Pakar Minta KPPU Lebih Jeli Selesaikan Aduan Terkait RPM

JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) didesak untuk lebih cermat dalam meneliti laporan yang berhubungan dengan Resale Price Maintenance (RPM). Sebab, meskipun praktik RPM sering kali dianggap negatif, penerapannya tidak selalu merugikan, bahkan dapat memberikan dampak positif bagi pasar.

“Pada 2007, Mahkamah Agung Amerika Serikat menolak anggapan bahwa RPM otomatis melanggar hukum, dengan alasan bahwa dalam beberapa situasi, penerapannya justru lebih efisien dan tidak melanggar aturan,” ujar Pakar Persaingan Usaha, Ningrum Natasya Sirait.

Menurut Ningrum, sebelum putusan tersebut, RPM di Amerika Serikat dianggap sepenuhnya bertentangan dengan hukum antimonopoli. Namun, setelah itu, penerapan RPM di Amerika dianalisis dengan pendekatan “rules of reason”, yang mempertimbangkan alasan di balik penerapannya.

Ia menekankan pentingnya bagi KPPU untuk memahami alasan dan konteks penerapan RPM sebelum mengambil keputusan. “KPPU tidak bisa hanya mengandalkan unsur-unsur formal pelanggaran hukum saja untuk menyatakan suatu tindakan bersalah. Perlu ada kajian mendalam mengapa perusahaan menerapkan RPM,” jelas Ningrum.

Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) ini juga menekankan bahwa KPPU perlu mengidentifikasi siapa yang dirugikan dari penerapan RPM tersebut dan apa motif yang melatarbelakanginya. Persaingan usaha, katanya, memiliki dua aspek utama yaitu hukum dan ekonomi, sehingga analisis harus komprehensif.

“Memang ada larangan eksplisit di Pasal 8 UU No. 5/1999, tetapi yang saya harapkan adalah ketelitian KPPU dalam mengevaluasi apakah RPM benar-benar melanggar secara absolut atau tidak. Harus dipahami siapa yang dirugikan oleh kebijakan tersebut,” tambahnya.

Ningrum juga menegaskan bahwa RPM dapat memberikan manfaat bagi konsumen. Oleh karena itu, keputusan untuk menyatakan pelaku usaha bersalah harus dilihat berdasarkan tinjauan yang menyeluruh dari sisi hukum dan ekonomi.

Sementara itu, Deputi Bidang Kajian dan Advokasi KPPU, Taufik Ariyanto, mengakui bahwa RPM merupakan praktik yang kontroversial dan masih menjadi perdebatan di banyak negara. Meskipun begitu, ia mengungkapkan bahwa kasus sengketa terkait RPM sangat jarang terjadi di Indonesia.

Menurut Taufik, salah satu keuntungan dari RPM adalah pengendalian harga dalam jalur distribusi, yang memastikan konsistensi harga dari produsen ke konsumen. Namun, di sisi lain, RPM juga berpotensi menimbulkan kerugian, seperti menghambat persaingan antar pengecer.

“KPPU harus memastikan bahwa manfaat dari RPM lebih besar daripada kerugiannya,” tegas Taufik.

Ia menambahkan bahwa RPM adalah praktik umum di Indonesia, di mana produsen berusaha menjaga standar layanan, after sales, serta harga yang wajar di tingkat konsumen. Namun, ia mengingatkan, kebijakan RPM harus dilakukan dalam batas-batas aturan persaingan usaha yang berlaku.

“Selama RPM tidak memicu perang harga yang tidak terkontrol, terutama dalam persaingan antar pengecer untuk merek yang sama, maka praktik ini tidak menjadi masalah,” tutup Taufik.