Home Blog

33 Tahun Kemudian, Pembantaian di Lapangan Tiananmen Masih Penting bagi Dunia

Dorothy Li

Tanggal 3 Juni 1989, adalah malam berdarah bagi para pengunjuk rasa mahasiswa pro-demokrasi. Kala itu, tank-tank meluncur menuju ke Lapangan Tiananmen, Beijing untuk memusnahkan orang-orang dan apapun di jalanan. Gas air mata dan peluru tajam membanjiri alun-alun.

Para pengunjuk rasa yang panik menyandarkan tubuh-tubuh yang lemas ke sepeda, bus, dan ambulans untuk mengangkut mereka pergi. Ribuan pengunjuk rasa tak bersenjata diperkirakan tewas.

Pembunuhan massal tersebut mengejutkan dunia. Sebagai tanggapan, kala itu Presiden AS George H.W. Bush mengutuk pembantaian tersebut. Kemudian menangguhkan pengiriman senjata ke Tiongkok dan memberlakukan beberapa sanksi.

“Tapi mereka segera beralih,” kata Li Hengqing, mantan pemimpin mahasiswa 1989 yang sekarang tinggal di Washington. Li menunjukkan bahwa sebagian besar sanksi langsung dicabut dan hubungan ekonomi kembali dilanjutkan.

“Kebetulan saya percaya bahwa kontak komersial telah memimpin, pada esensinya adalah pencarian lebih banyak terhadap kebebasan ini,” kata Bush pada konferensi pers yang diadakan sehari setelah pembantaian Tiananmen. 

“Saya pikir karena orang memiliki insentif komersial, apakah itu di Tiongkok atau  sistem totaliter lainnya, langkah menuju demokrasi menjadi lebih tak terhindarkan,” katanya. 

Teori itu digambarkan  “sangat konyol,” kata Yuan Hongbing, seorang cendikiawan Tiongkok yang kemudian diskors dari tugasnya karena berpartisipasi dalam aksi protes Tiananmen. Ia mengatakan kebijakan keterlibatan Washington dengan Tiongkok menguntungkan PKT. Bahkan, membantu rezim komunis mengumpulkan kekuatan ekonomi selama tiga dekade. 

“[Respon] Barat menguatkan PKT,” kata Chen Weijian, seorang komentator Tiongkok yang meninggalkan daratan Tiongkok ke Selandia Baru dua tahun setelah tindakan keras Tiananmen.

Setelah 33 tahun, “pembangunan ekonomi tak mengarah ke Tiongkok yang bebas,” kata Chen, yang merupakan pendiri majalah pro-demokrasi Tiongkok dan diselidiki karena mendukung demonstrasi 1989. Sebaliknya, PKT berusaha menggunakan kekuatan ekonomi untuk “mengubah aturan komunitas internasional” dan mengekspor model kontrol penindasannya ke seluruh dunia.

Chen mengutip percakapan antara Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden.

Selama pidato baru-baru ini di kelas kelulusan Akademi Angkatan Laut, Biden mengatakan bahwa Xi mengatakan kepadanya bahwa demokrasi akan jatuh dan “otokrasi akan menjalankan dunia.”

“Ketika dia menelepon saya untuk memberi selamat kepada saya pada malam pemilihan, dia mengatakan kepada saya apa yang dia katakan berkali-kali sebelumnya,” kata Biden pada 27 Mei, merujuk pada Xi. 

“Dia berkata, ‘Demokrasi tidak dapat dipertahankan di abad ke-21. Otokrasi akan menjalankan dunia. Mengapa? Hal-hal berubah begitu cepat. Demokrasi membutuhkan konsensus, dan itu membutuhkan waktu, dan Anda tidak punya waktu.’

“Dia salah,” kata Biden.

Disensor di Tiongkok

Hong Kong, sebagai tempat terakhir untuk memperingati para korban pembantaian 1989 di pulau yang dikuasai PKT, melarang peringatan massal sejak tiga tahun lalu, dengan alasan pandemi, di tengah pengekangan kebebasan Hong Kong yang lebih luas di tangan rezim komunis.

Para pemimpin kelompok di balik acara nyala lilin tahunan  ditahan setelah didakwa melakukan subversi di bawah undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan PKT. Mereka termasuk di antara lebih dari 150 orang yang  didakwa atau dihukum berdasarkan Undang-Undang kejam yang telah digunakan untuk menghapus perbedaan pendapat di pusat demokrasi yang pernah berkembang pesat.

Pada peringatan tahun ini, puluhan polisi berpatroli di Victoria Park, tempat acara penyalaan lilin tahunan  yang pernah digelar sebelumnya.

Di daratan Tiongkok, aksi protes Lapangan Tiananmen, sebuah gerakan dipimpin oleh pemuda yang mengadvokasi reformasi demokrasi, masih merupakan topik yang tabu. Sampai hari ini, rezim partai komunis Tiongkok tidak akan mengungkapkan jumlah atau nama mereka yang terbunuh akibat kekejamannya. 

Rezim mencoba untuk menghapus semua kenangan pembantaian berdarah dengan menghapus setiap penyebutan peristiwa dari internet negara. Lebih parah lagi, kerap menekan para kerabat korban untuk memastikan agar mereka tetap bungkam. Akibatnya, generasi muda Tionghoa tidak menyadari apa yang terjadi pada malam itu.

Meskipun rezim terus menekan kenangan pada hari itu, Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan Amerika Serikat akan “terus berbicara dan mempromosikan akuntabilitas atas kekejaman rezim Tiongkok dan pelanggaran hak asasi manusianya termasuk yang terjadi di Hong Kong, Xinjiang, dan Tibet.”

“Kepada rakyat Tiongkok dan mereka yang terus menentang ketidakadilan dan mencari kebebasan, kami tidak akan melupakan 4 Juni,” katanya dalam pernyataan 3 Juni.

Pandemi

Tahun ini, Lapangan Tiananmen dilockdown beberapa minggu sebelum 4 Juni, sebagai  langkah pencegahan pandemi di bawah kebijakan “nol-COVID” rezim. 

Pendekatan kejam, yang dimaksudkan untuk menghilangkan setiap kasus infeksi dalam komunitas dengan memberlakukan lockdown dan karantina wajib, menyebabkan terjadinya kekurangan makanan dan penundaan perawatan medis bagi jutaan orang yang dilockdown di seluruh Tiongkok. 

“[PKT] ingin mengendalikan virus melalui pendekatan yang tidak menghormati hak asasi manusia, yang sama seperti yang dilakukan pada 4 Juni,” kata Chen.

Bagi Chen, kasus Li Wenliang, seorang dokter yang termasuk orang pertama memperingatkan tentang wabah COVID-19 awal di Wuhan, adalah alarm bagi dunia tentang bagaimana penindasan PKT dapat mempengaruhi mereka. Dokter tersebut ditegur oleh polisi pada Januari 2020 ketika pihak berwenang meremehkan tingkat keparahan wabah. Li kemudian meninggal dunia karena virus.

Chen mengatakan pandemi saat ini akan berbeda jika rezim tidak menyensor whistleblower dan pihak lain yang mencoba membunyikan alarm. “Akhirnya dunia mulai memahami PKT sekarang.”

Luo Ya dan Eva Fu berkontribusi pada laporan ini.

Serangan Udara ‘Jaring Laba-Laba’ Ukraina Mengubah Operasi Sabotase Konvensional

oleh Shen Zhou

Pada 1 Juni, Dinas Keamanan Ukraina meluncurkan serangan udara yang diberi nama “Jaring Laba-Laba” dengan menggunakan pesawat nirawak untuk menyerang 4 Pangkalan Angkatan Udara Rusia. Serangan yang mengejutkan ini telah merusak sejumlah pesawat pengebom strategis dan pesawat peringatan dini Rusia. Disadari atau tidak, operasi Ukraina ini telah memaksa militer dari berbagai negara untuk memahami kembali infiltrasi dan serangan sabotase yang mungkin dilancarkan oleh pihak musuh, termasuk tidak menutup kemungkinan militer Partai Komunis Tiongkok melancarkan operasi serupa ke daratan Amerika Serikat.

Serangan Udara yang Dilancarkan dari Wilayah Rusia

Ukraina telah berulang kali meluncurkan serangan udara jarak jauh ke sejumlah target di Rusia dengan menggunakan pesawat nirawak, termasuk pangkalan udara, depot minyak, depot amunisi, pabrik produksi perangkat militer, dll. Rusia juga melakukan hal yang sama, bahkan tanpa pandang bulu menyerang fasilitas sipil Ukraina. Namun, dalam operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina pada 1 Juni itu, pesawat nirawak kecil lepas landas dari tempat yang tidak jauh dari 4 Pangkalan Angkatan Udara Rusia dan berhasil menyelesaikan tugas serangan dalam waktu singkat.

Meskipun 2 pangkalan udara Rusia yang diserang Ukraina tidak begitu jauh, tetapi seperti Pangkalan Angkatan Udara Olenya itu memiliki jarak sampai 1.900 Km dari Ukraina, apalagi Pangkalan Udara Belaya di Siberia jaraknya sekitar 4.000 Km dari Ukraina, yang memang tidak mungkin bisa terjangkau oleh pesawat nirawak kecil Ukraina. Tetapi jika pesawat nirawak itu diluncurkan dari Ukraina, hal yang dikhawatirkan adalah sulit lolos dari gempuran sistem pertahanan udara Rusia, sehingga menurunkan tingkat keberhasilan serangan.

Pada 20 Januari 2025, Ukraina menggunakan pesawat nirawak jarak jauh untuk menyerang pabrik pembuat pesawat pengebom Tu-160 di Kazan, Rusia yang berjarak sekitar 1.000 kilometer dari Ukraina dan menimbulkan beberapa ledakan. Meski Rusia kemudian mengklaim bahwa pihak militer berhasil melumpuhkan semua pesawat nirawak Ukraina sehingga kerugian yang dialami tidak besar.

Kali ini, Ukraina menggunakan pesawat nirawak kecil yang diluncurkan dari lokasi di wilayah Rusia yang tidak jauh dari pangkalan AU, membuat militer Rusia kewalahan dalam membendung serangan. Pesawat nirawak ini hanya butuh waktu terbang yang pendek untuk memasuki pangkalan AU Rusia menuju target aset utama seperti pesawat pengebom strategis dan pesawat peringatan dini, serta menjatuhkan bom kecil. Serangan mendadak ini telah menimbulkan kerusakan yang membuat pesawat-pesawat tidak lagi dapat digunakan atau tidak dapat diperbaiki dalam jangka waktu pendek. Inisiatif ini menumbangkan taktik infiltrasi dan serangan sabotase konvensional yang dilancarkan dari belakang garis musuh. Selain itu, operasi “Jaring Laba-Laba” ini juga memberikan makna tentang mode serangan udara baru yang sebenarnya dapat diluncurkan di belakang musuh.

Satu-satunya serangan yang sebanding dengan ini mungkin adalah Operasi Grim Beeper Israel. Pada 17 September 2024, Israel menargetkan pager dan walkie-talkie yang umum dipakai anggota Hizbullah di Lebanon, meledakkan bahan peledak yang terlebih dahulu ditanamkan di dalamnya. Pelaksanaan Operasi Grim Beeper ini memiliki kondisi khusus dan sulit untuk ditiru lagi. Namun operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina masih dapat ditiru.

Diberitakan bahwa pesawat nirawak Ukraina ini dirakit di dalam wilayah Rusia, menggunakan sistem kendali otonom AI, menyewa truk Rusia untuk mengangkutnya dan diparkir di tempat yang tidak jauh dari pangkalan udara Rusia. Pesawat nirawak terbang bersamaan dari dalam truk menuju sasaran yang ditentukan. Video daring menunjukkan bahwa pesawat nirawak yang telah diprogram itu menyerang target yang merupakan titik lemah pesawat, seperti sambungan antara sayap dan tangki bahan bakar. Dari rekaman video terlihat asap hitam pekat mengepul dari badan pesawat akibat ledakan mengenai bahan bakarnya.

Operator Ukraina mengevakuasi diri lebih awal untuk meminimalkan risiko sekaligus membuktikan bahwa serangan dilakukan oleh pesawat yang tanpa awak. 

A map of land with red squares

AI-generated content may be incorrect.

Pada 1 Juni 2025, operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina menyerang Pangkalan Angkatan Udara Rusia, yang terjauh berada di Timur Jauh yang berjarak sekitar 4.000 kilometer dari Ukraina. (video screenshot)

Kekuatan Pengeboman Strategis Rusia Menurun Drastis

Ukraina telah mengerahkan paling tidak 117 unit pesawat nirawak dalam operasi serangan ini, dan mengklaim berhasil menghancurkan atau merusak 41 unit pesawat pengebom strategis Rusia, termasuk Tu-95, Tu-22M3, Tu-160 dan pesawat peringatan dini A-50, yang mencakup sekitar 34% dari pembawa rudal jelajah strategis Rusia, dengan penilaian kerugian yang dihitung relatif optimis yaitu sekitar USD 7 miliar. Tetapi bagaimanapun juga, operasi Ukraina ini telah menimbulkan penurunan serius kekuatan tempur militer Rusia.

Tu-22 adalah pesawat pengebom kelas menengah Rusia model lama yang mampu membawa rudal jelajah Kh-22 yang beratnya sekitar 5,82 ton dan sulit dibawa oleh pesawat tempur Rusia, termasuk pesawat serang Su-34. Rusaknya pesawat pengebom Tu-22 berarti kemampuan militer Rusia untuk menggunakan rudal besar yang diluncurkan dari udara untuk menyerang Ukraina dari jarak jauh telah melemah.

Tu-95 adalah pesawat pengebom jarak jauh Rusia terdahulu yang mampu membawa hingga 8 buah rudal jelajah Kh-55/Kh-101/Kh-102, dengan berat rudal berkisar antara 1,65 ton hingga 2,4 ton.

Tu-160 adalah pesawat pengebom jarak jauh yang mulai beroperasi sebelum berakhirnya Perang Dingin dan dapat membawa 12 buah rudal jelajah Kh-55/Kh-101/Kh-102. Setelah runtuhnya Uni Soviet, Ukraina mewarisi 16 Tu-160, dan kemudian menjual 8 unit ke Rusia. Rusia masih memproduksi Tu-160 meskipun tidak gencar, dan sekarang ada 22 unit yang masih beroperasi. Setelah pesawat pengebom tersebut rusak, akan sangat sulit untuk diperbaikinya lantaran jalur produksi kedua jenis pesawat pengebom telah ditutup. 

Rusaknya pesawat pengebom strategis karena serangan Ukraina telah melemahkan kemampuan serangan jarak jauh militer Rusia secara serius. Menurut Ukraina, pada 6 Maret 2022, pesawat pengebom Rusia meluncurkan 8 rudal jelajah Kh-101 ke sasaran Ukraina. Pada 26 Juni 2022, pesawat pengebom Rusia meluncurkan 4 hingga 6 buah rudal jelajah Kh-101 ke Ukraina.

Pesawat pengebom ini juga merupakan bagian dari pencegahan nuklir strategis Rusia, kerusakan sejumlah pesawat tersebut juga melemahkan kemampuan Rusia dalam menghadapi NATO. Belakang ini jet tempur NATO dan AS sering mencegat pesawat pengebom Tu-160 Rusia yang terbang di dekat perbatasan. Begitu pula setiap tahun pesawat pengebom PKT melakukan latihan dengan pesawat pengebom Rusia di Laut Jepang, Laut Tiongkok Timur, dan Pasifik, bahkan telah mencapai Alaska, Amerika Serikat.

A person looking at a puzzle

AI-generated content may be incorrect.2

Pada 1 Juni 2025, Dinas Keamanan Ukraina merilis foto-foto operasi “Jaring Laba-Laba” dengan target utamanya adalah pesawat pengebom strategis Rusia. (Dinas Keamanan Ukraina)

Model Baru tentang Operasi Sabotase di Belakang Garis Musuh

Dalam semua perang sebelumnya, pihak yang bertikai akan mengirim sejumlah personel untuk menyusup ke belakang garis musuh guna melakukan operasi sabotase, termasuk memenggal kepala pejabat senior dan jenderal musuh di semua tingkatan, menghancurkan depot amunisi dan aset strategis utama musuh, merusak jaringan komunikasi dan jalur pasokan musuh, dan lain sebagainya untuk melemahkan kemampuan perang musuh. Selama Perang Dingin, antara NATO dan Pakta Warsawa juga secara diam-diam melakukan operasi infiltrasi dan sabotase serupa.

Di masa lalu, personel yang terlibat dalam serangan di belakang garis musuh menghadapi bahaya besar, dan operasi yang walau telah direncanakan secara cermat pun bisa gagal karena pengaruh berbagai faktor yang tak terduga, sehingga sulit mencapai tujuan yang direncanakan. Setelah pecahnya perang Rusia-Ukraina, kedua belah pihak juga langsung melaksanakan operasi serupa.

Pada Februari 2022, militer Rusia mengirim tim pembunuh untuk menyelinap ke Ibukota Kiev dalam upaya untuk membunuh Presiden Ukraina Zelensky, tetapi gagal. 

Pada 24 Februari 2022, pasukan terjun payung elit Rusia tiba-tiba diterjunkan ke Bandara Antonov di pinggiran kota Kiev untuk merebut titik-titik strategis terlebih dahulu, tetapi menghadapi serangan balik dari tentara Ukraina sehingga tujuan militer Rusia mengalami kegagalan.

Ukraina juga telah melakukan pengeboman di Rusia dan membunuh jenderal, pakar senjata Rusia dan lainnya. Belakangan tindakan tersebut tampaknya semakin gencar terjadi.

Pada 30 Mei dini hari, dua ledakan kuat terjadi di fasilitas angkatan laut Rusia di dekat Vladivostok di Timur Jauh Rusia. Seorang sumber pasukan khusus Ukraina mengatakan kepada media bahwa ledakan itu merupakan hasil tindakan departemen intelijen militer Ukraina. Tetapi Rusia mengatakan bahwa itu terjadi akibat kecelakaan pada tangki bahan bakar.

Pada 1 Juni, dua jembatan di daerah perbatasan antara Rusia barat dan Ukraina runtuh karena ledakan, menyebabkan dua kereta tergelincir, menewaskan sedikitnya 7 orang dan melukai 69 orang lainnya. Perusahaan Kereta Api Moskow mengatakan bahwa pihaknya juga menemukan beberapa rel yang rusak di jalur kereta api lainnya. Rusia menuduh pasukan khusus Ukraina melakukan sabotase. Badan Intelijen Militer Ukraina (HUR) mengatakan bahwa kereta militer Rusia yang membawa truk kargo dan bahan bakar meledak dan tergelincir.

A large tree in the water

AI-generated content may be incorrect.

Pada 3 Juni 2025, rekaman video yang dirilis oleh Dinas Keamanan Ukraina (SBU) menunjukkan bahwa Jembatan Kerch di Krimea diduga telah diledakkan selama operasi khusus. Jalur pasokan utama yang menghubungkan daratan Rusia ke Semenanjung Krimea ini telah diserang oleh Ukraina untuk ketiga kalinya. (Dinas Keamanan Ukraina/AFP)

Pada 3 Juni, Dinas Keamanan Ukraina merilis video pendek tentang pengeboman Jembatan Kerch di Krimea, mengklaim bahwa bahan peledak bawah air seberat 1,1 ton telah dipasang sebelumnya di bawah jembatan, dan ledakan tersebut menyebabkan pilar jembatan mengalami kerusakan parah.

A group of people standing on a road

AI-generated content may be incorrect.

Pada 3 Juni 2025, foto yang dirilis oleh Dinas Keamanan Ukraina menunjukkan bahwa dek jembatan rusak sebagian setelah pengeboman Jembatan Krimea. (Dinas Keamanan Ukraina)

Ini semua adalah bentuk serangan di belakang garis musuh yang konvensional. Operasi “Jaring Laba-Laba” yang dilakukan Ukraina untuk menyerang 4 pangkalan angkatan udara Rusia pada 1 Juni itu sangat berbeda dengan operasi-operasi di atas. Serangan udara yang dilancarkan militer Ukraina dari jarak jauh di waktu sebelumnya kurang efektif karena ketatnya pertahanan udara di pangkalan militer Rusia. Sedangkan menggunakan pasukan khusus untuk menyusup ke pangkalan militer berisiko sangat tinggi, bahkan mungkin saja sulit mewujudkan misi yang diemban, juga memastikan keselamatan diri. Oleh karena itu, Dinas Keamanan Ukraina secara kreatif merencanakan serangan udara dengan memanfaatkan pesawat tak berawak yang diluncurkan dari dekat pangkalan untuk menerobos kelemahan pertahanan di pangkalan udara Rusia.

A truck with a black smoke coming out of it

AI-generated content may be incorrect.

Pada 1 Juni 2025, operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina melakukan serangan udara di 4 pangkalan angkatan udara Rusia. Video daring menunjukkan bahwa sebuah pesawat nirawak kecil terbang keluar dari truk menuju sasaran. (video screenshot)

Tantangan Baru bagi Militer Berbagai Negara

Serangan udara “Jaring Laba-Laba” telah menumbangkan operasi sabotase konvensional dan membawa tantangan baru bagi pertahanan militer berbagai negara. Bagaimana mempertahankan diri dari serangan musuh terhadap fasilitas-fasilitas utama di wilayah sendiri langsung menjadi isu utama. 

Situs web lembaga pemikir AS CSIS menerbitkan sebuah artikel berjudul “Bagaimana Operasi ‘Jaring Laba-Laba’ Ukraina Mendefinisikan Ulang Perang Asimetris” pada 2 Juni. Artikel menjelaskan bagaimana sistem nirawak yang canggih dan murah mampu memberikan dampak strategis jauh di belakang garis musuh, dan tanpa pertahanan anti-drone khusus, maka infrastruktur strategis akan tetap rentan terhadap serangan. Dari infrastruktur militer utama hingga fasilitas sipil, kerentanan sistem yang kecil, tepat, dan sulit dideteksi semakin meningkat.

Amerika Serikat memiliki kekuatan militer terbesar di dunia, tujuan AS mengerahkan militernya secara global adalah untuk menjauhkan musuh dari negara. Namun, Amerika Serikat sendiri pun akan sulit menghadapi serangan mirip Operasi “Jaring Laba-Laba”. Bagi musuh yang lebih lemah ia mungkin dapat membuat kerusakan pada fasilitas dan personel utama di AS dengan meniru model tersebut. Kasus mahasiswa asal Tiongkok yang menerbangkan drone di dekat pangkalan militer di Amerika Serikat sudah pernah terjadi beberapa waktu lalu.

Dr. Lawrence Sellin, seorang pensiunan kolonel Angkatan Darat AS yang memiliki kemampuan seperti paranormal pada 12 Mei tahun ini mengirim pesan melalui akun X yang isinya mempertanyakan, apakah PKT sudah memiliki kemampuan pesawat nirawak untuk melakukan serangan militer dan pengawasan terhadap gerak-gerik militer di Amerika Serikat. Dalam pesannya ia juga memperingatkan bahwa pada tahun 2024, perusahaan Tiongkok ‘SkyTech UAV’ yang terkait dengan militer PKT telah membuka kantornya di komunitas Tionghoa di Flushing, New York, dan melampirkan foto pesawat nirawak produksi perusahaan tersebut.

Menurut situs web ‘SkyTech’, pihaknya mengekspor pesawat nirawaknya ke seluruh dunia, dan pada tahun 2024 telah mendirikan dan menunjuk kantornya di New York sebagai pusat penjualan dan layanan luar negeri. Produk perusahaan tersebut meliputi pesawat nirawak kelas transportasi S300 Transport Drone 8-poros, yang diklaim mampu membawa muatan hingga 150 kg, dengan waktu terbang selama 30 menit saat membawa muatan 100 kg. Kecepatan jelajahnya dapat mencapai lebih dari 72 km/jam. berdasarkan spesifikasi tersebut, pesawat ini seharusnya dapat terbang sekitar 36 kilometer.

Sebagai mantan personel militer, Dr. Lawrence Sellin sadar bahwa jenis pesawat nirawak ini dapat digunakan untuk keperluan militer yang bakal menimbulkan potensi ancaman terhadap daratan AS. 

PKT Mungkin Meniru Tetapi Juga Takut

Militer PKT berusaha menantang militer AS, tetapi mereka tahu bahwa ada kesenjangan besar dalam semua aspeknya. Operasi “Jaring Laba-Laba” dapat membangkitkan minat PKT untuk meniru metode serupa guna menyerang daratan AS. Bisa jadi mereka sudah memiliki ide serupa sejak lama. Apalagi PKT yang tidak peduli dengan nyawa manusia, dapat saja menggunakan agen PKT atau tenaga yang disuap untuk mengoperasikan pesawat nirawak di dekat fasilitas utama AS untuk melakukan penyerangan.

Tidak menutup kemungkinan pangkalan militer AS di Hawaii, Guam, Jepang, dan Filipina menghadapi ancaman seperti itu dari PKT. Jika PKT siap berperang dan terlebih dahulu melakukan serangan seperti itu dalam skala besar, maka kemampuan operasi militer AS dapat mengalami penurunan. Militer AS telah menempatkan sejumlah perangkat sistem peperangan elektronik dan sistem pertahanan udara untuk melawan pesawat nirawak, dan uji cobanya telah dilakukan lewat latihan militer “Balikatan” dengan Filipina. Namun, bagaimana menangani serangan berskala besar dari jarak dekat oleh pesawat nirawak kecil musuh kiranya masih menjadi masalah utama.

PKT juga takut kalau militer AS dan sekutunya menggunakan cara yang sama. Para pemimpin tertinggi dan jenderal militer senior PKT tidak khawatir tentang fasilitas militer yang diserang, tetapi yang paling mereka takutkan adalah kemungkinan operasi “pemenggalan kepala”. Perjuangan internal PKT yang brutal juga dapat menggunakan cara yang sama. Ketika para pemimpin tertinggi PKT mengunjungi berbagai tempat, otoritas berwenang langsung melarang keras penerbangan dengan pesawat nirawak. Salah satu alasannya adalah karena mereka takut kalau adegan yang memalukan terekam video, dan yang lainnya adalah karena mereka takut pesawat tanpa awak dapat melancarkan serangan atau lepas kendali.

Bagaimana pun operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina dan pengembangan pesawat nirawak telah menumbangkan konsep konvensional tentang penyerangan dan pertahanan militer, sekaligus membawa tantangan baru bagi semua negara. (***)

Kolaborasi Artotel TS Suites Surabaya dan Prambanan Jazz Festival Hadirkan Jazz Night Bertajuk PJF Tunes Up Your City

0

SURABAYA — Sebagai bagian dari rangkaian Roadshow Prambanan Jazz Festival (PJF) 2025 bertajuk “PJF Tunes Up Your City”, kolaborasi antara Artotel Wanderlust dan Prambanan Jazz Festival menghadirkan pertunjukan musik mini yang berlangsung meriah pada Jumat malam, 13 Juni 2025, mulai pukul 19.00 WIB di One Deck Gastropub, ARTOTEL TS Suites Surabaya.

Acara ini merupakan bagian dari perjalanan PJF ke berbagai kota besar di Indonesia menjelang puncak penyelenggaraan Prambanan Jazz Festival ke-11 yang akan digelar pada 4, 5, dan 6 Juli 2025 di pelataran megah Candi Prambanan, Yogyakarta.

Surabaya menjadi kota keempat dalam rangkaian roadshow setelah Jakarta, Bandung, dan Semarang. Mini showcase ini dibuka secara gratis untuk umum dan disambut antusias oleh ratusan pengunjung yang memadati area One Deck Gastropub sejak sore hari. Cahaya lampu temaram yang artistik berpadu dengan tata suara yang menggelegar namun nyaman, menghadirkan nuansa intimate yang sempurna. Penonton tampak larut dalam harmoni musik yang dibawakan oleh deretan musisi lokal pilihan, antara lain Girl and Her Badmood, The Caroline’s, Yellow Flower Living Water, dan Fusion Jazz Community.

Teddy Patrick, S.E., M.Par., CHA General Manager ARTOTEL TS Suites Surabaya mengatakan, “Kolaborasi ini menjadi bentuk nyata dari komitmen kami dalam mendukung ekosistem kreatif dan industri musik lokal. Kami bangga dapat mendukung dan menyuguhkan pengalaman artistik yang berbeda bagi masyarakat Surabaya.”

Rangkaian roadshow ini juga menjadi wadah promosi interaktif menuju acara puncak, sekaligus memperkuat semangat kolaborasi antara musik, seni, dan destinasi di berbagai kota di Indonesia.

(Edisi Khusus): “Perang Diam-diam yang Meledak: Bagaimana Israel Menjebak Iran di Tengah Malam?”

EtIndonesia. Pada 13 Juni hari yang menegangkan, dunia kembali dikejutkan oleh eskalasi besar-besaran di Timur Tengah. Israel secara resmi meluncurkan serangan udara besar-besaran ke Iran, menandai dimulainya babak baru dalam perang antara dua musuh bebuyutan tersebut. Serangan ini bukan hanya mengirimkan pesan keras kepada rezim Teheran, tetapi juga mengancam menimbulkan dampak luas terhadap stabilitas regional dan keamanan dunia. Situasi kian memanas saat Iran merespons dengan mengirimkan jet tempur dan meluncurkan rudal ke wilayah Israel.

Latar Belakang: Mengapa Serangan Ini Terjadi?

Israel kali ini benar-benar bertekad untuk menghancurkan kemampuan nuklir Iran. Berdasarkan laporan intelijen terbaru, Israel menilai bahwa Iran tinggal selangkah lagi untuk benar-benar memperoleh senjata nuklir, yang dianggap sebagai ancaman eksistensial bagi seluruh bangsa Israel.

 “Ini soal hidup dan mati bagi jutaan rakyat kami,” demikian pernyataan tegas Pemerintah Israel. Atas dasar itu, operasi militer ini dinilai sebagai tindakan pre-emptive, upaya pencegahan sebelum ancaman berubah menjadi bencana yang tak bisa dikendalikan.

Detail Operasi Militer: Gelombang Serangan dan Target

Dalam pernyataan resmi, militer Israel mengumumkan bahwa puluhan jet tempur telah berhasil menuntaskan gelombang serangan pertama. Target utama adalah fasilitas-fasilitas terkait program nuklir Iran yang tersebar di berbagai wilayah. Selain itu, sejumlah pangkalan militer, pusat komando, dan infrastruktur pendukung militer Iran turut menjadi sasaran. Israel menegaskan bahwa seluruh sistem pertahanan sudah berada dalam status siaga penuh, siap membalas setiap kemungkinan serangan balasan dari Iran.

Situasi Darurat di Israel: Respons Nasional

Seiring dengan dimulainya serangan, sirene peringatan serangan udara menggema di seluruh penjuru Israel. Pemerintah segera menutup seluruh wilayah udara untuk penerbangan non-Israel, menangguhkan kegiatan di luar ruangan, termasuk sekolah, pertemuan publik, hingga kegiatan ekonomi. Seluruh negeri memasuki status darurat, menyiapkan diri menghadapi kemungkinan perang besar yang nyata.

Iran dan Jaringan Proksi: Ancaman dari Segala Arah

Sejak meletusnya perang di Gaza, Iran dituding sebagai dalang utama di balik banyak aksi teror terhadap Israel, baik secara langsung maupun melalui kelompok-kelompok proksi seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza. Rezim Iran bahkan secara terbuka menyatakan keinginan mereka menghancurkan negara Israel—sebuah ancaman yang tidak lagi disamarkan. Kini, ketika Iran semakin dekat dengan ambisi nuklirnya, kekhawatiran dunia semakin memuncak.

Sistem Pertahanan Udara Berlapis Israel: Tembok Tak Tertembus?

Israel bukan negara yang mudah digempur. Negeri ini telah mengembangkan sistem pertahanan udara berlapis yang disebut-sebut sebagai yang tercanggih di dunia:

  1. Iron Dome (Kubah Besi)
    Sistem pertahanan ini mampu mencegat roket jarak pendek, meriam otomatis, dan drone kecil. Dengan biaya relatif rendah dan reaksi sangat cepat, Iron Dome telah terbukti mampu menahan lebih dari 90% serangan yang mengancam kawasan pemukiman.
  2. David’s Sling (Ketapel Daud)
    Sistem ini berfungsi menangkal rudal jarak menengah, rudal jelajah, dan drone berukuran besar, dengan jangkauan hingga 300 kilometer. Akurasinya sangat tinggi.
  3. Arrow-2
    Didesain untuk menghadang rudal balistik jarak menengah hingga tinggi seperti Scud, sistem ini dapat mencegat rudal di ketinggian atmosfer.
  4. Arrow-3
    Pengembangan bersama Amerika Serikat, Arrow-3 diperuntukkan menahan rudal balistik antarbenua, bahkan yang melintas di luar atmosfer, dengan jangkauan lebih dari 2.000 kilometer.
  5. Iron Beam (Sinar Besi)
    Sistem laser baru yang sedang diuji, dirancang untuk menahan roket murah dan drone kecil yang jumlahnya banyak. Laser ini diharapkan menjadi solusi efektif dan murah untuk serangan massal.

Dengan empat lapisan utama ini, serangan rudal balasan dari Iran diprediksi hanya akan menghasilkan dampak terbatas di Israel.

Posisi Negara-Negara Arab: Mengapa Mereka Kini Diam?

Dulu, musuh utama Israel adalah negara-negara Arab di sekitarnya. Namun, peta politik kawasan sudah berubah drastis. Banyak negara Arab kini berdamai dengan Israel, bahkan menjalin hubungan diplomatik. Mesir dan Yordania telah lebih dulu menandatangani perjanjian damai, sementara negara-negara lain seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko ikut menormalisasi hubungan melalui Abraham Accords.

Mengapa demikian? Setelah serangkaian perang besar yang selalu berujung kekalahan, negara-negara Arab menyadari bahwa mengalahkan Israel lewat jalur militer adalah mustahil. Kini, justru Iran—negara non-Arab, bermazhab Syiah—yang tampil sebagai musuh utama Israel. Permusuhan ini dipicu oleh agenda ekspansi ideologis dan kebutuhan politik domestik rezim Iran untuk memperkuat legitimasi di dalam negeri.

Sejarah Singkat Perang Besar di Timur Tengah

  1. Perang Arab-Israel 1948:
    Setelah Israel berdiri berdasarkan keputusan PBB, negara-negara Arab menyerang. Israel bertahan, bahkan memperluas wilayahnya.
  2. Perang Suez 1956:
    Inggris, Prancis, dan Israel menyerang Mesir setelah nasionalisasi Terusan Suez, namun akhirnya dipaksa mundur oleh tekanan Amerika dan Uni Soviet.
  3. Perang Enam Hari 1967:
    Israel melancarkan serangan pre-emptive dan merebut wilayah strategis dari Mesir, Suriah, dan Yordania hanya dalam enam hari.
  4. Perang Yom Kippur 1973:
    Mesir dan Suriah melakukan serangan mendadak. Israel nyaris kalah sebelum akhirnya diselamatkan oleh bantuan darurat Amerika.
  5. Perang Lebanon 1982:
    Israel menyerang Lebanon untuk memukul mundur PLO, kemudian muncul Hizbullah sebagai kekuatan baru yang didukung Iran.
  6. Perang Gaza:
    Kini konflik utama terjadi antara Israel dan kelompok teror seperti Hamas dan Hizbullah yang didukung penuh oleh Iran.

Motif Politik: “Musuh Bersama” Sebagai Alat Kekuasaan

Rezim Iran menjadikan permusuhan terhadap Israel sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan di dalam negeri. Musuh bersama ini dijadikan kambing hitam atas berbagai kegagalan ekonomi dan sosial. Dalam dunia politik otoriter, istilah “keamanan nasional” seringkali berarti keamanan rezim, bukan keamanan rakyat. Beda halnya dengan Israel yang lebih mementingkan perlindungan nyata bagi warganya.

Dimensi Global: Pertarungan Dua Kubu Dunia

Konflik ini bukan sekadar urusan dua negara. Di belakang layar, dua poros besar dunia ikut terlibat:

  • Poros Barat: Amerika Serikat, Israel, NATO, Jepang, Taiwan.
  • Poros Timur: Tiongkok, Rusia, Iran, Pakistan, Korea Utara.

Bantuan teknologi nuklir Iran diyakini melibatkan Pakistan dan, secara tidak langsung, Tiongkok. Persaingan kekuatan global kini bukan lagi soal ideologi, melainkan soal “siapa yang paling kuat dan bisa bertahan”.

Amerika Serikat: Dukung Diam-diam

Meskipun serangan kali ini dilakukan tanpa dukungan terbuka dari Amerika Serikat, jelas terlihat adanya “lampu hijau diam-diam” dari Washington. Amerika kini lebih fokus menghadapi Tiongkok, sehingga memberi ruang bagi Israel untuk mengambil tindakan sendiri demi mencegah Iran punya senjata nuklir.

Risiko Perang Lebih Luas: Seberapa Besar Kemungkinannya?

Karena tidak berbatasan langsung, Israel dan Iran tidak bisa saling menyerang lewat darat. Selama negara-negara Arab sekitar tetap netral atau bahkan mendukung Israel secara diam-diam, risiko perang besar yang meluas relatif kecil. Apalagi, Iran berbeda mazhab dengan mayoritas negara Arab (Syiah vs. Sunni), sehingga sering terjadi konflik internal di dunia Islam sendiri. Negara-negara Arab Sunni, seperti Arab Saudi, secara tidak langsung justru khawatir pada kekuatan nuklir Iran.

Jika perang meluas, dampaknya bisa menghancurkan kawasan, apalagi jika senjata nuklir jatuh ke tangan kelompok teror.

Manfaat Ganda bagi Israel: Perlindungan dan Politik Dalam Negeri

Bagi Israel, serangan ini punya manfaat ganda:

  1. Melindungi kelangsungan hidup bangsa dan mencegah ancaman nuklir.
  2. Mengalihkan perhatian dari isu-isu dalam negeri, seperti kasus korupsi dan kritik atas kegagalan intelijen pada peristiwa 7 Oktober lalu.

Namun, alasan terbesar tetap mencegah Iran—rezim yang secara terang-terangan ingin memusnahkan Israel—memiliki senjata pemusnah massal.

Dampak Kemanusiaan dan Ancaman Lebih Besar

Jika Iran benar-benar memiliki senjata nuklir, risikonya bukan hanya untuk Israel, tetapi untuk seluruh dunia. Apalagi, Iran dikenal mendukung kelompok-kelompok ekstremis yang tak segan melancarkan serangan teror ke manapun, bahkan ke negara-negara Arab tetangga. Dunia internasional pun harus memperhitungkan keterlibatan negara-negara besar di balik pengembangan nuklir Iran.

Israel: Demokrasi, Kebebasan, dan Realitas di Lapangan

Israel hari ini dikenal sebagai negara demokrasi modern yang multikultur. Bukan hanya orang Yahudi, komunitas Muslim, Kristen, dan kelompok lain bisa hidup berdampingan secara damai di banyak kota besar seperti Tel Aviv dan Yerusalem. Berbeda dengan narasi propaganda, kenyataan di lapangan menunjukkan tingkat kebebasan dan keterbukaan masyarakat Israel yang tinggi.

Sebaliknya, di banyak wilayah yang dikuasai kelompok teror, justru kebebasan rakyatnya jauh lebih terancam. Misalnya di Gaza, kelompok seperti Hamas kerap mengorbankan rakyat sipil demi tujuan politik mereka sendiri.

Penutup: Perang yang Tak Kunjung Usai dan Jalan Menuju Perdamaian

Konflik Israel-Iran adalah puncak dari pertarungan panjang yang sarat kepentingan politik, agama, dan geopolitik global. Dalam situasi rumit seperti ini, hanya diplomasi, tekanan internasional, dan kerja sama antarnegara yang bisa membuka jalan menuju perdamaian abadi di Timur Tengah. Namun selama ambisi nuklir Iran belum dihentikan, dan selama kelompok-kelompok radikal masih didukung negara-negara besar, perdamaian sejati di kawasan ini tetap menjadi impian yang sulit digapai.

(Edisi Khusus): “Hanya 10 Menit: Israel Hancurkan Elit Militer dan Ilmuwan Nuklir Iran Sekejap!”

EtIndonesia. Selama bertahun-tahun, banyak pihak menganggap ancaman Israel terhadap Iran hanyalah gertakan kosong—perang kata-kata tanpa aksi nyata. Namun, pada pertengahan 13 Juni, dunia menyaksikan babak baru yang menegangkan: Israel benar-benar bergerak, melancarkan serangan langsung ke jantung Iran, menghancurkan target strategis di Teheran dan kota-kota utama lain. Dari para jenderal Garda Revolusi, ilmuwan nuklir top, hingga basis peluncuran rudal, semua menjadi sasaran yang dilumpuhkan dalam hitungan menit.

Langkah Israel ini tidak berdiri sendiri. Amerika Serikat, jauh sebelum serangan dimulai, telah mengevakuasi diplomatnya dari Irak dan memperketat pengamanan di seluruh pangkalan militer di kawasan. Fakta ini menunjukkan bahwa Washington sepenuhnya mengetahui skenario besar yang akan terjadi. Bahkan, Presiden Donald Trump secara terbuka mengakui bahwa dia sudah diberitahu terlebih dahulu, dan mengisyaratkan adanya “duet peran” antara AS dan Israel—sandiwara politik yang bukan hanya menipu Iran, tetapi juga rezim komunis Tiongkok.

Babak Baru Perang Timur Tengah: Skenario “Hari Kiamat” Dimulai

Pada dini hari 13 Juni, saat dunia barat tertidur, Timur Tengah sedang dipaksa untuk menghadapi kenyataan keras: lebih dari 200 jet tempur Israel menembus langit Iran. Target mereka bukan sembarangan: mulai dari fasilitas nuklir, pangkalan militer, gudang senjata, hingga markas komando tertinggi Iran dihancurkan dalam satu malam.

Yang mengejutkan, Mossad—dinas intelijen legendaris Israel—telah lama membangun jaringan rahasia di dalam wilayah Iran. Mereka menanam “penanda” target, menyiapkan basis drone, bahkan menduplikasi metode operasi militer seperti “jaringan babi” Ukraina (atau justru Ukraina yang belajar dari Mossad, mengingat Presiden Zelenskyy juga berdarah Yahudi).

Hasilnya? Sistem pertahanan udara Iran, yang selama ini digadang-gadang sebagai perisai utama, justru menjadi “pajangan”—tidak mampu membendung gempuran udara yang begitu terkoordinasi dan presisi.

Strategi Israel: Bergerak Mandiri, Tak Menunggu Restu Amerika

Israel tidak lagi menunggu keputusan Dewan Keamanan PBB ataupun “lampu hijau” resmi dari Amerika Serikat. Setelah bertahun-tahun memperingatkan dunia soal ancaman nuklir Iran, Tel Aviv akhirnya mengambil keputusan mutlak: bertindak sebelum semuanya terlambat. Menurut sumber intelijen, Iran telah berhasil mengumpulkan cukup uranium untuk membuat hingga 15 bom nuklir dan proses militerisasi sudah berjalan.

Bagi Israel, waktu habis. Sanksi ekonomi dan diplomasi sudah tidak lagi efektif. Setelah selama bertahun-tahun berhasil “memotong tangan” Iran di Suriah dan Lebanon, serta menekan kekuatan ekonomi mereka melalui embargo AS, para pemimpin Israel—Perdana Menteri Netanyahu dan Menteri Pertahanan, Katz—mengambil keputusan strategis: Operasi “Kebangkitan Singa” diluncurkan.

Dalam operasi ini, lebih dari 200 pesawat tempur Israel—termasuk F-15, F-16, dan F-35—lepas landas serentak. Mereka membawa bom presisi tinggi, menembus wilayah udara Irak dan Suriah tanpa terdeteksi, dan menghantam jantung pertahanan Iran.

Sasaran Utama: Program Nuklir dan Elite Militer Iran

Pada gelombang pertama serangan, lebih dari 330 bom presisi dijatuhkan ke 100 target strategis. Sasaran utama adalah fasilitas pengayaan uranium Natanz, markas besar militer di Teheran dan Isfahan, gudang amunisi, serta pangkalan bawah tanah Garda Revolusi.

Selain itu, jet F-35 Israel dengan bantuan data koordinat Mossad berhasil menembus bunker beton yang didesain untuk tahan bom, membunuh sejumlah pejabat tinggi militer, termasuk:

  • Mohammad Bagheri – Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran
  • Hossein Salami – Komandan Garda Revolusi Iran
  • Amir Ali Hajizadeh – Komandan Angkatan Udara Garda Revolusi
  • Abbas Pour – Komandan Drone
  • Khalil Shaikhsian – Kepala Sistem Pertahanan Udara

Tak hanya para jenderal, sejumlah ilmuwan nuklir utama Iran juga menjadi korban. Sedikitnya 10 tokoh penting program nuklir tewas, termasuk:

  • Abbasi-Davani – “Bapak” teknologi pengayaan uranium Iran
  • Teranchi – Ahli desain hulu ledak
  • Minouchehr – Pakar sistem sentrifugal
  • Zolfaghari – Kepala produksi uranium berkadar tinggi
  • Hosseini – Mantan kepala riset nuklir
  • Matbibizadeh – Ahli kualitas rantai produksi uranium

Akibatnya, dalam hitungan menit, seluruh “otak” program nuklir militer Iran dilumpuhkan—sebuah kerugian yang tidak mudah untuk dipulihkan, bahkan dalam waktu puluhan tahun ke depan.

Natanz: Simbol Kehancuran Program Nuklir Iran

Natanz, pusat program pengayaan uranium Iran, menjadi target utama. Di fasilitas bawah tanah yang dijaga ketat ini, ribuan sentrifugal memproses uranium hingga mendekati kadar senjata. Serangan Israel dengan bom penghancur beton membuat seluruh instalasi Natanz luluh lantak.

Berbeda dari insiden sabotase tahun 2020 dan 2021 yang hanya memperlambat proses, kali ini Natanz dihancurkan total. Peran Mossad sangat vital, dengan tim kecil yang menanam alat penanda dan sistem laser bawah tanah, sehingga bom presisi Israel menghantam titik vital dengan akurat.

Satu-satunya fasilitas yang luput adalah Fordow—bunker pengayaan di kedalaman pegunungan Qom, yang hanya bisa dihancurkan oleh bom MOP milik AS. Israel memang tak punya akses atau pesawat pembawa bom super berat ini, tapi pesan mereka jelas: apapun yang bisa dihancurkan, akan dihancurkan; sisanya, akan terus diawasi dengan segala cara.

Operasi Intelijen dan Sandiwara Psikologis

Operasi militer ini didahului oleh manuver intelijen dan perang psikologis canggih. Israel mengadakan “rapat kabinet palsu” seolah-olah membahas sandera Gaza, padahal yang terjadi adalah penandatanganan perintah perang tertutup. Berita-berita “palsu” tentang pernikahan keluarga Netanyahu dan agenda kunjungan diplomatik disebarkan demi mengecoh musuh.

Sementara itu, Trump juga turut berperan dalam “sandiwara” internasional. Hanya beberapa jam sebelum serangan, dia menegaskan komitmen mencari solusi damai, sehingga Iran dan dunia internasional lengah.

Hasilnya, bahkan media Tiongkok dan Duta Besar Tiongkok di Israel pun terbawa skenario, tampil di TV lokal dengan pesan anti-nuklir Iran dan menentang Hamas—tanpa menyadari mereka sedang menjadi bagian dari panggung besar Mossad.

Respons Iran dan Lingkaran Sekutunya: Gagal Total

Tak butuh waktu lama, Iran langsung merespons dengan meluncurkan lebih dari 100 drone dari wilayah Irak dan Suriah ke arah Israel. Namun, seluruh upaya ini sia-sia. Sistem pertahanan udara Israel (Iron Dome, David’s Sling, dan Magic Wand) bekerja sempurna, bahkan dibantu oleh jet tempur Yordania yang ikut mencegat ancaman.

Di dalam negeri Iran, Pemimpin Tertinggi Khamenei hanya mampu melontarkan ancaman tanpa aksi nyata. Pemerintah Lebanon pun melarang Hizbullah ikut campur, dan Rusia—yang selama ini bermitra strategis dengan Iran—hanya mengirim nota protes simbolis.

Tiongkok, di sisi lain, sebatas menyampaikan keprihatinan melalui juru bicara Kemenlu, tanpa tindakan konkret. Ini membuktikan bahwa saat krisis nyata terjadi, “lingkaran pertemanan” Iran sekadar ilusi politik—tak ada satu pun yang benar-benar bisa diandalkan.

Amerika Serikat: Mendukung dari Balik Layar

Meski secara resmi menyatakan serangan ini “inisiatif penuh Israel”, Amerika Serikat memberikan ruang strategis yang sangat besar. Trump, lewat media sosial, menegaskan bahwa dia telah memberi Iran banyak kesempatan negosiasi dan memperingatkan, jika Iran membalas ke kepentingan AS, maka Amerika akan membalas dengan kekuatan penuh.

Amerika juga memberikan sinyal jelas: untuk saat ini, mereka tidak akan turun tangan langsung, tetapi tetap siap jika kepentingan mereka terancam. Sementara itu, akses ke senjata penghancur bunker (MOP) tetap menjadi hak eksklusif AS, dan Israel memahami batas operasional yang ada.

Pesan untuk Dunia: Tradisi “Berdiri Sendiri” Israel dan Akhir Era “Deterrence Nuklir”

Dari serangan ke reaktor Osirak (Irak) tahun 1981, fasilitas nuklir Suriah 2007, hingga Iran hari ini, Israel selalu memegang prinsip: “Jangan beri kesempatan musuh membangun senjata pemusnah massal.”

Netanyahu menegaskan bahwa serangan ini bukan hanya demi keamanan Israel, melainkan juga dunia internasional. Pesan ini ditujukan untuk negara-negara besar seperti Tiongkok dan Rusia yang selama ini menjadi “payung” Iran, baik teknologi maupun logistik.

Operasi Israel ke Iran menjadi babak baru dalam strategi keamanan global: pencegahan melalui serangan pre-emptive (pre-emptive strike) kini menjadi realitas, menggantikan teori deterrence lama. Serangan ini menunjukkan bahwa negara-negara yang merasa benar-benar terancam akan memilih aksi langsung ketimbang menunggu bencana datang.

Penutup: Garis Merah yang Baru untuk Dunia

Israel telah menciptakan garis merah baru dalam geopolitik dunia: ancaman nyata harus dilawan dengan tindakan nyata. Bagi Israel, ini soal kelangsungan hidup; bagi dunia, ini pengingat akan bahaya membiarkan otoritarianisme dan teknologi destruktif berkembang tanpa batas.

Netanyahu menutup pidatonya dengan peringatan tegas: “Kami melakukan ini demi anak-anak kami, juga demi anak-anak kalian di seluruh dunia. Ketika senjata nuklir jatuh ke tangan penguasa yang tak bertanggung jawab, seluruh umat manusia terancam.”

Apa yang terjadi di malam 13 Juni adalah lebih dari sekadar operasi militer—ini adalah peristiwa yang akan dikenang sebagai penanda zaman: ketika dunia menyadari, kadang satu aksi nyata lebih berarti dari seribu janji diplomatik.

(Edisi Khusus): “Xi Jinping Disingkirkan? Di Balik Kepanikan Beijing dan Barter Masa Depan Tiongkok”

EtIndonesia. Bayangkan sebuah negara adidaya rela menggunakan “aset strategis” berupa logam tanah jarang yang menjadi penopang industri dunia—hanya demi satu hal: memastikan anak-anak pejabat elite tetap bisa belajar di kampus-kampus elit Amerika, khususnya Harvard. Inilah babak baru dari drama geopolitik global yang menggemparkan dunia di awal Juni 2025.

Pada 9–10 Juni, Beijing terlihat “bertekuk lutut” di meja perundingan di London. Sementara itu, dari seberang Atlantik, Donald Trump, dengan gaya santainya, hanya memasukkan tangan ke saku sambil melontarkan kalimat yang membekukan dunia: “Tiongkok akan menyediakan seluruh logam tanah jarang yang kita butuhkan, sebagai imbalannya, pelajar mereka boleh kembali ke universitas kami.”

Kalimat inilah yang jadi sinyal awal betapa kerasnya tekanan yang sedang melanda Beijing, dan betapa besarnya taruhan yang dipasang oleh elite-elite Partai Komunis Tiongkok (PKT).

Sinyal Kekalahan dari Beijing—Dibalik Wawancara Ren Zhengfei

Tak lama setelah itu, People’s Daily, corong resmi PKT, menerbitkan wawancara eksklusif dengan Ren Zhengfei, pendiri Huawei, yang nadanya jauh dari gaya agresif biasanya.

“Kami tidak sehebat itu, Amerika tidak perlu takut,” ujar Zhengfei

Sebuah ironi pahit: Huawei, yang selama ini jadi simbol perlawanan Tiongkok, kini justru tampil rendah hati di muka umum.

Dulu, siapapun yang meremehkan Huawei pasti kena “interogasi”—atau minimal dipanggil “minum teh” oleh otoritas Tiongkok. Namun kini, justru sang pendiri Huawei yang mengucapkan kata-kata itu, dipajang di halaman utama media partai, disusul judul yang tidak kalah merendah

“Semakin terbuka negara, semakin besar kemajuan yang dicapai,” katanya.

Ini bukan sekadar perubahan nada, tapi kode keras—Beijing sedang mengirim pesan pada dunia, terutama Washington: kami siap berkompromi, kami sudah kalah, asal anak-anak kami tetap bisa belajar di kampusmu.

Menghilangnya Xi Jinping—Drama di Balik Panggung

Di tengah situasi genting ini, ada satu hal yang jauh lebih mencolok: Xi Jinping benar-benar lenyap dari sorotan publik selama tiga hari penuh.

Bukan tanpa sebab. Intelijen Rusia bahkan membocorkan bahwa Xi telah tiga kali mengalami serangan jantung sejak akhir Mei, dan di dalam tubuh partai sudah muncul pergerakan senyap untuk mengambil alih kendali kekuasaan.

Sementara dunia menunggu “konfirmasi” dari Beijing, realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya—Xi hanya muncul di dua upacara pemakaman, bukan di forum-forum penting kebijakan, bukan di ruang negosiasi. Dalam sistem politik Tiongkok, ini jelas bukan kebetulan, melainkan “pengasingan simbolik” yang sangat terencana.

Sandiwara Konsesi dan Kudeta Sunyi di Beijing

Lebih menarik lagi, semua dokumen, peraturan, dan keputusan penting yang keluar selama periode ini—termasuk soal jaminan sosial, pendidikan, dan kesehatan—tidak lagi mencantumkan nama Xi secara eksplisit.

Biasanya, setiap instruksi besar selalu diawali frasa: “Berdasarkan pemikiran Xi Jinping tentang sosialisme era baru…”

Namun kali ini, nama Xi hanya muncul satu kali, itu pun secara samar dan seolah sengaja dihapus dari konteks dokumen utama.

Apa artinya ini?

Di dunia birokrasi Tiongkok, tidak ada ruang untuk “kelalaian” dalam penyusunan dokumen tingkat tinggi. Setiap kata, bahkan tanda baca, dipastikan melalui audit ketat. Jadi jika nama Xi benar-benar hilang, itu berarti ada kekuatan baru yang sedang mengambil alih, dan sengaja menghilangkan jejaknya.

Inilah yang disebut sebagai “uji coba kekuasaan” oleh kelompok penerus. Xi “disembunyikan”, People’s Daily menggantikan peran, Ren Zhengfei tampil sebagai aktor kerendahan hati, dan di belakang layar, Trump mengetuk palu kemenangan. Lebih halus dari kudeta militer, tapi dampaknya sama mematikannya.

Barter Logam Tanah Jarang  dan Visa Harvard—Anak Elite Jadi Taruhan

Kebijakan barter ini makin jelas ketika pada 11 Juni pagi, Trump mengumumkan secara terang-terangan di media sosial: “Kesepakatan sudah tercapai—Tiongkok akan segera menyediakan seluruh logam tanah jarang dan magnet, sebagai gantinya pelajar mereka bisa kembali ke universitas kami.”

Trump bahkan menambahkan: “Saya dan Xi akan bekerja keras membuka pasar Tiongkok bagi Amerika, ini kemenangan besar bagi kedua pihak.”

Namun faktanya, Tiongkok harus tetap menerima tarif 55% atas ekspor mereka, hanya mendapat konsesi 10%, dan harus membuka keran rare earth mereka secara penuh.

Lalu, kenapa Beijing mau menerima kesepakatan yang jelas-jelas timpang ini?

Jawabannya sangat sederhana namun getir:

Bukan demi ekonomi nasional, tapi demi masa depan anak-anak para pejabat elit PKT.

Baru dua pekan lalu, Gedung Putih menghentikan sementara visa pelajar internasional Harvard—mengirim pesan keras ke Beijing.

“Jika ingin anak-anak elite kalian tetap bersekolah, serahkan sesuatu yang berharga.”

Beijing pun menyerah, logam tanah jarang  jadi “tebusan”, dan seluruh sistem tunduk pada kehendak Washington.

Krisis Waktu, Ancaman Tarif, dan Kepanikan dalam Sistem

Kesepakatan ini hanyalah perjanjian jeda sementara—lanjutan dari gencatan senjata dagang di Jenewa pada Mei. Masih tersisa 60 hari menuju deadline final. Jika dalam waktu itu tak tercapai kesepakatan komprehensif, tarif impor AS atas produk Tiongkok akan melonjak ke 145%.

Jadi, bukan kesadaran atau “pemulihan hubungan”, tapi karena terdesak waktu dan situasi internal yang rapuh.

Lebih ironis lagi, sandiwara “konsesi” ini dikemas sebagai “terobosan besar hubungan bilateral”—masyarakat diminta bersyukur, investor diimbau tenang, dan elite partai diminta patuh.

Namun siapa sebenarnya yang memutuskan? Bukan Xi. Seluruh proses negosiasi hanya diisi pejabat teknis, tanpa suara “seorang pemimpin besar” yang biasanya mendominasi headline.

Beijing dan Kudeta Sunyi—Sistem Tanpa Xi

Dalam kurun waktu satu minggu, Xi Jinping tak pernah memberi pernyataan, tak menghadiri rapat, bahkan tak membalas sindiran Trump. Ia hanya muncul di altar duka, tidak pernah di meja negosiasi.

Inilah yang disebut sebagai “pengasingan simbolik”—Xi masih menyandang semua gelar, tapi sudah bukan pengambil keputusan.

Intelijen Rusia, SVR, mengonfirmasi lewat laporan yang akurat: “Xi Jinping telah mengalami tiga kali serangan jantung, kekuasaan riil sudah dicabut, ia hanya jadi simbol.”

Sistem komando partai kini dirombak—semua instruksi dan dokumen tak lagi menyebut Xi, hanya “partai memperhatikan” atau “kami akan laksanakan”.

Pergantian kepemimpinan berlangsung tanpa suara, tanpa darah, tanpa drama.

Tiongkok di Tengah Badai Timur Tengah—Diam Seribu Bahasa

Bersamaan dengan itu, krisis di Timur Tengah memuncak—Amerika dan Israel bersiap melakukan operasi militer ke Iran.

Namun, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Beijing kini memilih diam, tidak ikut campur, tidak mengutuk, bahkan tidak membela Iran secara terbuka.

“Tiongkok selalu mendukung penyelesaian diplomatik isu nuklir Iran.”

Jawaban jubir Kementerian Luar Negeri sangat normatif dan kosong makna—tak ada sikap nyata, hanya kalimat-kalimat klise.

Pernyataan ini hanyalah upaya “pura-pura mati”, menandakan Beijing tak ingin, bahkan tak berani, ikut dalam eskalasi. Bagi Rusia dan Iran, ini sinyal nyata: Beijing telah berubah haluan, atau bahkan telah berkhianat.

Skandal Ekspor Rudal—Jejak Lama Warisan Xi

Tak berhenti sampai di situ, Wall Street Journal mengungkap laporan eksklusif bahwa Iran telah memesan ribuan ton ammonium perchlorate dari perusahaan Tiongkok untuk kebutuhan rudal balistik.

Transaksi ini terjadi sejak lama, di bawah “pengawasan” sistem Xi. Namun ketika krisis meledak, tak ada satupun pejabat tinggi yang tampil untuk membela atau menjelaskan, apalagi Xi sendiri. Semua “menghilang”, semua sistem menutup diri.

Simbol Tanpa Kuasa—Xi Jinping Dilewati Sejarah

Akhirnya, pada 12 Juni, Xi hanya muncul di upacara duka cita—tanpa suara, tanpa instruksi, tanpa kebijakan. Di satu sisi, dunia tengah bergolak dengan perang dan negosiasi panas, di sisi lain, Beijing hanya hening di altar pemakaman.

Inilah momen ketika seorang pemimpin besar “dilupakan sejarah”—bukan karena digulingkan, tapi karena dilewati oleh waktu dan peristiwa.

Penutup: “Akselerator Besar” Kini Hanya Masa Lalu

Sepanjang satu dekade, Xi Jinping kerap membanggakan kepemimpinan “tangan besi”-nya: mengendalikan kampus, modal, diplomasi, bahkan industri chip. Kini, karena terlalu sering intervensi, sistem menjadi kacau—Xi secara de facto sudah lengser, tapi secara de jure masih dipertahankan demi wajah partai.

Trump, Putin, Khamenei—semua kini bergerak tanpa memperhitungkan Xi. Tiongkok hari ini dikelola oleh “pemangku takhta” tanpa wajah, negosiator baru yang memilih kompromi sunyi ketimbang perlawanan terbuka.

Bagi elite PKT, prioritas tertinggi bukan lagi supremasi ideologi, tapi keselamatan generasi penerus mereka—anak-anak elite partai yang belajar di Amerika.

Logam tanah jarang, kebijakan, bahkan reputasi negara, semua bisa dijadikan taruhan.

Dan begitulah akhir paling pahit bagi seorang pemimpin besar: bukan digulingkan, tapi dilupakan dunia.

Israel Serang Iran, PM Netanyahu: Serangan Akan Berlanjut Hingga Ancaman Dihilangkan

Laporan New Tang Dynasty TV menyebutkan Menteri Pertahanan Israel Israel Katz pada  Kamis (12 Juni) mengumumkan bahwa Israel telah melancarkan “serangan pre-emptive” (pendahuluan) terhadap Iran, dengan sasaran fasilitas nuklir dan militer. Ia juga menyatakan bahwa Israel kini berada dalam status darurat. Dua pejabat Amerika Serikat mengatakan bahwa AS tidak terlibat dan tidak memberikan bantuan dalam serangan tersebut.

EtIndonesia. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa serangan terhadap Iran akan terus berlanjut hingga ancaman benar-benar dihilangkan.

Pernyataan Menteri Pertahanan Israel Katz menyatakan dalam pernyataannya: “Setelah Israel melancarkan serangan pre-emptive terhadap Iran, diperkirakan Israel dan rakyat sipilnya segera akan menghadapi serangan rudal dan drone (pesawat nirawak).”

Sementara itu, media pemerintah Iran IRNA melaporkan bahwa ledakan terdengar berulang kali di ibu kota Teheran.

Amerika Serikat Tidak Terlibat

Reuters melaporkan bahwa dua pejabat AS yang tidak disebutkan namanya membenarkan bahwa Israel telah mulai menyerang Iran, dan menekankan bahwa AS tidak membantu atau ikut serta dalam operasi tersebut, tanpa memberikan detail lebih lanjut.

Kantor berita AFP juga melaporkan bahwa suara ledakan terdengar di Teheran.

Trump Imbau Israel Menahan Diri

Presiden AS Donald Trump sebelumnya dalam konferensi pers mengimbau Israel agar tidak menyerang fasilitas nuklir Iran, dan menyatakan bahwa jika Iran mau berkompromi, AS dan Iran hampir mencapai kesepakatan terkait program nuklir Iran.

Kata Trump kepada wartawan mengenai pembicaraannya dengan Netanyahu: “Saya tidak ingin mereka (Israel) ikut campur, karena saya pikir itu bisa memperburuk situasi.”

Ia menambahkan,  “Meskipun sebenarnya, bisa juga membantu… tapi juga bisa memperburuk.”

Netanyahu: Operasi Akan Berlanjut “Selama Diperlukan”

Dalam pernyataan video, Netanyahu menyebut operasi ini dengan nama sandi “Rising Lion” (Singa Bangkit), dan menegaskan: “Serangan terhadap Iran ini akan berlangsung selama diperlukan, sampai ancaman benar-benar dihilangkan.”

Netanyahu juga menambahkan bahwa mereka:

  • Menargetkan fasilitas utama pengayaan uranium Iran di Natanz.
  • Menyerang program rudal balistik Iran.
  • Menyerang para ilmuwan nuklir Iran yang terlibat dalam penelitian bom nuklir.

Sumber : NTDTV.com 

Iran Tolak Laksanakan Resolusi Nuklir PBB, Ketegangan Timur Tengah Kembali Meningkat

EtIndonesia. Pada  Kamis (12 Juni), Dewan Pengawas Nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan resolusi yang diusulkan oleh Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman. Resolusi tersebut menyatakan bahwa Iran gagal memenuhi kewajiban nuklirnya, dan berpotensi dikenakan sanksi. Iran merespons dengan sikap keras, memicu eskalasi baru ketegangan di Timur Tengah. Sementara itu, Amerika Serikat telah meminta warga dan keluarga personel militernya di kawasan tersebut untuk segera meninggalkan Timur Tengah.

Pada hari yang sama, dewan badan pengawas nuklir PBB secara resmi menyatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam 20 tahun, Iran tidak mematuhi kewajiban nuklirnya, dan mungkin akan menghadapi pemulihan sanksi pada akhir tahun ini. Dalam rancangan resolusi itu, Iran diminta untuk segera memberikan penjelasan atas sejumlah fasilitas nuklir yang belum dilaporkan.

Iran menanggapi dengan tegas, menyatakan akan membangun fasilitas pengayaan uranium baru, dan merencanakan tindakan balasan lainnya.

Pada hari yang sama, Menteri Luar Negeri Jerman, Johann Wadephul mengunjungi Roma dan mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Italia. Dalam konferensi pers bersama, ia menyatakan bahwa Jerman tidak akan membiarkan Iran memiliki senjata nuklir.

“Setiap orang berharap situasi tidak semakin memburuk, tetapi kami tidak akan berdiam diri dan membiarkan Iran memiliki senjata nuklir,” ujarnya. 

Jerman, Inggris, dan Prancis adalah tiga negara Eropa yang menandatangani perjanjian nuklir Iran 2015.

Presiden AS Donald Trump, pada Rabu (11 Juni), menyatakan bahwa personel Amerika sedang ditarik dari Timur Tengah, dan menegaskan bahwa Amerika tidak akan membiarkan Iran memiliki senjata nuklir.

Presiden Trump mengatakan: “Mereka sedang meninggalkan wilayah itu, karena tempat tersebut bisa menjadi sangat berbahaya. Kita lihat saja apa yang akan terjadi. Tapi mereka sedang… kami telah memberitahu mereka untuk pergi, dan kita akan lihat perkembangannya.”

Amerika saat ini bersiap untuk mengevakuasi sebagian personel dari Kedutaan Besar AS di Irak, dan telah mengizinkan keluarga anggota militer meninggalkan kawasan Timur Tengah.

Pada Rabu (11 Juni) malam, Departemen Luar Negeri AS memperbarui saran perjalanan global, dan memerintahkan semua pegawai pemerintah yang tidak dalam tugas darurat untuk meninggalkan wilayah Timur Tengah, karena meningkatnya ketegangan di kawasan tersebut.

Intelijen AS mengindikasikan bahwa Israel sedang bersiap untuk melancarkan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran.

Di hari yang sama, RUU pembubaran parlemen yang diajukan oleh partai oposisi Israel gagal disahkan pada Kamis dini hari. Hal ini dianggap sebagai kemenangan politik besar bagi pemerintahan Netanyahu. (Hui)

Laporan oleh Zhao Fenghua, NTD Television

Protes Anti-Penegakan Imigrasi di AS, Puluhan Orang Ditangkap di Manhattan

Kerusuhan yang meletus di Los Angeles masih berlanjut, dan kini telah menyebar ke 19 negara bagian dan 35 kota di seluruh Amerika Serikat. Menurut laporan media, pada  Sabtu (14 Juni), diperkirakan akan ada aksi protes besar-besaran bertajuk “No Kings” (Menolak Raja) di sekitar 2000 lokasi. Menanggapi hal ini, Presiden Trump mengatakan, “Saya bukan seorang raja.” Sementara itu, Gedung Putih menegaskan bahwa penegakan hukum ditujukan terhadap imigran ilegal pelaku kejahatan kekerasan, dan menjaga hukum dan ketertiban adalah tugas suci pemerintah.

EtIndonesia. Setelah kerusuhan pecah di Los Angeles, demonstrasi juga merebak di 35 kota lainnya di 19 negara bagian. Salah satunya adalah kota Spokane di negara bagian Washington, yang mengikuti jejak Los Angeles dengan memberlakukan jam malam pada Rabu (11 Juni) malam, yang berlangsung hingga Kamis malam.

Pada Sabtu, bertepatan dengan peringatan 250 tahun berdirinya Angkatan Darat Amerika Serikat, diperkirakan akan diadakan unjuk rasa “14 Juni – No Kings” di hampir 2000 lokasi di seluruh AS.

Menurut situs penyelenggara, aksi ini tidak mencakup Washington D.C., dan mereka menyatakan bahwa kegiatan ini bersifat aksi damai non-kekerasan, dan peserta tidak diperbolehkan membawa senjata dalam bentuk apapun.

Terkait aksi ini, Presiden Trump turut memberikan tanggapannya.

Wartawan bertanya: “Unjuk rasa ‘Menolak Raja’ akan digelar di seluruh negeri pada hari Sabtu. Apa tanggapan Anda?”

Presiden AS Donald Trump menjawab: “Saya tidak merasa seperti seorang raja. Saya harus bersusah payah untuk menyelesaikan sesuatu. Kalau saya seorang raja, saya tinggal perintahkan saja. Tapi raja bahkan tidak perlu menunggu persetujuan dari Gubernur California, atau bahkan berbicara dengannya. Tidak, saya bukan raja. Tidak ada raja di sini.”

Pada Rabu sore, ribuan demonstran di Manhattan, New York, turun ke jalan membawa poster untuk memprotes operasi penegakan hukum oleh ICE (Imigrasi dan Bea Cukai Amerika Serikat). Dilaporkan bahwa lebih dari 80 orang ditangkap pada malam harinya karena melempar benda ke arah polisi dan tindakan anarkis lainnya.

Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menyatakan: “Para pelaku kejahatan ini melukai petugas, melempari kendaraan polisi dengan batu, membakar mobil, memblokir jalan tol, dan melempar bom molotov—semua ini karena pemerintah Trump mengusir imigran ilegal pelaku kekerasan dari Los Angeles.”

 “Tugas paling mendasar dari pemerintah adalah menjaga hukum dan ketertiban. Pemerintahan ini memikul tanggung jawab suci itu.”

Pada Kamis (12 Juni), pemerintah federal menggugat negara bagian New York atas kebijakan yang menghalangi ICE melakukan penangkapan di atau dekat gedung pengadilan. Departemen Kehakiman menyatakan bahwa gugatan tersebut bertujuan untuk menantang undang-undang negara bagian yang disebut “Protect Our Courts Act” (Undang-Undang Lindungi Pengadilan Kami). Undang-undang ini dinilai sengaja melindungi imigran ilegal agar tidak ditangkap secara sah di sekitar pengadilan. (Hui)

Laporan oleh Wang Ziyi dan Liu Jiajia untuk NTD Television, Amerika Serikat

PKT Tutupi Kejahatan Pengambilan Organ Secara Hidup-Hidup! Mantan Dokter Tiongkok Datang ke Taiwan Ungkap Kebenaran

Sejak tahun 2000, sejumlah orang dalam dari Tiongkok melarikan diri ke luar negeri untuk mengungkap praktik pengambilan organ secara hidup-hidup dalam skala besar terhadap tahanan hati nurani dan praktisi Falun Gong oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) demi keuntungan ekonomi. Namun demikian, PKT terus menutup-nutupi kejahatan ini dari dunia luar. Baru-baru ini, seorang mantan dokter asal Tiongkok, Zheng Zhi, datang ke Taiwan untuk menghadiri pemutaran film dokumenter berjudul “State Organs” dan membagikan pengalamannya, menyerukan kepada masyarakat Taiwan untuk memahami dan menyebarkan kebenaran ini.

EtIndonesia. Film dokumenter “State Organs” mengungkap praktik sistematis dan besar-besaran pengambilan organ secara hidup-hidup dari tahanan hati nurani dan praktisi Falun Gong oleh PKT demi mencari keuntungan. Salah satu narasumber dalam film ini adalah Zheng Zhi,  matan dokter militer Tiongkok yang pernah terlibat dalam praktik keji ini. Dalam pemutaran film di Kaohsiung, Zheng berharap masyarakat Taiwan bisa menyadari kenyataan sebenarnya tentang PKT.

Zheng Zhi, berkata: “Kali ini saya datang ke Republik Tiongkok Taiwan yang bebas dan demokratis dengan harapan agar setiap keluarga, setiap orang tua, dan setiap anak di Taiwan tidak akan lagi menjadi korban kekejaman pengambilan organ hidup-hidup oleh PKT.”

Dr. Zheng Zhi, kini hidup dalam pengasingan di Kanada, melakukan perjalanan ke Taiwan untuk menghadiri beberapa pemutaran film dokumenter pemenang penghargaan “State Organs” pada 4 -15 Juni 2025. Film tersebut menampilkan kesaksian langsung Zheng sebagai dokter residen di rumah sakit militer Tiongkok.

Anggota Legislatif Taiwan, Hsu Chih-chieh menyampaikan: “Kami menyewa tempat bioskop sebagai bentuk dukungan terhadap film State Organs. Kami juga menyerukan lebih banyak orang untuk melakukan hal yang sama, mendorong penyebaran film ini agar seluruh rakyat Taiwan, bahkan dunia, mengetahui kebiadaban PKT.”

Anggota Legislatif Hung Chieh mengatakan: “Sebagai garda terdepan dalam menentang PKT, kita semua tahu bahwa PKT adalah rezim yang tidak menghormati hak asasi manusia, kejam, dan tidak berperikemanusiaan. Maka hari ini kami berdiri di sini untuk mengungkap kebenaran, dan sangat berterima kasih kepada Dr. Zheng yang bersedia tampil langsung dan membuka mata masyarakat Taiwan akan kenyataan ini.”

Banyak penonton merasa terkejut dan marah setelah menonton film tersebut. Anggota legislatif Hsu Chih-chieh menyampaikan bahwa saat ini sudah banyak negara di dunia yang tengah mendorong legislasi untuk menolak praktik pengambilan organ hidup-hidup, termasuk Taiwan. Ia berharap hal itu bisa menghentikan kejahatan yang dilakukan PKT.

Seorang penonton, yang juga seorang dokter, mengatakan: “Karena saya sendiri adalah seorang dokter, maka etika dalam transplantasi organ adalah hal yang sangat kami perhatikan. Saya juga sangat menghargai pentingnya demokrasi dan kebebasan di sebuah negara, karena setiap nyawa manusia itu unik, dan organ tubuh tidak boleh diperdagangkan seperti barang. Ini adalah sesuatu yang sangat mengerikan.”

Anggota Dewan Kota Kaohsiung, Chen Hui-wen, menambahkan: “Dengan mengungkap kejahatan ini, kami ingin dunia tahu bahwa ini adalah tindakan keji yang benar-benar tidak berperikemanusiaan dari PKT. Kami berharap seluruh dunia bisa bersama-sama mengutuknya.”

Hsu Chih-chieh melanjutkan: “Kejahatan PKT dalam mengambil organ tubuh manusia secara paksa harus dikutuk oleh seluruh dunia. Banyak negara juga sudah mengusulkan atau mengesahkan undang-undang yang menentang praktik ini. Di parlemen Taiwan, saya dan Hung Chieh juga sudah mengajukan rancangan undang-undang untuk menghentikan kekejaman ini di Taiwan.”

Meskipun PKT terus berupaya menutup-nutupi kejahatan pengambilan organ hidup-hidup, berbagai parlemen negara seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Australia telah mengesahkan resolusi untuk mengecam dan menghentikan kekejaman tersebut. Pada tahun 2025, anggota dari kedua partai di DPR dan Senat AS bersama-sama mengajukan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Falun Gong, yang menyerukan penerapan sanksi terhadap pelaku pengambilan organ secara paksa.

“State Organs”, film dokumenter yang disutradarai oleh Raymond Zhang—pemenang Peabody Award—berfokus pada dua keluarga yang mencari kerabat mereka yang hilang di tengah penindasan nasional terhadap keyakinan Falun Gong. Kedua orang yang hilang tersebut merupakan praktisi Falun Gong.

Pada akhir 1990-an, diperkirakan sekitar 70 hingga 100 juta warga Tiongkok mempraktikkan Falun Gong, sebuah kepercayaan yang mengajarkan hidup selaras dengan prinsip universal Sejati-Baik-Sabar. Ketika rezim mulai memberantas Falun Gong, para praktisinya menjadi sasaran dalam rantai pasokan besar-besaran dan sistematis rezim untuk pengambilan organ paksa, menurut para pelapor dan peneliti.

Para penyelenggara pemutaran dokumenter ini di Taiwan menyatakan bahwa selama setahun terakhir, mereka telah menerima lebih dari 100 ancaman kekerasan yang menuntut agar pemutaran film dibatalkan. Zhang dan lainnya menduga ancaman tersebut kemungkinan berasal dari Partai Komunis Tiongkok, dan hal ini menunjukkan sejauh mana rezim tersebut takut topik ini semakin diketahui publik. (Hui)

Laporan oleh Wang Chong-ying dan Li Juan-rong dari NTD Television Asia Pasifik, Kaohsiung, Taiwan.

Foto-foto: Pesawat  Air India Hantam Gedung Fakultas Kedokteran,  265 Orang Tewas

EtIndonesia. Pada 12 Juni waktu setempat, sebuah pesawat milik Air India mengalami kecelakaan fatal tak lama setelah lepas landas—kurang dari satu menit—dan menabrak asrama dokter di kompleks sebuah fakultas kedokteran.

Menurut laporan terbaru, sedikitnya 265 orang dipastikan tewas dalam kecelakaan udara ini. Dari 242 orang di dalam pesawat, hanya satu orang yang selamat, dan sekitar 50–60 mahasiswa kedokteran menjadi korban tewas atau luka-luka.

Harian Hindustan Times pada 13 Juni mengutip pernyataan pejabat kepolisian India, menyatakan bahwa “menurut informasi yang kami terima, sebanyak 265 jenazah telah dibawa ke rumah sakit.” Saat ini, operasi penyelamatan masih berlangsung dan jumlah korban tewas kemungkinan akan terus bertambah.

Seorang pejabat tinggi kepolisian juga mengatakan kepada Reuters bahwa jumlah korban tewas bisa mencapai lebih dari 290 orang. (asr)

Sumber : NTDTV.com

)Penerbangan Air India 171 jatuh di kawasan permukiman dekat Bandara Ahmedabad. Bagian ekor pesawat tertancap ke dalam sebuah gedung. (Foto: Sam Panthaky / AFP via Getty Images)
Penerbangan Air India 171 jatuh di kawasan permukiman dekat Bandara Ahmedabad. Bagian ekor pesawat tertancap ke dalam sebuah gedung.
(Foto: Sam Panthaky / AFP via Getty Images)



Petugas penyelamat bekerja di lokasi kecelakaan pesawat Air India penerbangan 171 yang jatuh di kawasan permukiman dekat bandara di Ahmedabad pada 12 Juni 2025. Pesawat penumpang yang menuju London jatuh pada 12 Juni di kota Ahmedabad, India Barat, dengan 242 orang di dalamnya, kata pejabat penerbangan dalam apa yang disebut maskapai sebagai “kecelakaan tragis”. (Foto oleh SAM PANTHAKY/AFP via Getty Images)
Petugas medis memindahkan jenazah korban ke ambulans setelah Pesawat Air India Penerbangan 171 jatuh di kawasan permukiman dekat bandara di Ahmedabad pada 12 Juni 2025. Pesawat penumpang yang menuju London jatuh pada 12 Juni di kota Ahmedabad, India Barat, dengan 242 orang di dalamnya, kata pejabat penerbangan dalam apa yang disebut maskapai sebagai “kecelakaan tragis”. (Foto oleh SAM PANTHAKY/AFP via Getty Images)




Petugas pemadam kebakaran bekerja di lokasi kecelakaan pesawat Air India penerbangan 171 yang jatuh di kawasan permukiman dekat bandara di Ahmedabad pada 12 Juni 2025. Pesawat penumpang yang menuju London jatuh pada 12 Juni di kota Ahmedabad, India Barat, dengan 242 orang di dalamnya, kata pejabat penerbangan dalam apa yang disebut maskapai sebagai “kecelakaan tragis”. (Foto oleh SAM PANTHAKY/AFP via Getty Images)

20 Jenderal Iran Tewas Diserbu Mossad, Rudal Balistik Iran Bobol Pertahanan Israel!

EtIndonesia. Konflik antara Israel dan Iran kembali memuncak dalam 48 jam terakhir setelah serangan udara besar-besaran dilancarkan Israel ke wilayah Iran. Eskalasi ini juga ditandai dengan keterlibatan militer Amerika Serikat, pernyataan keras Donald Trump, serta reaksi keras dari berbagai negara besar dunia. Berikut adalah laporan lengkap dan mendalam terkait perkembangan terbaru di kawasan Timur Tengah yang kini semakin memanas.

Trump: “Serangan Israel Sangat Luar Biasa, Akan Ada Lebih Banyak Lagi”

Pada 13 Juni, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dalam wawancaranya dengan ABC News secara terbuka memuji aksi militer Israel terhadap Iran. Dia menyebut serangan tersebut sebagai “luar biasa” dan mengingatkan bahwa serangan sejenis akan terus terjadi ke depan.

“Serangan ini luar biasa. Kami telah memberi mereka kesempatan, tapi mereka tidak memanfaatkannya. Iran mendapat pukulan besar—sangat berat. Dan saya peringatkan, ke depan akan ada lebih banyak lagi serangan, bahkan sangat banyak,” ujar Trump tegas dalam wawancara eksklusif.

Operasi Rahasia Mossad di Iran: 20 Jenderal Garda Revolusi Tewas

Di balik serangan udara Israel, diketahui pasukan elit Mossad—badan intelijen dan operasi khusus Israel—telah melancarkan berbagai operasi rahasia di dalam wilayah Iran. Menurut laporan Reuters, setidaknya 20 jenderal tinggi Garda Revolusi Iran tewas dalam operasi senyap ini. Operasi tersebut menargetkan pusat-pusat komando, markas besar militer, hingga jaringan komunikasi strategis Iran.

Serangan Balasan: Rudal Iran Menghantam Jantung Pertahanan Israel

Tak tinggal diam, Iran meluncurkan serangan balasan secara masif. Rudal-rudal Iran menargetkan markas besar Kementerian Pertahanan Israel di Tel Aviv. Militer Amerika Serikat langsung bergerak cepat, dengan sistem pertahanan udara membantu mencegat rudal dan drone yang ditembakkan dari Iran ke wilayah Israel.

Rekaman video yang beredar menunjukkan rudal balistik Iran mampu menembus sistem pertahanan udara Israel dan menghantam area di pusat Tel Aviv, menimbulkan kepulan asap tebal yang menyelimuti langit kota. Gelombang ledakan juga terdengar di wilayah Yerusalem. Serangan beruntun Iran disebut sebagai respons tegas terhadap aksi Israel dan Mossad.

Keterlibatan Amerika Serikat: Militer AS Bantu Intersepsi Rudal Iran

Beberapa pejabat senior AS telah mengonfirmasi bahwa militer Amerika ikut serta membantu pertahanan udara Israel. Dalam aksi malam itu, ratusan rudal dan drone yang ditembakkan Iran ke Israel berhasil dihadang oleh sistem Iron Dome, Patriot, dan sistem pertahanan sekutu. Militer AS, menurut sumber CNN dan Fox News, mengerahkan dua kapal perusak Angkatan Laut, USS Sullivan dan USS Arleigh Burke, yang kini siaga penuh di Mediterania Timur.

Juru bicara keamanan AS menegaskan bahwa saat ini prioritas Washington adalah melindungi ratusan ribu warga Amerika dan aset vital AS di Israel.

Korban dan Kerusakan: Fasilitas Militer Iran dan Israel Sama-Sama Terpukul

Serangan udara Israel ke Iran pada 13 Juni menargetkan lebih dari 100 sasaran, termasuk fasilitas nuklir utama di Natanz, sejumlah pangkalan militer strategis, dan pusat riset senjata nuklir. Enam pejabat tinggi Iran, termasuk Kepala Staf Angkatan Bersenjata dan beberapa ilmuwan nuklir, dilaporkan tewas. Fasilitas pengayaan uranium di Natanz mengalami kerusakan parah, terutama di bagian bawah tanah yang menjadi pusat aktivitas nuklir Iran.

Di sisi Israel, serangan balasan Iran menimbulkan kerusakan pada beberapa instalasi pertahanan dan menyebabkan sedikitnya 35 korban luka—satu di antaranya perempuan dalam kondisi kritis. Data dari organisasi layanan darurat Magen David Adom menyebutkan tujuh warga luka-luka di Tel Aviv dan Ramat Gan akibat jatuhnya puing-puing rudal yang dicegat.

Dukungan dan Koordinasi Internasional: AS, Prancis, Jerman, dan Sekutu Lainnya

Pascaserangan, negara-negara sekutu Israel langsung bereaksi. Presiden Prancis, Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman, Olaf Scholz menegaskan dukungan atas hak Israel membela diri, namun tetap menyerukan kedua belah pihak menahan diri agar ketegangan tidak meluas.

“Prancis akan selalu mendukung hak dan eksistensi Israel untuk membela diri. Namun, kami berharap kedua pihak mampu menahan diri demi stabilitas kawasan,” tegas Macron dalam konferensi pers di Paris.

Kanselir Jerman menambahkan, keamanan komunitas Yahudi dan warga Iran di Jerman akan dijamin sepenuhnya. Sementara, Perdana Menteri Swedia mengingatkan potensi terorisme yang bisa meluas hingga ke Eropa, dan mendesak agar penyelesaian masalah ditempuh lewat diplomasi.

Langkah-Langkah Darurat dan Penutupan Wilayah Udara Timur Tengah

Eskalasi konflik menyebabkan empat negara di Timur Tengah—Israel, Iran, Irak, dan Yordania—menutup total wilayah udara mereka. Data situs pelacakan penerbangan internasional menunjukkan aktivitas penerbangan di atas kawasan ini praktis lumpuh. Kedutaan besar Philipina di Israel bahkan sudah mengeluarkan peringatan kepada warganya untuk waspada dan siap mengungsi.

Sementara itu, militer Iran memberlakukan larangan semua kapal asing melintasi Selat Hormuz—jalur pelayaran energi paling vital dunia. Langkah ini meningkatkan risiko gangguan pada suplai minyak global.

Reaksi dan Pernyataan Para Tokoh Dunia

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dalam pidatonya menyampaikan pesan khusus kepada rakyat Iran: “Rakyat Iran yang pemberani, cahaya kalian akan mengalahkan kegelapan. Sejak zaman Cyrus Agung, Israel dan Iran adalah sahabat. Rebutlah kembali kebebasan kalian dari rezim penguasa.”

Sementara itu, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, melalui media resmi menyerukan perlawanan total dan bersumpah akan menghancurkan “rezim Israel.” Media Tiongkok menyoroti retorika Khamenei sebagai upaya memperkuat posisi di tengah perang.

Di platform media sosial Trump, tidak ada unggahan baru selain satu postingan terkait kerusuhan, menimbulkan banyak spekulasi tentang sikap diam Presiden AS ini di tengah eskalasi besar.

Analisis Strategis: Diplomasi AS dan Serangan Israel

Analis industri pertahanan menyimpulkan bahwa strategi ambigu Amerika Serikat selama ini, yang mengedepankan jalur diplomasi sekaligus mempersiapkan serangan militer, memberi ruang gerak bagi Israel untuk melancarkan serangan mendadak. Selama negosiasi AS-Iran berlangsung di Oman, Israel diam-diam melakukan serangan untuk mendapatkan posisi strategis.

The Wall Street Journal melaporkan bahwa pada tanggal 15, diplomat AS dan Iran akan kembali bertemu di Oman untuk perundingan babak baru, namun kepercayaan antar pihak kini berada di titik terendah.

Reaksi Dunia: Tiongkok dan Rusia

Tiongkok, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri, secara resmi menolak aksi militer Israel ke Iran. Beijing menyerukan semua pihak menahan diri dan menawarkan diri sebagai mediator dalam meredakan konflik. Sementara itu, Rusia juga menyerukan penghentian kekerasan dan mendorong dialog.

Situasi di Lapangan: Mobilisasi Militer dan Kesiagaan Maksimal

Seluruh aktivitas masyarakat di Israel dihentikan. Sekolah, kantor, dan area publik ditutup. AS mengurangi staf diplomatik di Irak dan menempatkan sekitar 40.000 personel militer di kawasan Timur Tengah—lengkap dengan sistem pertahanan udara dan kapal perang.

Seorang pejabat senior militer Israel menegaskan: “Ini bukan sekadar operasi militer, melainkan perang yang sangat terencana dari jarak 1.500 kilometer.”

Potensi Perang Besar dan Ketidakpastian Regional

Situs berita Israel, Ynet News, memprediksi perang antara Israel dan Iran dapat berlangsung minimal dua pekan ke depan. Koordinasi resmi antara Pemerintah AS dan Israel menunjukkan kemungkinan keterlibatan militer AS secara langsung, terutama jika serangan balasan Iran meningkat dan mengancam warga serta aset Amerika di Israel.

Kesimpulan: Kawasan di Ambang Krisis Besar

Dengan saling serang yang kini melibatkan aset dan personel militer AS, situasi di Timur Tengah berada di ambang krisis regional yang bisa menjalar ke konflik global. Seluruh dunia kini menanti langkah berikutnya, sementara diplomasi dan kekuatan militer terus berpacu di arena geopolitik paling panas tahun ini.

Israel Serang Fasilitas Nuklir Iran: Bursa Saham Global Anjlok, Harga Minyak Naik Lebih dari 7%

Pada  Jumat (13 Juni), pasar global terguncang akibat serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran. Bursa saham anjlok dan harga minyak melonjak lebih dari 7%. Para investor berbondong-bondong beralih ke aset aman seperti emas dan franc Swiss.

EtIndonesia. Serangan terhadap fasilitas nuklir Iran memicu respons pasar yang cepat. Hingga pukul 00:55 GMT, indeks berjangka E-mini S&P 500 Amerika turun 1,5%, sementara indeks berjangka Nasdaq turun 1,7%. Indeks Nikkei Jepang turun 1,4%, dan indeks saham gabungan Korea Selatan (KOSPI) turun 1,2%.

Sementara itu, harga minyak naik tajam, melampaui 7%, mencapai level tertinggi dalam beberapa bulan terakhir. Ketegangan yang meningkat tajam di Timur Tengah memicu kekhawatiran akan potensi gangguan pasokan minyak.

Hingga pukul 01:42 GMT:

  • Harga minyak mentah Brent naik 5,29 dolar AS, menjadi 74,65 dolar AS per barel (naik 7,63%), sempat menyentuh 75,32 dolar AS, tertinggi sejak 2 April.
  • Minyak mentah WTI (West Texas Intermediate) AS naik 5,38 dolar AS, menjadi 73,42 dolar AS per barel (naik 7,91%), sempat menyentuh 74,35 dolar AS, tertinggi sejak 3 Februari.

“Serangan Israel terhadap Iran semakin meningkatkan premi risiko,” kata Saul Kavonic, analis senior energi dari MST Marquee kepada Reuters. 

Namun, ia juga menyatakan bahwa “konflik perlu meningkat ke tingkat di mana Iran membalas dengan menyerang infrastruktur minyak di kawasan sebelum pasokan minyak benar-benar terdampak.”

Ia menambahkan bahwa dalam situasi ekstrem, Iran bisa saja mengganggu pasokan hingga 20 juta barel per hari melalui serangan terhadap infrastruktur atau dengan membatasi jalur pengiriman di Selat Hormuz.

Meningkatnya ketegangan di Timur Tengah kembali mendorong investor mencari aset aman. Harga emas naik 1% pada hari Jumat, menjadi sekitar 3.419 dolar AS per ons.

Nilai tukar:

  • Franc Swiss naik sekitar 0,4% terhadap dolar AS, menjadi 0,8072;
  • Yen Jepang naik 0,3%, menjadi 143,06;
  • Euro melemah 0,3%, menjadi 1,1553 dolar AS.

Pada Jumat pagi, Israel melancarkan serangan terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa tujuan serangan tersebut adalah untuk menghancurkan infrastruktur nuklir Iran, pabrik rudal balistik, dan sejumlah besar kapabilitas militer lainnya.

Israel juga mengumumkan status darurat nasional, guna menghadapi potensi serangan balasan dari Iran berupa rudal dan drone.

Menurut kantor berita resmi Iran Nour News, terdengar ledakan di dekat fasilitas nuklir di timur laut Teheran pada Jumat dini hari. Sistem pertahanan udara Iran dilaporkan berada dalam siaga penuh.

Seorang pejabat senior Iran mengatakan kepada Reuters bahwa para pemimpin Iran sedang mengadakan pertemuan tingkat tinggi terkait keamanan nasional.

Priyanka Sachdeva, analis pasar senior dari Phillip Nova, mengatakan kepada Reuters, “Pengumuman Iran untuk siaga penuh dan ancaman balasan tidak hanya meningkatkan risiko gangguan pasokan, tapi juga bisa meluas ke negara-negara penghasil minyak lain di sekitarnya.”

Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio pada Jumat menyatakan bahwa serangan Israel terhadap Iran adalah “aksi sepihak”, menegaskan bahwa Washington tidak terlibat, dan mendesak Iran untuk tidak menyasar kepentingan atau personel Amerika di kawasan tersebut. (Hui)

Sumber : NTDTV.com

Perang Baru, Peta Dunia Berubah: Siapa Diuntungkan, Siapa Dikorbankan?

EtIndonesia. Media militer resmi Partai Komunis Tiongkok (PKT) tiba-tiba menunjukkan tanda-tanda adanya “perhitungan” atau upaya mempertanggungjawabkan serangkaian kebijakan yang diambil oleh Xi Jinping. Sejumlah laporan investigatif mulai beredar, membeberkan berbagai titik balik yang menjadi kunci hilangnya pengaruh dan kekuasaan Xi di tengah krisis global yang terus berkembang. Situasi ini diyakini menjadi titik awal dari perubahan besar dalam hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok.

Perang Timur Tengah Memanas: Israel Serang Iran, Dunia di Ambang Krisis Baru

Di tengah ketegangan yang terus meningkat di kawasan Timur Tengah, dunia dikejutkan oleh langkah dramatis Israel yang, pada dini hari 13 Juni, melancarkan serangan udara terkoordinasi ke berbagai sasaran strategis di Iran. Serangan ini dinilai sebagai salah satu operasi militer terbesar dan paling berani Israel dalam beberapa dekade terakhir.

Bagi para analis geopolitik, situasi ini memberikan celah penting bagi Donald Trump— Presiden AS yang kembali mendominasi panggung politik dunia—untuk menekan Tiongkok melalui jalur baru. Dalam perundingan intens antara AS dan Tiongkok yang digelar di London, terlihat jelas bagaimana Beijing berusaha menekan komunitas global dengan ancaman pemanfaatan pasokan logam tanah jarang sebagai senjata diplomasi dan ekonomi. Namun, strategi ini dinilai hanya efektif dalam jangka waktu singkat.

Di saat yang sama, baik Rusia maupun Ukraina kini cenderung merapat ke AS dalam urusan logam tanah jarang. Sejak Maret lalu, Presiden Rusia, Vladimir Putin telah secara terbuka menawarkan kerjasama di bidang mineral strategis tersebut kepada AS. Di sisi lain, Ukraina juga telah menandatangani perjanjian pertambangan logam tanah jarang dengan Washington.

Strategi Trump: Redam Perang Dagang, Bangun Rantai Pasok Baru

Trump tampaknya memilih untuk meredakan eskalasi perang dagang dengan Tiongkok—sementara fokus membangun kembali rantai pasok tanah jarang yang lebih stabil. Para pengamat menilai, jika AS mampu mengamankan posisi di Iran melalui manuver strategis Israel, maka salah satu “lengan” penting Tiongkok dalam geopolitik dunia akan benar-benar diputus.

Sebelum eskalasi terbaru, Israel telah berhasil menumpas sejumlah kekuatan yang berafiliasi dengan Iran—termasuk Hamas di Gaza, kelompok milisi di Pulau Mutiara, dan pemberontak Houthi di Yaman. Semua keberhasilan ini membuka jalan strategis bagi Israel untuk akhirnya melakukan serangan langsung ke jantung kekuatan Iran. Trump disebut-sebut memberikan “lampu hijau” bagi langkah Israel tersebut.

Pada dini hari 13 Juni, Israel melancarkan Operasi Rising Lion —sebuah operasi militer besar-besaran yang menggabungkan serangan rudal, drone, dan jet tempur ke sejumlah target di Iran. Serangan udara besar pertama dilaporkan menghantam kawasan sekitar Teheran tepat pukul 3 pagi. Cuplikan video di media sosial menampilkan langit malam yang diterangi kobaran api dan asap pekat membumbung tinggi, menandakan dampak serangan yang sangat dahsyat.

Hanya dalam beberapa jam, Angkatan Udara Israel tercatat telah melakukan sedikitnya lima gelombang serangan berturut-turut, menargetkan instalasi-instalasi vital Iran.

Fasilitas Uranium Natanz Lumpuh, Tiga Tokoh Kunci Iran Jadi Sasaran

Pejabat dari Badan Energi Atom Iran mengkonfirmasi pada 13 Juni bahwa fasilitas pengayaan uranium Natanz mengalami kerusakan parah. Fasilitas ini adalah pusat pengayaan uranium terbesar dan paling vital di Iran—bukan reaktor nuklir konvensional biasa, melainkan jantung dari seluruh program nuklir Iran yang selama ini menjadi sorotan dunia. Natanz secara historis memang telah lama menjadi target utama operasi rahasia Israel dan sekutunya.

Selain Natanz, terdapat tiga tokoh kunci Iran yang dilaporkan menjadi target langsung:

  • Hossein Salami – Komandan Garda Revolusi Iran (IRGC)
  • Mohammad Bagheri – Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran
  • Brigjen Amir Ali Hajizadeh – Komandan Pasukan Dirgantara IRGC

Kabar yang beredar menyebutkan bahwa ketiganya menjadi korban “serangan pemenggalan kepala” (decapitation strike) oleh Israel—yaitu operasi militer terarah untuk membunuh para tokoh utama musuh. Netizen internasional pun menyoroti kehebatan Israel dalam melaksanakan pembunuhan presisi terhadap target-target penting. Salah satu gelombang serangan Israel juga dilaporkan secara khusus menargetkan sistem radar serta pertahanan udara yang tersebar di seluruh Iran, mengakibatkan kebutaan sementara sistem pertahanan Iran dari serangan susulan.

Respons Amerika Serikat dan Ancaman Balasan Iran

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak terlibat dalam serangan langsung ke Iran dan memperingatkan Teheran agar tidak mencoba membalas kepada AS. Namun, Iran tetap bersumpah akan membuat Israel dan Amerika membayar mahal atas agresi ini. Pernyataan keras dari berbagai pejabat Iran mengindikasikan bahwa kawasan Timur Tengah masih jauh dari stabilitas, dan justru akan memasuki fase krisis yang lebih eksplosif dalam waktu dekat.

Dalam pidato nasional di televisi, Letjen Emil Zamir selaku Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel memperingatkan bahwa respons Iran kali ini bisa sangat berbeda dari yang sebelumnya.

“Bangsa Yahudi kini kembali berada dalam perang untuk kelangsungan hidup. Kita sedang menghadapi pertempuran bersejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya,” tegasnya.

Keseimbangan Kekuatan Militer: Siapa Lebih Unggul?

Jika berbicara soal jumlah rudal, Iran memang punya keunggulan numerik—rudal mereka mampu menjangkau seluruh wilayah Israel, bahkan berpotensi membanjiri sistem pertahanan udara lawan. Namun, dalam hal akurasi, teknologi, dan presisi, rudal Iran masih tertinggal jauh dari Israel. Sistem pertahanan udara milik Iran sendiri juga terbukti belum mampu menahan serangan jet tempur Israel yang menggunakan teknologi stealth mutakhir.

Selain itu, Israel memiliki cadangan “senjata pamungkas”: kekuatan nuklir yang menjadi deterrent utama di kawasan.

Kini, perhatian dunia terfokus pada satu pertanyaan besar: Jika Iran membalas, apakah Amerika Serikat akan turun tangan langsung membantu Israel? Skenario inilah yang tengah dicermati oleh seluruh pemangku kepentingan global.

Beberapa analis menyebut, serangan Israel kali ini melibatkan penggunaan jet tempur F-35 dengan misi membunuh para ilmuwan nuklir serta tokoh-tokoh militer Iran secara terarah. Langkah ini menandai perubahan besar dalam pola hubungan AS-Israel sejak era Trump. Jika konflik terus bereskalasi, tidak menutup kemungkinan AS akan kembali menambah kekuatan militer secara besar-besaran di kawasan Timur Tengah.

Namun, menurut Su Tzu-yun, Direktur Institut Strategi dan Sumber Daya Pertahanan, kemungkinan besar konflik ini tidak akan berlangsung lebih dari dua hingga tiga hari, meski tetap berpotensi memicu perubahan geopolitik besar. Dosen Ilmu Politik Universitas Nasional Taiwan, Chen Shih-min, juga menyampaikan analisis serupa tentang kemungkinan perkembangan situasi.

Dampak Terhadap Tiongkok: Kegelisahan di Beijing dan Ketakutan Para Jenderal

Krisis di Timur Tengah ini tidak hanya membuat Iran dan Israel waspada, namun juga mengguncang Beijing. Banyak netizen bertanya-tanya, bagaimana mungkin begitu banyak jenderal tinggi Iran bisa terdeteksi dan dilenyapkan dalam satu malam—apakah intelijen Barat sudah sedemikian canggih? Kekhawatiran ini kini juga menghantui para jenderal Tiongkok, yang mendadak merasa rentan di tengah ketidakpastian situasi global. Bahkan, ada yang berseloroh, Xi Jinping pun mungkin mulai merasa “dingin di sauna” melihat perkembangan situasi.

Di sisi lain, pukulan terhadap Iran berpotensi memecah konsentrasi strategi Beijing—terutama karena Tiongkok sangat bergantung pada pasokan minyak dari Iran. Jika rantai pasok minyak terganggu, strategi pertahanan dan ekspansi militer Beijing bisa menjadi berantakan.

Lebih jauh lagi, serangkaian bocoran informasi dari internal Partai Komunis Tiongkok mengindikasikan bahwa di dalam negeri sendiri, sedang berlangsung perubahan besar. Militer dan elite partai kini sibuk dengan agenda masing-masing, menambah ketidakpastian di tengah pusaran krisis global.