EpochTimesId – Pemimpin oposisi Rusia, Alexei Navalny dilarang untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden tahun depan. Pejabat komisi pemilihan umum pusat Rusia awal pekan kemarin memutuskan dia tidak memenuhi syarat untuk ambil bagian dalam Pilpres, karena status hukuman penjara yang ditangguhkan.
Keputusan komisi pemilihan pusat tersebut sebelumnya sudah diprediksi banyak kalangan. Sebab, pejabat pemilihan telah berulang kali menyatakan bahwa Navalny tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan.
Sebanyak 12 dari 13 komisioner memilih untuk melarang Navalny menjadi kandidat calon presiden. Seorang anggota memilih abstain, karena adanya kekhawatiran akan kemungkinan benturan kepentingan.
Navalny dalam berbagai survei cukup diunggulkan untuk mengalahkan Vladimir Putin dalam pemilihan presiden Maret 2018. Pria 41 tahun itu mengatakan akan mengajukan banding atas keputusan komisi pemilihan pusat. Dia juga menyerukan kepada para pendukungnya untuk memboikot pilpres dan menggelar aksi unjuk rasa, jika dia tetap dijegal.
“Kami tahu ini bisa terjadi, jadi kami memiliki rencana yang sangat jelas. Kami mengumumkan boikot pemilihan. Proses di mana kita dipanggil untuk berpartisipasi bukanlah pemilihan yang sesungguhnya. Ini hanya akan menampilkan Putin dan kandidat yang telah dipilihnya secara pribadi,” kata Navalny dalam rekaman video, setelah keputusan komisi pemilihan diumumkan.
Navalny mengatakan bahwa dia akan menggunakan markas kampanyenya di seluruh Rusia untuk mendukung boikot dan memantau jumlah pemilih pada hari pemungutan suara, 18 Maret tahun depan.
Survei terakhir menunjukkan bahwa Putin yang telah mendominasi lanskap politik Rusia selama 17 tahun terakhir, siap dipilih kembali. Ini akan membuat politisi 65 tahun itu memenuhi syarat untuk menjalani enam tahun lagi masa jabatan Presiden sampai 2024, saat dia berusia 72 tahun.
Pendukungnya memuji Putin sebagai sosok ‘Ayah Negara’ yang telah memulihkan kebanggaan nasional. Julukan itu muncul diantaranya setelah dia memperluas pengaruh global Moskow dengan intervensi di Suriah dan Ukraina.
Navalny mengatakan bahwa dukungan Putin sengaja dilebih-lebihkan dan diskenariokan secara artifisial oleh media negara yang bias dan sistem yang tidak adil. Dia mengatakan bahwa dia bisa mengalahkan putin dalam sistem pemilihan yang adil, sebuah pernyataan yang menurut pendukung Putin sangat menggelikan.
Sebelum komisi mengeluarkan keputusan, Navalny, telah meminta agar diizinkan ikut serta dalam pemilihan presiden. Pidatonya tersebut justru membuat pejabat komisi pemilihan marah.
Dalam sebuah perdebatan panas, dia mengatakan bahwa kepercayaan para pemilih Rusia dalam sistem tergantung pada keseimbangan.
“Jika Anda tidak mengizinkan saya berlari, Anda mengambil keputusan melawan jutaan orang yang menuntut agar Navalny ambil bagian,” katanya, merujuk pada dirinya sendiri.
“Anda bukan robot, Anda hidup, bernafaslah seperti manusia. Anda adalah tubuh yang independen … untuk sekali dalam hidup Anda, lakukan hal yang benar,” katanya.
Pendukungnya lalu bertepuk tangan meriah. Namun, para komisioner tidak bergeming.
“Kami berbicara tentang hukum dan mematuhi hukum,” ujar Boris Ebzeev, salah satu komisioner.
Ebzeev mengatakan bahwa tidak mungkin ada keraguan sedikit pun bahwa Navalny tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri. Sebuah referensi mengenai konstitusi Rusia yang melarangnya berpartisipasi dalam pemilihan umum, karena hukuman yang ditangguhkan terkait dengan kasus penggelapan.
Navalny sendiri sudah berulang kali membantah bahwa dia melakukan kesalahan. Dia mengatakan bahwa kasus yang menjeratnya bermuatan politik.
Ada beberapa spekulasi sebelum keputusan di antara oposisi yang mungkin mengijinkan Navalny mengikuti Pilpres. Diantaranya adalah menarik minat pemilih untuk menggunakan hak pilih.
Kremlin sendiri memiliki kekhawatiran bahwa rakyat Rusia akan enggan untuk mendatangi tempat pemungutan suara. Pemilih yang apatis terhadap sistem pemilu diperkirakan tidak akan mau repot-repot untuk memilih.
Navalny telah dipenjara tiga kali tahun ini. Dia dituduh melanggar hukum dengan berulang kali mengatur rapat umum dan demonstrasi. (Vladimir Soldatkin dan Andrew Osborn/Reuters/The Epoch Times/waa)