, dan Pasifik, bahkan telah mencapai Alaska, Amerika Serikat.
2
Pada 1 Juni 2025, Dinas Keamanan Ukraina merilis foto-foto operasi “Jaring Laba-Laba” dengan target utamanya adalah pesawat pengebom strategis Rusia. (Dinas Keamanan Ukraina)
Model Baru tentang Operasi Sabotase di Belakang Garis Musuh
Dalam semua perang sebelumnya, pihak yang bertikai akan mengirim sejumlah personel untuk menyusup ke belakang garis musuh guna melakukan operasi sabotase, termasuk memenggal kepala pejabat senior dan jenderal musuh di semua tingkatan, menghancurkan depot amunisi dan aset strategis utama musuh, merusak jaringan komunikasi dan jalur pasokan musuh, dan lain sebagainya untuk melemahkan kemampuan perang musuh. Selama Perang Dingin, antara NATO dan Pakta Warsawa juga secara diam-diam melakukan operasi infiltrasi dan sabotase serupa.
Di masa lalu, personel yang terlibat dalam serangan di belakang garis musuh menghadapi bahaya besar, dan operasi yang walau telah direncanakan secara cermat pun bisa gagal karena pengaruh berbagai faktor yang tak terduga, sehingga sulit mencapai tujuan yang direncanakan. Setelah pecahnya perang Rusia-Ukraina, kedua belah pihak juga langsung melaksanakan operasi serupa.
Pada Februari 2022, militer Rusia mengirim tim pembunuh untuk menyelinap ke Ibukota Kiev dalam upaya untuk membunuh Presiden Ukraina Zelensky, tetapi gagal.
Pada 24 Februari 2022, pasukan terjun payung elit Rusia tiba-tiba diterjunkan ke Bandara Antonov di pinggiran kota Kiev untuk merebut titik-titik strategis terlebih dahulu, tetapi menghadapi serangan balik dari tentara Ukraina sehingga tujuan militer Rusia mengalami kegagalan.
Ukraina juga telah melakukan pengeboman di Rusia dan membunuh jenderal, pakar senjata Rusia dan lainnya. Belakangan tindakan tersebut tampaknya semakin gencar terjadi.
Pada 30 Mei dini hari, dua ledakan kuat terjadi di fasilitas angkatan laut Rusia di dekat Vladivostok di Timur Jauh Rusia. Seorang sumber pasukan khusus Ukraina mengatakan kepada media bahwa ledakan itu merupakan hasil tindakan departemen intelijen militer Ukraina. Tetapi Rusia mengatakan bahwa itu terjadi akibat kecelakaan pada tangki bahan bakar.
Pada 1 Juni, dua jembatan di daerah perbatasan antara Rusia barat dan Ukraina runtuh karena ledakan, menyebabkan dua kereta tergelincir, menewaskan sedikitnya 7 orang dan melukai 69 orang lainnya. Perusahaan Kereta Api Moskow mengatakan bahwa pihaknya juga menemukan beberapa rel yang rusak di jalur kereta api lainnya. Rusia menuduh pasukan khusus Ukraina melakukan sabotase. Badan Intelijen Militer Ukraina (HUR) mengatakan bahwa kereta militer Rusia yang membawa truk kargo dan bahan bakar meledak dan tergelincir.
Pada 3 Juni 2025, rekaman video yang dirilis oleh Dinas Keamanan Ukraina (SBU) menunjukkan bahwa Jembatan Kerch di Krimea diduga telah diledakkan selama operasi khusus. Jalur pasokan utama yang menghubungkan daratan Rusia ke Semenanjung Krimea ini telah diserang oleh Ukraina untuk ketiga kalinya. (Dinas Keamanan Ukraina/AFP)
Pada 3 Juni, Dinas Keamanan Ukraina merilis video pendek tentang pengeboman Jembatan Kerch di Krimea, mengklaim bahwa bahan peledak bawah air seberat 1,1 ton telah dipasang sebelumnya di bawah jembatan, dan ledakan tersebut menyebabkan pilar jembatan mengalami kerusakan parah.
Pada 3 Juni 2025, foto yang dirilis oleh Dinas Keamanan Ukraina menunjukkan bahwa dek jembatan rusak sebagian setelah pengeboman Jembatan Krimea. (Dinas Keamanan Ukraina)
Ini semua adalah bentuk serangan di belakang garis musuh yang konvensional. Operasi “Jaring Laba-Laba” yang dilakukan Ukraina untuk menyerang 4 pangkalan angkatan udara Rusia pada 1 Juni itu sangat berbeda dengan operasi-operasi di atas. Serangan udara yang dilancarkan militer Ukraina dari jarak jauh di waktu sebelumnya kurang efektif karena ketatnya pertahanan udara di pangkalan militer Rusia. Sedangkan menggunakan pasukan khusus untuk menyusup ke pangkalan militer berisiko sangat tinggi, bahkan mungkin saja sulit mewujudkan misi yang diemban, juga memastikan keselamatan diri. Oleh karena itu, Dinas Keamanan Ukraina secara kreatif merencanakan serangan udara dengan memanfaatkan pesawat tak berawak yang diluncurkan dari dekat pangkalan untuk menerobos kelemahan pertahanan di pangkalan udara Rusia.
Pada 1 Juni 2025, operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina melakukan serangan udara di 4 pangkalan angkatan udara Rusia. Video daring menunjukkan bahwa sebuah pesawat nirawak kecil terbang keluar dari truk menuju sasaran. (video screenshot)
Tantangan Baru bagi Militer Berbagai Negara
Serangan udara “Jaring Laba-Laba” telah menumbangkan operasi sabotase konvensional dan membawa tantangan baru bagi pertahanan militer berbagai negara. Bagaimana mempertahankan diri dari serangan musuh terhadap fasilitas-fasilitas utama di wilayah sendiri langsung menjadi isu utama.
Situs web lembaga pemikir AS CSIS menerbitkan sebuah artikel berjudul “Bagaimana Operasi ‘Jaring Laba-Laba’ Ukraina Mendefinisikan Ulang Perang Asimetris” pada 2 Juni. Artikel menjelaskan bagaimana sistem nirawak yang canggih dan murah mampu memberikan dampak strategis jauh di belakang garis musuh, dan tanpa pertahanan anti-drone khusus, maka infrastruktur strategis akan tetap rentan terhadap serangan. Dari infrastruktur militer utama hingga fasilitas sipil, kerentanan sistem yang kecil, tepat, dan sulit dideteksi semakin meningkat.
Amerika Serikat memiliki kekuatan militer terbesar di dunia, tujuan AS mengerahkan militernya secara global adalah untuk menjauhkan musuh dari negara. Namun, Amerika Serikat sendiri pun akan sulit menghadapi serangan mirip Operasi “Jaring Laba-Laba”. Bagi musuh yang lebih lemah ia mungkin dapat membuat kerusakan pada fasilitas dan personel utama di AS dengan meniru model tersebut. Kasus mahasiswa asal Tiongkok yang menerbangkan drone di dekat pangkalan militer di Amerika Serikat sudah pernah terjadi beberapa waktu lalu.
Dr. Lawrence Sellin, seorang pensiunan kolonel Angkatan Darat AS yang memiliki kemampuan seperti paranormal pada 12 Mei tahun ini mengirim pesan melalui akun X yang isinya mempertanyakan, apakah PKT sudah memiliki kemampuan pesawat nirawak untuk melakukan serangan militer dan pengawasan terhadap gerak-gerik militer di Amerika Serikat. Dalam pesannya ia juga memperingatkan bahwa pada tahun 2024, perusahaan Tiongkok ‘SkyTech UAV’ yang terkait dengan militer PKT telah membuka kantornya di komunitas Tionghoa di Flushing, New York, dan melampirkan foto pesawat nirawak produksi perusahaan tersebut.
Menurut situs web ‘SkyTech’, pihaknya mengekspor pesawat nirawaknya ke seluruh dunia, dan pada tahun 2024 telah mendirikan dan menunjuk kantornya di New York sebagai pusat penjualan dan layanan luar negeri. Produk perusahaan tersebut meliputi pesawat nirawak kelas transportasi S300 Transport Drone 8-poros, yang diklaim mampu membawa muatan hingga 150 kg, dengan waktu terbang selama 30 menit saat membawa muatan 100 kg. Kecepatan jelajahnya dapat mencapai lebih dari 72 km/jam. berdasarkan spesifikasi tersebut, pesawat ini seharusnya dapat terbang sekitar 36 kilometer.
Sebagai mantan personel militer, Dr. Lawrence Sellin sadar bahwa jenis pesawat nirawak ini dapat digunakan untuk keperluan militer yang bakal menimbulkan potensi ancaman terhadap daratan AS.
PKT Mungkin Meniru Tetapi Juga Takut
Militer PKT berusaha menantang militer AS, tetapi mereka tahu bahwa ada kesenjangan besar dalam semua aspeknya. Operasi “Jaring Laba-Laba” dapat membangkitkan minat PKT untuk meniru metode serupa guna menyerang daratan AS. Bisa jadi mereka sudah memiliki ide serupa sejak lama. Apalagi PKT yang tidak peduli dengan nyawa manusia, dapat saja menggunakan agen PKT atau tenaga yang disuap untuk mengoperasikan pesawat nirawak di dekat fasilitas utama AS untuk melakukan penyerangan.
Tidak menutup kemungkinan pangkalan militer AS di Hawaii, Guam, Jepang, dan Filipina menghadapi ancaman seperti itu dari PKT. Jika PKT siap berperang dan terlebih dahulu melakukan serangan seperti itu dalam skala besar, maka kemampuan operasi militer AS dapat mengalami penurunan. Militer AS telah menempatkan sejumlah perangkat sistem peperangan elektronik dan sistem pertahanan udara untuk melawan pesawat nirawak, dan uji cobanya telah dilakukan lewat latihan militer “Balikatan” dengan Filipina. Namun, bagaimana menangani serangan berskala besar dari jarak dekat oleh pesawat nirawak kecil musuh kiranya masih menjadi masalah utama.
PKT juga takut kalau militer AS dan sekutunya menggunakan cara yang sama. Para pemimpin tertinggi dan jenderal militer senior PKT tidak khawatir tentang fasilitas militer yang diserang, tetapi yang paling mereka takutkan adalah kemungkinan operasi “pemenggalan kepala”. Perjuangan internal PKT yang brutal juga dapat menggunakan cara yang sama. Ketika para pemimpin tertinggi PKT mengunjungi berbagai tempat, otoritas berwenang langsung melarang keras penerbangan dengan pesawat nirawak. Salah satu alasannya adalah karena mereka takut kalau adegan yang memalukan terekam video, dan yang lainnya adalah karena mereka takut pesawat tanpa awak dapat melancarkan serangan atau lepas kendali.
Bagaimana pun operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina dan pengembangan pesawat nirawak telah menumbangkan konsep konvensional tentang penyerangan dan pertahanan militer, sekaligus membawa tantangan baru bagi semua negara. (***)