Volume Transaksi M&A yang Melibatkan Institusi Tiongkok Turun 45% pada Paruh Pertama Tahun 2024  

  oleh Chen Ting

Nilai transaksi merger dan akuisisi (M&A) yang melibatkan institusi Tiongkok pada paruh pertama tahun ini telah turun sebesar 45% YoY (year-on-year) karena kemerosotan ekonomi yang terjadi di Tiongkok dan imbas dari otoritas komunis yang memperketat pelaksanaan “Undang-Undang Kontra-spionase”.

Pada Selasa (30 Juli) “Nikkei Asia” dengan mengoleksi data dari London Stock Exchange Group (LSEG) memperlihatkan, bahwa dari  Januari hingga Juni tahun ini, total nilai transaksi M&A yang melibatkan perusahaan Tiongkok adalah sekitar USD.96 miliar, yang menunjukkan terjadi penurunan sebesar 45% YoY, dan penurunan sebesar 80% dari puncaknya sekitar USD.470 miliar pada bulan Juli hingga Desember 2015.

Data menunjukkan bahwa jika kita mengambil hitungan setengah tahun sebagai patokan, merger dan akuisisi lintas batas yang melibatkan institusi Tiongkok terus menurun sejak paruh pertama tahun 2022. Transaksi M&A yang melibatkan institusi Tiongkok pada paruh pertama tahun ini (2024) hanya menyumbang 8% dari total transaksi global, jauh lebih rendah dibandingkan 23% pada paruh kedua tahun 2015.

Pada saat yang sama, menurut “Laporan M&A Tengah Tahun 2024” yang dirilis oleh Bain & Company (tautan) pada awal bulan ini, jumlah total transaksi M&A global pada paruh pertama tahun ini telah mengalami peningkatan sebesar 21% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Hal ini menunjukkan bahwa merger dan akuisisi yang terkait dengan perusahaan Tiongkok tidak sejalan dengan pemulihan transaksi global.

Penurunan paling signifikan terjadi pada akuisisi perusahaan Tiongkok oleh perusahaan asing. Transaksi terkait turun 56% menjadi bernilai USD.8,5 miliar, ini adalah angka terendah sejak merebaknya epidemi pada tahun 2020. Jika akuisisi perusahaan asing oleh perusahaan Tiongkok juga dimasukkan ke dalam hitungan, maka total volume transaksi menjadi turun 65% atau bernilai USD.20 miliar.

Analisis “Nikkei Asia” menunjukkan bahwa salah satu penyebab penurunan volume transaksi adalah lesunya perekonomian Tiongkok.

Banyak ahli percaya bahwa data ekonomi resmi Partai Komunis Tiongkok mungkin dipercantik dan dibumbui. Meski begitu, indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur Tiongkok pada Juni berada di bawah 50, yang sudah terjadi berturut-turut selama 2 bulan. Menurut data Biro Statistik Tiongkok, 50 adalah garis batas yang membedakan pertumbuhan dari kontraksi.

Industri real estat Tiongkok telah mengalami penurunan jangka panjang, ditambah dengan lesunya permintaan domestik, dan terus menghadapi tekanan deflasi. Dibandingkan dengan negara lain, perusahaan asing melihat manfaat untuk berekspansi di pasar Tiongkok terus berkurang.

“Memburuknya perekonomian Tiongkok telah mempersulit perusahaan memprediksi target keuntungan, membuat investor ragu untuk menginvestasikan dananya”, kata Yoshio Tsutsusushio, mitra konsultan di PwC.

“Nikkei Asia” juga menunjukkan bahwa hambatan lain terhadap transaksi ini adalah dampak dari otoritas memperketat penerapan “Undang-Undang Kontra-spionase”.

1 Juli menandai ulang tahun pertama PKT menerapkan Undang-Undang Kontra-spionase yang baru direvisi. Selama setahun terakhir, investor asing telah kehilangan kepercayaan terhadap pasar Tiongkok, sedangkan Undang-Undang Kontra-Spionase yang tidak jelas telah membuat perusahaan asing bingung apa yang harus dilakukan. akhirnya mereka memilih hengkang .

Hiroshige Nakagawa, pengacara di “Anderson Mori & Tomotsune”, mengatakan kepada “Nikkei Asia”, bahwa beberapa karyawan perusahaan riset dan perusahaan lain yang diandalkan investor asing justru ditangkap oleh pihak berwenang Tiongkok, hal ini jelas akan “menciptakan hambatan psikologis bagi investor asing untuk memasuki Tiongkok”

Sebelumnya, analisis lain menunjukkan bahwa strategi “pengurangan risiko” negara-negara Barat terhadap Tiongkok dan tanggapan mereka terhadap kebijakan ekonomi PKT yang non-pasar telah meningkatkan ketidakpastian di pasar Tiongkok. 

Saat ini, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Barat semuanya berharap untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap komoditas Tiongkok, meningkatkan blokade terhadap teknologi-teknologi utama, dan memperkuat pemeriksaan terhadap akuisisi industri-industri utama oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok.

Yoshio Tsutsushio memperkirakan bahwa seiring dengan semakin dekatnya pemilu AS dan ketidakpastian mengenai prospek perdagangan AS – Tiongkok, maka jumlah transaksi M&A lintas batas yang terkait dengan institusi Tiongkok kemungkinan besar tidak akan mengalami pemulihan yang signifikan. (sin)