Etindonesia. Timur Tengah kembali diguncang rentetan peristiwa besar yang diprediksi baru memasuki babak paling menegangkan dalam sejarah modernnya. Walau dunia sudah dikejutkan dengan rentetan serangan udara, pertukaran rudal, serta korban jiwa dari kedua pihak, sejumlah analis dan pakar militer menilai: puncak tragedi dan eskalasi terburuk justru masih menanti di depan mata.
Menariknya, konflik yang semula berkutat antara Israel dan Iran kini menyeret masuk Amerika Serikat—bahkan sampai ke jantung elite rezim di Teheran—dan untuk pertama kalinya, isu keterlibatan Partai Komunis Tiongkok (PKT) mulai mencuat di balik dinamika perang.
Amerika Serikat Resmi Terlibat: Sistem Pertahanan Udara Dikerahkan untuk Lindungi Israel
Pada 14 Juni 2025 dini hari waktu setempat, pemerintah Amerika Serikat akhirnya mengumumkan secara resmi keterlibatan militernya dalam konflik. Pejabat AS yang diwawancarai NPR dan sejumlah media internasional mengonfirmasi bahwa sistem pertahanan udara berbasis darat milik militer AS kini telah aktif mencegat gelombang rudal Iran yang diarahkan ke wilayah udara Israel. Langkah ini menjadi sinyal bahwa Washington tak lagi sekadar “mendukung” dari jauh, melainkan benar-benar terjun langsung ke medan tempur guna menjaga eksistensi sekutu utamanya di kawasan.
Kehadiran sistem pertahanan canggih Amerika di langit Israel diyakini akan mempersempit ruang manuver militer Iran, sekaligus memperbesar risiko terjadinya bentrok terbuka antara AS dan Iran.
Isu Pengkhianatan Jenderal Qaani: Efek Domino di Tubuh Rezim Iran
Sementara dunia terpaku pada duel rudal, kabar jauh lebih menggemparkan beredar di lini elit militer Iran. Dalam dua hari terakhir, rumor tewasnya Jenderal Ismail Qaani, komandan Pasukan Quds Garda Revolusi Iran, sempat ramai di media. Namun, pada 14 Juni, peristiwa lebih mencengangkan muncul setelah Eli David, pendiri perusahaan keamanan siber dan pakar AI ternama Israel, menulis di platform X bahwa Qaani justru kini berada di Israel dan menyerahkan diri sebagai agen Mossad.
Disebutkan, Qaani telah membocorkan sejumlah informasi strategis, yang diduga menjadi kunci keberhasilan operasi Israel menghabisi pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, serta dua tokoh Hizbullah paling berpengaruh: Hassan Nasrallah dan Hashim Safieddin. Walau kabar pelarian Qaani ke Israel belum diverifikasi otoritas internasional, isu ini langsung memicu kepanikan dan ketidakpercayaan di lingkungan elite rezim Iran.
Menurut para analis, apabila benar Qaani berkhianat dan membelot, maka jaringan proksi Iran di seluruh Timur Tengah—termasuk Hizbullah di Lebanon, Hamas di Gaza, hingga kelompok milisi di Irak—akan mengalami demoralisasi parah. Kepercayaan pada kepemimpinan militer Iran diprediksi terjun bebas, memperlemah posisi Iran dalam rivalitas kawasan.
Infiltrasi Israel dan Ujian Terbesar bagi Eksistensi Rezim Iran
Jika isu pengkhianatan Qaani terbukti, maka tingkat infiltrasi Israel ke jantung Garda Revolusi—institusi paling sakral sekaligus penopang utama rezim Teheran—bisa dikatakan sudah berada di level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Satu pengkhianatan di level jenderal cukup untuk meruntuhkan kepercayaan dan solidaritas di dalam tubuh kekuasaan Iran. Bukan tidak mungkin, rezim yang telah bertahan lebih dari empat dekade itu kini menghadapi ancaman krisis internal paling akut sejak Revolusi 1979.
Peringatan Jenderal Flynn: Pembersihan Strategis dan Ancaman Perang Dunia
Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan kanal “Real America’s Voice”, Jenderal Michael Flynn, mantan Kepala Badan Intelijen Pertahanan AS, menyoroti perkembangan terbaru ini dengan nada serius. Menurutnya, selama bertahun-tahun, kebijakan Amerika Serikat di era Obama cenderung membiarkan Iran mengembangkan teknologi nuklir. Akibatnya, saat ini Teheran diyakini telah memiliki cadangan uranium tingkat tinggi yang cukup untuk merakit bom nuklir dalam waktu sangat singkat.
Flynn menyebut serangan Israel dan operasi intelijen yang mengguncang elite Iran bukan sekadar manuver militer biasa, melainkan sebuah “pembersihan strategis”—tindakan terkoordinasi yang bertujuan mencabut kekuatan Iran dari akarnya sekaligus mendorong perubahan rezim.
“Ini bukan perang konvensional. Ini sudah masuk level ‘regime change’ yang bisa memicu pertumpahan darah terburuk di Timur Tengah sejak Perang Dunia II,” tegas Flynn. Ia memperkirakan, babak paling memilukan dan penuh korban baru akan dimulai, dengan durasi perang setidaknya dua pekan atau bahkan lebih, tergantung respons elite Iran dan mobilisasi jaringan sekutunya.
Kawasan Arab Memilih Diam: Iran Semakin Terisolasi
Di tengah badai konflik, negara-negara Arab di sekeliling Iran tampak masih menahan diri. Tidak ada sinyal kuat bahwa Mesir, Arab Saudi, Yordania, maupun negara Teluk akan turun tangan membantu Iran secara terbuka, baik secara militer maupun politik. Situasi ini semakin mempersempit ruang manuver Iran dan menambah tekanan terhadap rezim yang mulai diguncang oleh isu pengkhianatan dan ketidakstabilan internal.
Isu Keterlibatan Partai Komunis Tiongkok Mulai Mencuat
Menarik untuk dicermati, dalam beberapa hari terakhir, mulai bermunculan kabar dan analisis yang mengaitkan kepentingan dan kemungkinan keterlibatan tidak langsung Partai Komunis Tiongkok (PKT) di balik eskalasi konflik ini.
Banyak pihak menyoroti bagaimana posisi Tiongkok sebagai mitra dagang strategis Iran—terutama dalam hal ekspor minyak mentah—dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri Beijing terhadap konflik yang makin liar ini. Namun, sampai berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi langsung dari pihak Beijing maupun pernyataan resmi yang membenarkan keterlibatan PKT secara operasional di lapangan.
Timur Tengah di Ambang Krisis Baru
Badai konflik di Timur Tengah kali ini bukan sekadar adu senjata dan saling serang antar negara. Yang terjadi kini adalah duel hidup-mati yang mengancam peta geopolitik kawasan secara menyeluruh, dan bisa menjalar menjadi konflik global jika tidak segera diredam.
Satu hal yang pasti: dunia kini tengah menunggu babak berikutnya, dengan ketegangan yang mana semakin menajam, dan kemungkinan kehancuran yang jauh lebih besar jika “perang dalam bayangan” ini berubah menjadi perang terbuka antar kekuatan utama dunia. (***)