Jika upaya pelecehan ini memiliki efek apa pun, itu tidak sesuai dengan yang diharapkan Beijing, kata sang sutradara.
ETIndonesia. Ancaman penembakan massal. Ledakan bom. Peretasan sistematis.
Selama dua bulan terakhir, dengan rata-rata satu ancaman setiap dua hari, ancaman berbahasa mandarin telah dikirimkan ke kotak masuk jurnalis, bioskop, polisi, dan anggota legislatif lokal, terutama yang berbasis di Amerika Serikat dan Taiwan. Tujuan ancaman ini hanya satu: menghentikan pemutaran film berjudul State Organs.
Film dokumenter ini, yang menjadi kandidat dalam Academy Awards 2025, mengikuti perjalanan dua keluarga dalam mencari orang-orang tercinta yang hilang di tengah latar belakang kejahatan brutal penculikan organ secara paksa yang disahkan negara di bawah pemerintahan komunis Tiongkok
Sejak Oktober, State Organs telah diputar di 15 kota di Taiwan, serta di San Francisco, New York City, dan Jepang.
“Berpikirlah sebelum bertindak,” tulis sebuah email yang dibagikan dengan The Epoch Times. Pengirimnya mengklaim telah mendapatkan informasi pribadi staf di empat bioskop di Taiwan. Bioskop-bioskop tersebut dijadwalkan untuk menayangkan State Organs dan menerima ancaman bahwa informasi staf akan disebarkan jika pemutaran tetap dilanjutkan.
Setidaknya dua email menyertakan gambar senjata api dengan peringatan bahwa penonton akan ditembak jika bioskop tidak membatalkan penayangan film.
Email lain, kali ini ditujukan kepada seorang jurnalis, mengklaim telah menanam bahan peledak di kantor pusat perusahaannya di Taipei yang akan diledakkan kecuali ia menghapus laporan tentang film tersebut.
Menjelang penayangan pada 30 November yang diadakan di gedung Dewan Kota Taipei, sebuah pesan lain mengancam kemungkinan serangan menggunakan pisau.
Namun, semua ancaman ini ternyata omong kosong belaka. Biro Investigasi Kriminal Taiwan telah membuka penyelidikan dan meningkatkan keamanan pada acara-acara tersebut. Mereka tidak menemukan bukti bahan peledak atau ancaman terhadap keselamatan publik lainnya. Pola ancaman ini, kata polisi, mencerminkan kampanye pelecehan siber yang berasal dari daratan Tiongkok.
Bagi sutradara Raymond Zhang, yang namanya disebut langsung dalam salah satu email ancaman, situasi ini terasa seperti adegan dalam filmnya yang menjadi kenyataan.
“Penutupan, ancaman, dan intimidasi… seperti inilah otoritas Tiongkok memperlakukan keluarga korban. Inilah yang sekarang terjadi [di Amerika Serikat],” katanya kepada The Epoch Times. Tim produksi film berencana mengumpulkan semua ancaman tersebut untuk diserahkan kepada penegak hukum AS.
Penculikan organ secara paksa adalah topik yang sangat disensor oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT), bersama dengan topik yang terkait erat, yaitu penganiayaan terhadap Falun Gong. Kedua orang yang hilang dalam dokumenter ini adalah praktisi Falun Gong, sebuah latihan meditasi yang menekankan nilai-nilai kejujuran, belas kasih, dan toleransi. Diperkirakan hingga 100 juta orang di Tiongkok, atau hampir 1 dari 12 penduduk, mempraktikkan disiplin pengembangan diri ini sebelum PKT meluncurkan kampanye penindasan nasional terhadap praktik tersebut pada tahun 1999.
Selama 25 tahun terakhir, mereka yang menolak melepaskan keyakinan ini mengalami penangkapan sewenang-wenang, hukuman penjara jangka panjang, serta berbagai metode penyiksaan fisik dan mental.
Tribunal Tiongkok yang berbasis di London pada tahun 2019 menyimpulkan bahwa praktisi Falun Gong adalah target utama dalam program penculikan organ yang didukung negara oleh PKT, yang mana juga menawarkan layanan ini dengan waktu tunggu yang singkat kepada wisatawan medis internasional.
Masalah ini “menjadi titik sensitif bagi PKT,” kata Zhang. “Mereka takut dunia mengetahui kejahatan genosida ini, dan selama 25 tahun terakhir mereka telah melakukan segalanya untuk menutupinya.”
Ada bukti jelas bahwa rezim Tiongkok secara aktif memantau dan menyensor diskusi serta aliran informasi tentang penculikan organ secara paksa, baik di dalam maupun di luar Tiongkok.
Anggota legislatif AS, baik di tingkat kongres maupun negara bagian, telah menerima panggilan atau email dari diplomat Tiongkok yang mendesak mereka untuk menarik dukungan atas penentangan terhadap program penculikan organ sistematis PKT.
Pada Maret 2023, RUU Stop Forced Organ Harvesting Act, yang lolos di DPR AS pada musim panas itu, memicu seorang pejabat Kedutaan Besar Tiongkok menulis kepada sponsor utama RUU tersebut, Rep. Chris Smith (R-N.J.), menyebut langkah tersebut “absurd” dan memintanya menghentikan “propaganda tak berdasar dan tindakan anti-Tiongkok.”
Pada tahun 2016, pejabat konsuler Tiongkok mengemudi dari Chicago ke Minnesota untuk menemui senator negara bagian sebelum pemungutan suara atas resolusi yang mengutuk penculikan organ secara paksa.
Menurut Senator Negara Bagian Alice Johnson, para pejabat tersebut tidak menyebutkan penyiksaan itu sendiri, melainkan menghabiskan seluruh pertemuan untuk mengulangi propaganda kebencian PKT terhadap Falun Gong.
Taktik ini menjadi bumerang, dan resolusi tersebut disetujui secara bulat.
Hak, atau Akses Pasar?
Perilisan Film dokumenter State Organs tidak berjalan mulus.
Seorang distributor film Italia yang awalnya menunjukkan minat untuk membawa film ini ke penonton Italia pada Oktober 2023 berubah pikiran keesokan harinya. Perwakilan tersebut menyampaikan “pujian mendalam” terhadap isi dan ritme film, tetapi mengakui bahwa karya yang membahas penganiayaan terhadap Falun Gong “selalu ditolak oleh penyiar Italia.”
Seorang distributor dari AS berbicara lebih terus terang. Di hadapan produser State Organs, ia mengatakan kepada stafnya bahwa mengambil film yang terkait dengan penganiayaan Falun Gong oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) akan menghambat akses pasar perusahaan di Tiongkok.
Namun, hambatan dan ancaman itu tidak membuat Zhang menyerah. Jika upaya pelecehan itu berdampak, menurutnya, dampaknya justru tidak seperti yang diinginkan Beijing.
Di Los Angeles, tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan malah menyatukan sekelompok aktivis pro-demokrasi yang menggelar protes di Hollywood Walk of Fame.
“Kecuali PKT, tidak ada rezim lain di dunia ini yang menjadikan pembunuhan manusia untuk organ sebagai sebuah bisnis,” kata penyelenggara dalam sebuah pidato.
Beberapa minggu sebelumnya di Middletown, New York, sebuah bioskop lokal harus menambah tempat duduk sementara dan ruang pemutaran tambahan untuk menampung penonton, ujar Zhang.
Di Cinema Village, New York City, tempat film itu dijadwalkan tayang selama seminggu, pemutaran diperpanjang menjadi dua minggu karena tingginya permintaan.
Di Taiwan, di mana sebagian besar kampanye pelecehan terpusat pada musim ini, tiket pemutaran habis terjual. Legislator turut hadir untuk memberikan dukungan, menekankan bahwa kehadiran mereka adalah bentuk pembelaan terhadap kebebasan. Jadwal pemutaran State Organs yang direncanakan hanya satu bulan kini diperpanjang hingga Desember.
Komite Luar Negeri dan Pertahanan Nasional Taiwan menganggap isu ini cukup mengganggu hingga mereka mengadakan sidang dan meminta pejabat tinggi pulau itu menjelaskan rencana mereka untuk menanggapi upaya rezim dalam mengintervensi.
Meskipun menonton film adalah pilihan individu, ini menjadi isu keamanan nasional jika PKT dapat “menghilangkan kebebasan State Organs untuk diputar di Taiwan,” kata Wang Ting-yu, ketua komite tersebut, kepada The Epoch Times. Jika PKT dapat melakukan ini terhadap satu film hari ini, ia mengatakan, di masa depan mereka dapat melakukan hal yang sama untuk mengancam pemilu demokratis dan aktivitas lainnya.
Zhang mengatakan bahwa dia tidak menyimpan dendam terhadap orang-orang yang mencoba mengintimidasi dirinya dan publik. Dia menduga beberapa dari mereka mungkin bertindak di bawah paksaan rezim atau telah dibutakan oleh narasi rezim tersebut. Dia berharap mereka dapat menonton film itu dan memutuskan sendiri bagaimana melihat isu yang diangkat.
Perhatian internasional yang semakin besar kini berkumpul untuk menanggapi laporan signifikan mengenai kejahatan pengambilan organ paksa oleh PKT.
Tiga negara bagian di AS telah mengesahkan undang-undang yang melarang perusahaan asuransi kesehatan mendanai transplantasi organ yang terkait dengan Tiongkok. Falun Gong Protection Act yang disahkan oleh DPR AS pada Juni, bertujuan untuk memberikan sanksi kepada para pelaku kejahatan tersebut dengan hukuman penjara hingga 20 tahun.
Undang-undang ini juga mengharuskan pejabat AS menyelidiki praktik transplantasi organ di Tiongkok, termasuk penggunaan dana hibah AS di negara tersebut, serta menentukan apakah penganiayaan terhadap Falun Gong memenuhi syarat sebagai “kekejaman” di bawah Elie Wiesel Genocide and Atrocities Prevention Act of 2018.
RUU ini masih menunggu pemungutan suara di Senat.
Zhang mengatakan filmnya dimaksudkan untuk membuat orang berpikir, dan semoga bertindak.
“Setelah Perang Dunia II, orang berkata, ‘Tidak akan terjadi lagi,’” katanya. “Tapi terjadi sekarang.”
“Kita sekarang memiliki kesempatan untuk mengubah sejarah dalam tindakan.”
Sumber ; The Epoch Times