Assad Tumbang Seketika: Tiongkok dan Rusia Tertinggal Puing dan Utang!

EtIndonesia. Jatuhnya rezim Presiden Bashar al-Assad terjadi dengan begitu cepat dan mengejutkan dunia internasional. Tidak hanya Assad dan para kroninya yang terpukul, tetapi juga negara-negara pendukungnya seperti Rusia dan Tiongkok  dibuat terperangah. Hal ini menimbulkan efek domino yang luar biasa, termasuk hilangnya investasi besar yang telah mereka kucurkan untuk menopang kepemimpinan Assad.

Bagi Moskow, yang selama ini mengangkat pamor Assad ke tampuk kekuasaan, runtuhnya rezim tersebut merupakan pukulan telak. Demikian pula bagi Tiongkok, yang baru saja menggelontorkan dana besar di Suriah, kini semuanya terbuang sia-sia. Kejatuhan Assad bukan sekadar kehancuran sebuah rezim, tetapi juga lenyapnya miliaran dolar AS dana investasi yang belum sempat menghasilkan keuntungan sepadan. Dana yang sejatinya berasal dari keringat rakyat Tiongkok itu menguap tak berbekas akibat kemelut politik Suriah yang membara.

Media Internasional Panik, Kesalahan Penyiaran Memalukan

Dalam dinamika yang serba cepat ini, para jurnalis di lapangan pun dibuat tersentak. Seorang reporter internasional mengaku pernah memohon kepada pasukan pemberontak agar tidak bergerak terlalu cepat, semata demi memberi waktu untuk menyusun laporan yang lebih akurat. Namun, perang tidak menunggu jurnalis. Saat siaran langsung membahas pasukan pemberontak yang “menuju Damaskus”, ibu kota itu ternyata sudah jatuh. Situasi tersebut menciptakan momen canggung yang memaksa para pewarta mengejar laju kenyataan yang berlari jauh di depan mereka.

Tak hanya media Barat yang kewalahan, saluran berita internasional CCTV (Channel 4) berbahasa Mandarin juga terkena imbas. Dalam kepanikan menyajikan “Breaking News,” sebuah kesalahan ketik fatal mengubah kata “breaking” menjadi bentuk aneh yang bukan bahasa Inggris, menandai momen memalukan di tengah kacaunya situasi. Kekentalan budaya “partai” di ruang redaksi CCTV seakan naik satu tingkat, memperlihatkan betapa gonjang-ganjing Suriah turut mengguncang legitimasi narasi resmi Tiongkok.

Tiongkok dan Ramalan Para Pakar yang Meleset

Jatuhnya Damaskus memunculkan pemandangan memalukan bagi pendukung Assad di Tiongkok, termasuk pakar-pakar pro-rezim yang selama ini tampil meyakinkan di layar kaca. Pada 23 September tahun lalu, media sempat memberitakan kunjungan Assad ke Tiongkok saat Presiden Xi Jinping meresmikan kemitraan strategis dengan Suriah. Ironisnya, “mitra strategis” yang dibanggakan itu justru berakhir tragis. Beragam prediksi dari pakar kenamaan seperti Prof. Jin Canrong – yang mengatakan pasukan pemerintah Suriah hanya mengalami “keterkejutan sementara” – kini terdengar seperti lelucon pahit.

Seorang “pakar masalah Timur Tengah” dari lembaga studi Arab di Tiongkok, Li Shaoxian, beberapa hari lalu menegaskan bahwa kemungkinan pemberontak menumbangkan pemerintahan Assad sangat kecil karena sokongan Rusia dan Iran. Kenyataan di lapangan membuktikan sebaliknya. Para pengamat internet di Tiongkok pun mencibir rentetan prediksi meleset ini, menyebut mereka hanya sebagai “corong rezim” yang tak pernah benar dalam memetakan realitas politik global.

Investasi Hangus dan Arah Baru yang Gelap

Tiongkok, yang telah menjadikan Suriah sebagai simpul penting proyek Belt and Road Initiative di Timur Tengah, kini menghadapi kerugian masif. Sebelum perang saudara meletus, investasi Tiongkok di Suriah mencapai lebih dari 5 miliar dolar AS, dengan perusahaan energi raksasa seperti CNPC dan Sinopec terlibat aktif. Setelah kunjungan Assad ke Tiongkok tahun lalu, hubungan dinaikkan menjadi “kemitraan strategis,” diikuti tambahan investasi 10 miliar dolar AS, pinjaman tanpa bunga 3 miliar dolar AS, serta penghapusan seluruh utang lama. Namun, kini seluruhnya musnah bagai asap di atas puing-puing Damaskus.

Banyak warganet Tiongkok mengejek kebiasaan media pemerintah yang dulu mengagumi kesederhanaan Assad, mulai dari sepatu kulitnya yang usang hingga citra sang istri yang dipuja bak selebritas kampus. Padahal, diam-diam istri Assad pernah dilaporkan membeli 19 apartemen di Moskow, nilai yang fantastis dan jauh dari imej kesahajaan.

Prahara Pascaruntuhnya Rezim: Dokumen Rahasia, Pelarian, dan Mata Uang Tak Bernilai

Dengan ambruknya pemerintahan Assad, pasukan pemerintah tercerai-berai. Seragam militer dan senjata ditinggalkan begitu saja, sementara banyak tentara kabur ke Irak. Mata uang Suriah pun jatuh bebas. Uang pound Suriah berserakan di jalanan, menjadi sampah karena nilainya terjun bebas—1 dolar AS setara 13.000 pound Suriah.

Belum hilang kekacauan, dokumen-dokumen rahasia yang gagal dimusnahkan tepat waktu kini berpotensi menjadi bom waktu bagi negara-negara yang pernah menyokong Assad. Rusia sendiri telah menawarkan suaka bagi Assad dan keluarganya pada 9 Desember, menandai berakhirnya rezim lama. Pertanyaan sinis pun muncul: mengapa tidak meminta suaka ke Tiongkok? Di sana, Assad mungkin bisa menjadi tokoh spiritual dadakan di Kuil Lingyin atau mengajar “Sejarah Cemerlang Assad” di kampus-kampus yang dulu mengelu-elukannya.

Rusia dan Tiongkok Gigit Jari, Israel dan AS Bergerak Cepat

Ketika Damaskus jatuh, tentara Rusia bahkan ikut bergegas keluar dari Suriah, dilempari batu oleh warga yang kesal. Di Moskow, Kedutaan Besar Suriah cepat-cepat menyingkirkan bendera lama Assad. Pada saat yang sama, Israel melancarkan serangan udara besar-besaran ke sasaran strategis di Suriah, termasuk gudang senjata dan pabrik senjata kimia. Pergerakan Divisi 210 Tentara Pertahanan Israel ke perbatasan Suriah-Israel adalah langkah antisipasi. Meskipun rezim Assad runtuh, Israel tidak merasa lebih aman. Pemberontak yang kini berkuasa juga memiliki agenda sendiri yang dapat mengancam Tel Aviv, Yerusalem, hingga Gaza.

Sementara itu, Amerika Serikat tidak tinggal diam. Beberapa hari terakhir, AS menggempur markas dan kamp ISIS di Suriah dengan pesawat pengebom B-52, pesawat serang A-10, hingga jet tempur F-15. Dengan banyaknya faksi – pemberontak, sisa pasukan pro-Assad, milisi Kurdi, kelompok di bawah pengaruh Turki, hingga ISIS – panorama geopolitik Suriah berubah menjadi palagan yang semakin ruwet.

Harapan Tipis di Tengah Kabut Kelam

Pemimpin pemberontak Suriah, Abu Muhammad al-Jolani, muncul di Damaskus dan mengumumkan garis besar rencana politiknya. Ia menyampaikan keinginan membentuk pemerintahan transisi yang tidak otoriter, mengedepankan reformasi konstitusi, sistem checks and balances, serta demokrasi. Jika benar diwujudkan, langkah ini setidaknya membuka secercah harapan akan terciptanya stabilitas baru di tanah Suriah yang porak poranda.

Kendati demikian, jalan menuju stabilitas masih terjal. Beragam kepentingan asing, faksi bersenjata yang saling bermusuhan, serta trauma panjang perang saudara menjadikan Suriah medan rumit dengan akhir yang sulit diprediksi. Di balik runtuhnya rezim Assad dan ambisi para pendukung asingnya, rakyat Suriah tetap menjadi pihak yang paling rentan, menanggung beban terberat dalam pergulatan menuju babak baru sejarah negeri mereka.