JAKARTA – Langkah rezim Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang mencoba mengambil peranan termasuk sebagai juru runding di Timur Tengah dinilai tak berpengaruh secara signifikan. Tak hanya ketika meletusnya perang Israel-Hamas, pada periode sebelumnya petinggi PKT juga kerap bertandang ke Timur Tengah dalam berbagai misi seperti terkait konflik antara Iran dan Arab Saudi. Pasalnya, negara-negara Arab masih melihat Amerika Serikat sebagai kekuatan utama dalam sektor keamanan.
“Negara-negara Arab masih melihat Amerika sebagai partner keamanan, belum melihat China (Tiongkok) sebagai faktor yang signifikan,” kata Direktur Studi China-Indonesia, Center of Economic and Law Studies (Cellios) Muhammad Zulfikar Rakhmat di Jakarta, Rabu (22/11/2023).
Pernyataan tersebut disampaikannya usai menjadi narasumber dalam pelatihan jurnalisme dengan tema “Pengaruh Resiliensi Jurnalis atas Strategi Media China dan pengaruhnya” yang diselenggarakan oleh Cellios Indonesia bekerjasama dengan Freedom House. Turut hadir sebagai pembicara secara daring Sarah Cook selaku Penasehat senior untuk Tiongkok di Freedom House dan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) Indonesia, Sasmito Madrin.
Menurut dia, tindakan yang dilakukan pemerintahan Tiongkok di Timur Tengah sudah berlangsung dalam jangka lama terutama dalam konflik Israel-Palestina. Misalnya, pada 2013 Tiongkok juga pernah menyampaikan proposal perdamaian antara Palestina-Israel. Sedangkan, proposal yang disampaikan saat ini tidak jauh berbeda dengan proposal sebelumnya.
Apalagi, kata dia, negara-negara Arab dalam kondisi saat ini masih belum melihat Tiongkok sebagai partner alternatif dalam isu keamanan dibandingkan dengan Amerika Serikat yang masih dipandang sebagai aktor utama.
“Saya tidak melihat China bisa berperan penting di dalam konflik Israel- Palestina. Hanya saja ada karakter-karakter yang mana negara-negara Arab melihat China sebagai potensi, alasannya mereka capek lah dengan peran AS di sana,” jelasnya.
Lebih jauh lagi, rezim PKT memiliki tujuan dan kepentingannya sendiri ketika mencoba memperluas pengaruhnya kepada sejumlah kawasan. Tujuannya adalah memperdalam kepentingan perekonomiannya.
“Kepentingannya lebih pragmatis untuk memastikan bahwa kondisi wilayah stabil untuk investasinya,” jelasnya.
Menurut Zulfikar, langkah otoritas Tiongkok dikarenakan menilai kawasan Timur Tengah memiliki peranan yang penting dalam proyek Belt & Road Initiative (BRI). Apalagi, Timur Tengah sebagai sumber daya energi, energi dependensi atau ketergantungan energi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah.
Meski demikian, soal infiltrasi dan pengaruh yang ditancapkan oleh rezim Partai Komunis Tiongkok (PKT) di Timur Tengah sudah membuat negara-negara Arab bungkam soal penindasan yang dialami oleh etnis Uighur di Xinjiang.
“Negara-negara Timur Tengah ini perannya China besar, kalau di sana sentimen anti Amerika besar, China dinilai alternatif, apapun yang dibilang mereka dengar, China juga dianggap sebagai pasar yang besar,” jelasnya. (asr)