EtIndonesia. Rusia memiliki sejarah politik otoriter yang berakar pada era Uni Soviet, sehingga hubungan dengan negara tersebut memerlukan kewaspadaan ekstra. Setelah era Perang Dingin, banyak negara mengejar demokrasi sebagai dorongan dari faktor sejarah. Namun, saat ini, banyak negara yang, karena berbagai kepentingan, terpaksa mengorbankan nilai-nilai demokrasi. Pergulatan antara demokrasi dan otoritarianisme menjadi tantangan dalam politik internasional saat ini. Baru-baru ini, di Serbia, Georgia, dan Libya, muncul gelombang protes besar-besaran yang menentang pengaruh Rusia.
Negara-negara bekas Uni Soviet, seperti Georgia dan Serbia, memiliki hubungan rumit yang penuh cinta dan benci dengan Rusia.
利比亚大穆夫提加里亚尼呼吁所有利比亚人团结起来,驱逐该国的俄罗斯人,如果利比亚像叙利亚一样积极行动,他们就会成功完全关闭俄罗斯通往非洲的大门。结束俄罗斯对这个国家和其他国家资源的掠夺。 pic.twitter.com/vAY3D4hH5w
— OFFICIAL NEWS (@OfficialNewsWin) December 22, 2024
Ribuan orang berkumpul di Alun-alun Tbilisi untuk memprotes rezim pro-Rusia. (Sumber gambar: tangkapan layar dari “X” @LXSummer1)
Hari ini, di ibu kota Georgia, Tbilisi, terjadi aksi protes yang berlangsung selama beberapa hari. Protes ini didominasi oleh warga pro-Eropa yang menuntut pemilu yang adil, menuding partai berkuasa pro-Rusia, “Mimpi Georgia” (Georgian Dream), melakukan kecurangan dalam pemilu Oktober lalu. Masyarakat dan oposisi khawatir bahwa perkembangan negara akan menyimpang dari jalur demokrasi Barat.
Di Serbia, warga turun ke jalan pada tanggal 22 Desember waktu setempat di ibu kota Beograd untuk memprotes pemerintah boneka yang didukung Rusia. Mereka juga memprotes penanganan pemerintah atas insiden runtuhnya atap luar stasiun Novi Sad di wilayah utara pada tanggal 1 November.
Di kawasan Mediterania, pengaruh Rusia juga terlihat. Negara Afrika, Libya, menjadi target utama ekspansi kekuatan Rusia. Protes di Libya beberapa hari terakhir fokus pada penolakan terhadap masuknya pengaruh Rusia.
Pemimpin agama tertinggi Libya, Grand Mufti Sadiq al-Ghariani, dalam protes ini menyerukan warga Libya untuk bersatu mengusir pengaruh Rusia demi melindungi sumber daya Libya dari eksploitasi. Selain itu, menurut laporan The Guardian, Perdana Menteri Libya yang didukung PBB, Abdul Hamid Dabaiba, baru-baru ini menyatakan penolakannya terhadap aktivitas militer Rusia di pangkalan di Libya timur.
Karena kekuatan Rusia di wilayah Suriah belakangan ini melemah, sebagian kekuatannya dialihkan ke Libya. Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) melaporkan bahwa pada Maret 2024, Libya telah menjadi negara produsen minyak mentah terbesar di Afrika. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan strategi ekonomi dan militer Rusia di kawasan Afrika.(jhn/yn)