Data dari Asosiasi Industri Baja Tiongkok menunjukkan bahwa pada tiga kuartal pertama, total laba perusahaan baja utama turun 56,39% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Angka ini menunjukkan terjadinya penurunan signifikan dalam kinerja ekonomi yang menjadi masalah industri secara keseluruhan. Asosiasi Baja menyatakan bahwa masalah ini berasal dari sisi permintaan dan merupakan hasil dari “persaingan internal” yang tidak sehat.
ETIndonesia. Ekonomi Tiongkok yang lesu, krisis properti yang parah, serta banyak perusahaan baja yang menjual baja dengan harga rendah ke luar negeri, telah memicu penyelidikan anti-dumping dari berbagai negara.
Krisis properti di Tiongkok yang belum terselesaikan serta tekanan keuangan daerah membuat banyak proyek konstruksi dihentikan, sehingga permintaan baja tidak sesuai harapan.
“Penurunan tajam dalam investasi properti dan infrastruktur telah secara langsung mengurangi konsumsi baja. Data menunjukkan bahwa investasi properti dari Januari hingga September tahun ini turun 8% dibandingkan tahun lalu. Selain itu, permintaan baja global juga melambat. Asosiasi Baja Dunia memperkirakan permintaan baja global pada 2024 hanya meningkat 1,3%, jauh di bawah laju pertumbuhan pasokan,” kata David Wong, seorang ekonom Amerika Serikat.
Menurut data Asosiasi Industri Baja Tiongkok, total laba perusahaan baja utama selama tiga kuartal pertama adalah RMB,28,977 miliar , turun 56,39% dibandingkan tahun lalu, dengan rata-rata margin laba sebesar 0,64%. Pada akhir September, rasio utang terhadap aset perusahaan baja utama tercatat 62,91%, naik 0,75% dibandingkan tahun lalu.
David Wong menambahkan, “Berdasarkan data Asosiasi Industri Baja, margin laba kotor rata-rata untuk baja di Tiongkok pada tiga kuartal pertama hanya 1,9%, bahkan tidak cukup untuk membayar bunga pinjaman, turun 2,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Banyak perusahaan baja melakukan perang harga untuk memenangkan pasar, tetapi sebenarnya ini lebih untuk mendapatkan modal politik dan sumber daya politik.”
Sebelumnya, pemerintah pusat Tiongkok mengeluarkan prinsip “tiga tetap, tiga tidak,” yaitu tidak berproduksi tanpa pesanan, tidak menjual di bawah biaya, dan tidak mengirimkan barang tanpa pembayaran, untuk menstabilkan harga baja. Namun, kebijakan ini tampaknya kurang efektif.
David Wong mengatakan, “Perusahaan baja di Tiongkok sebagian besar adalah perusahaan milik negara dengan sistem birokrasi. Manajer mereka tidak memiliki kemampuan bisnis nyata, mereka mengandalkan promosi partai. Oleh karena itu, mereka tidak mungkin sepenuhnya mematuhi kebijakan ‘tiga tetap, tiga tidak.’”
Wakil Sekretaris Partai dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Baja Tiongkok, Jiang Weisheng, menegaskan bahwa perusahaan harus memahami situasi yang unik dibandingkan dengan siklus penurunan sebelumnya dan secara rasional menghadapi penyesuaian dalam tahap perkembangan baja, serta menjalankan kebijakan “tiga tetap, tiga tidak.”
Sun Kuo-hsiang, seorang profesor Departemen Urusan Internasional dan Bisnis di Universitas Nanhua Taiwan, mengatakan, “Kebijakan ‘tiga tetap, tiga tidak’ memang merupakan langkah untuk mengatasi persaingan tidak sehat. Namun, apakah kebijakan ini dapat sepenuhnya menyelesaikan masalah masih perlu dilihat. Kebijakan ini membutuhkan disiplin tinggi dan kerjasama industri.”
Asosiasi Industri Baja Tiongkok menyatakan bahwa masalahnya terletak pada sisi permintaan, serta sebagai hasil dari persaingan “internal” yang tidak sehat.
Para ahli menunjukkan bahwa setiap perbaikan di pasar baja Tiongkok akan mendorong perusahaan untuk memproduksi lebih banyak, sehingga memperburuk ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan serta menekan harga lebih jauh.
Sun Kuo-hsiang menjelaskan, “Persaingan internal ini berarti perusahaan baja di tengah pasar yang lesu memperbanyak produksi dan menurunkan harga demi mempertahankan pangsa pasar. Akibatnya, perusahaan saling bersaing menurunkan harga, yang pada akhirnya menekan margin laba.”
Di sisi lain, salah satu anak perusahaan dari produsen baja tahan karat terbesar di dunia, Tsingshan Holding Group dari Tiongkok, menghadapi aksi protes dari penduduk setempat di Zimbabwe. Warga Zimbabwe menuduh perusahaan baja Tiongkok, Dinson Iron and Steel Company (DISCO), menggunakan tanah mereka tanpa kompensasi, merusak lingkungan, dan tidak membantu relokasi penduduk. (Hui)
Sumber : NTDTV.com