Antonio Graceffo
Perekonomian Tiongkok berada dalam kondisi yang jauh lebih buruk dibandingkan tahun 2016, dan masa jabatan Trump yang kedua dapat mendorongnya ke jurang kehancuran.
Ketika berita menyebar bahwa mantan Presiden Donald Trump kembali memenangkan pemilihan presiden, pasar saham menguat, dolar AS naik, yuan turun, dan Partai Komunis Tiongkok (PKT) kemungkinan besar putus asa.
Perang dagang yang dikobarkan Trump terhadap Tiongkok pada masa jabatan pertamanya memperlambat pertumbuhan Tiongkok, melemahkan mata uangnya, dan meningkatkan utangnya. Namun, Tiongkok berhasil bertahan dalam putaran pertama pertempuran Trump berkat ekonomi yang kuat.
Pada masa jabatan keduanya, Trump bersumpah untuk mengambil sikap yang lebih keras terhadap Tiongkok, dengan menunjuk kembali Robert Lighthizer– dalang di balik perang dagang dengan Tiongkok – sebagai U.S. Trade Representative atau Perwakilan Dagang Amerika Serikat yang baru. Lighthizer, yang dikenal karena karyanya yang sangat penting dalam penghitungan pencurian kekayaan intelektual PKT yang bernilai antara $225 miliar hingga $600 miliar per tahun, telah lama merekomendasikan agar Amerika Serikat memutuskan decopuling dengan Tiongkok, sebuah sikap yang ia tegaskan dalam bukunya pada tahun 2023, “No Trade is Free.” Sejak meninggalkan jabatan sebelumnya di pemerintahan, Lighthizer telah bekerja di Center for American Trade di America First Policy Institute, sebuah wadah pemikir yang mengadvokasi agar Tiongkok bertanggung jawab atas praktik perdagangan yang tidak adil, pencurian kekayaan intelektual, dan pelanggaran lingkungan.
Setelah empat tahun tarif Trump, empat tahun tarif Biden, lockdown COVID-19 berkepanjangan, dan “de-risking” yang stabil oleh negara-negara Eropa dan G7, ekonomi Tiongkok tetap lesu. Pengangguran kaum muda hampir mencapai 19 persen pada Agustus, mendekati rekor tertinggi 21,3 persen di tahun 2023. Sektor properti terus menurun, dengan harga rumah baru turun, dan utang pemerintah daerah, menurut perkiraan Dana Moneter Internasional (IMF), sekarang sebesar $8,4 triliun.
Pada akhir tahun 2023, IMF memperkirakan total utang pemerintah Tiongkok mencapai $20,7 triliun, sementara utang perusahaan sekitar 350 triliun yuan, atau $48,76 triliun. Dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok hanya sebesar $18,2 triliun, utang negara ini lebih dari tiga kali lipat ukuran ekonominya.
Pemimpin PKT Xi Jinping telah meluncurkan dorongan stimulus besar-besaran, dengan fokus pada pasar properti yang bermasalah, utang pemerintah daerah, dan pemotongan suku bunga. Langkah-langkah utama termasuk menurunkan suku bunga hipotek, menyuntikkan likuiditas untuk memacu pinjaman, dan meluncurkan rencana senilai $1,4 triliun untuk meringankan beban utang pemerintah daerah.
Meskipun tindakan ini telah memberikan sedikit kelegaan, mereka belum secara signifikan meningkatkan belanja konsumen. Pengeluaran rumah tangga sebagai persentase dari PDB tetap berada di bawah 40%, sekitar 20 poin di bawah rata-rata global, yang mencerminkan perjuangan Xi yang sedang berlangsung untuk menggeser ekonomi Tiongkok dari model yang digerakkan oleh ekspor ke model yang berbasis pada layanan dan konsumsi.
Terlepas dari tujuannya, Xi dipaksa untuk mengandalkan sekali lagi pada manufaktur dan ekspor untuk mendukung ekonomi pasca pandemi, namun strategi ini terbukti tidak efektif. Yuan sudah 10 persen lebih lemah dibandingkan pada awal perang dagang, sehingga membatasi kemampuan PKT untuk mendevaluasi mata uang lebih lanjut untuk merangsang ekspor.
Para analis secara luas setuju bahwa tantangan ekonomi Tiongkok bersifat struktural – berasal dari populasi yang menua, utang jumbo di sektor real estat dan pemerintah daerah, dan penurunan investasi. Dengan masalah yang mengakar ini, sebagian besar ahli memprediksi Tiongkok akan gagal mencapai target pertumbuhan 5%.
Pada masa jabatan pertamanya, Trump memberlakukan tarif hingga 25 persen untuk produk Tiongkok. Kali ini, ia telah menjanjikan tarif setinggi 60 persen untuk impor Tiongkok, sebuah langkah yang dapat melumpuhkan sektor ekspor Tiongkok.
Bank sentral Tiongkok perlu mendevaluasi yuan sekitar 18% untuk melawan tarif-tarif yang begitu tinggi, sehingga nilai tukarnya menjadi 8,5% terhadap dollar – sebuah pukulan telak untuk mata uang ini. Duet Trump-Lighthizer bisa jadi akan menghancurkan sektor manufaktur Tiongkok, menghambat ekspor dan mendongkrak angka pengangguran.
Hampir setengah dari ekspor Tiongkok berasal dari berbagai perusahaan yang diinvestasikan oleh asing, yang kemungkinan besar akan dipaksa untuk pindah ke Amerika Serikat atau negara-negara sekutu seperti India, Thailand, Indonesia, dan Vietnam. Pergeseran ini selanjutnya akan memengaruhi Foreign Direct Investment (FDI) Tiongkok, yang mengalami penurunan 28,1% dalam lima bulan pertama tahun ini dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2023. Para pemimpin Eropa sekarang sedang berdiskusi, menyadari bahwa Trump kemungkinan akan menekan mereka untuk mendukung sanksi AS terhadap Tiongkok, yang mana berpotensi mempercepat tren penurunan FDI Tiongkok.
Faktor lain yang menguntungkan Beijing selama perang dagang pertama adalah stimulus COVID-19 AS; sebagian besar uang yang dikeluarkan pemerintah akhirnya digunakan untuk membeli impor Tiongkok. Namun demikian, kali ini, Beijing tidak akan memiliki penopang tersebut.
Xi sekarang menghadapi Trump yang telah dibangkitkan kembali, sebagai Hawkish (bersikap keras) Tiongkok yang sebenarnya, didukung oleh Kongres dan penduduk AS dengan rekor 81 persen pandangan yang tidak menguntungkan terhadap Tiongkok. Rakyat Amerika jauh lebih mungkin untuk mendukung perang dagang pada saat ini, dan dengan melemahnya ekonomi Tiongkok, perang dagang yang mana baru dapat memberikan pukulan besar bagi Beijing.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.
Antonio Graceffo, Ph.D., adalah seorang analis ekonomi Tiongkok yang telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Graceffo adalah lulusan Universitas Olahraga Shanghai, meraih gelar MBA Tiongkok dari Universitas Jiaotong Shanghai, dan saat ini belajar pertahanan nasional di Universitas Militer Amerika. Ia adalah penulis buku “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” (2019).