Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol Ditangkap Setelah 43 Hari Memberlakukan Darurat Militer

EtIndonesia Pada Rabu (15/1) pukul 10:30 waktu setempat, Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol ditangkap oleh Badan Investigasi Korupsi untuk Pejabat Tinggi Korea Selatan (CIO). Selama pemeriksaan yang berlangsung sekitar dua setengah jam, Yoon menggunakan haknya untuk diam dan meminta agar proses tersebut tidak direkam. Penangkapan ini menjadikan Yoon sebagai presiden aktif pertama dalam sejarah Korea Selatan yang ditahan, tetapi secara mengejutkan meningkatkan tingkat dukungannya di tengah masyarakat.

Presiden Pertama yang Ditangkap Setelah Deklarasi Darurat Militer

Menurut laporan media Korea, Yoon tiba di markas CIO di Gwacheon, Provinsi Gyeonggi, pada Rabu (15/1) sekitar pukul 10:53. Dia mengatakan bahwa dirinya mematuhi surat perintah penangkapan untuk menghindari pertumpahan darah, meskipun dia tetap menganggap tindakan tersebut ilegal. 

Pendukungnya yang berkumpul di luar kediaman presiden menangis, sementara Yoon sendiri dalam rekaman video sebelum penangkapannya mengatakan: “Saya mematuhi surat perintah ini bukan sebagai pengakuan atas keabsahannya, tetapi untuk menghindari insiden berdarah.”

Tim pengacara Yoon menyebut penangkapan ini sebagai tindakan penghinaan publik. Mereka juga mengatakan bahwa CIO tidak memiliki yurisdiksi untuk menangani kasus ini, dan prosedur yang dilakukan melanggar hukum.

Upaya Penangkapan Melibatkan Ribuan Personel Keamanan

Pada pukul 05:45 pagi, lebih dari 3.000 personel keamanan dikerahkan untuk melaksanakan operasi penangkapan. Berbeda dengan upaya pertama pada 3 Januari, kali ini tidak ada perlawanan keras dari Pasukan Pengamanan Presiden. Proses ini dilakukan di bawah pengawasan ketat guna menghindari konflik bersenjata.

Menurut undang-undang Korea Selatan, investigasi terhadap tersangka harus direkam, kecuali tersangka meminta sebaliknya. Namun, pihak CIO memilih untuk tidak merekam pemeriksaan guna meningkatkan kerja sama Yoon.

Dalam dua minggu terakhir, jalan-jalan di Korea Selatan, terutama di Gwanghwamun, dipenuhi oleh demonstran yang terbagi menjadi dua kubu: pendukung dan penentang Yoon Suk-yeol. Pendukung Yoon, termasuk kaum muda dan komunitas konservatif, membawa bendera Korea Selatan dan Amerika Serikat, serta spanduk bertuliskan slogan seperti: “Buat Korea Hebat Lagi.” dan “Hentikan Pencurian Pemilu.”

Di sisi lain, penentangnya, termasuk penggemar K-Pop, pemain game, kelompok feminis, dan advokat hak LGBTQ+, mengkritik kebijakannya. Perpecahan ideologis ini mencerminkan semakin mendalamnya jurang generasi di Korea Selatan.

Dalam pidato yang direkam sebelum penangkapannya, Yoon mengatakan: “Sebagai Presiden yang harus melindungi Konstitusi dan sistem hukum Republik Korea, saya mematuhi prosedur ini bukan karena mengakuinya, tetapi demi mencegah insiden yang memalukan. Saya melihat bahwa rakyat kita, terutama generasi muda, semakin menyadari pentingnya demokrasi bebas dan menunjukkan semangat luar biasa.”

Yoon menambahkan: “Meskipun hukum telah runtuh dan kita berada di masa kelam, saya percaya masa depan negara ini masih penuh harapan.”

Meskipun mengalami pemakzulan dan kini menghadapi penahanan, tingkat dukungan Yoon melonjak menjadi 46% menurut survei terbaru. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan hukum terhadapnya malah memobilisasi dukungan publik, terutama dari kelompok konservatif. Banyak pengamat politik menilai situasi ini sebagai momen kritis dalam sejarah politik Korea Selatan.

Respon Internasional dan Ancaman “Perang Saudara”

Beberapa analis menyatakan bahwa situasi ini dapat memicu ketegangan serius. Seorang pendukung Yoon, Kim Jung-hyun, memperingatkan bahwa jika penangkapan tetap dilanjutkan, negara bisa menghadapi “situasi seperti perang saudara.”

Media internasional juga memantau peristiwa ini dengan seksama. Ketegangan antara kelompok konservatif dan progresif di Korea Selatan tidak hanya mencerminkan dinamika politik dalam negeri tetapi juga menarik perhatian global karena posisi strategis Korea Selatan di kawasan Asia Timur.

Dengan Yoon kini ditahan di Pusat Penahanan Seoul, masa depan politiknya dan stabilitas Korea Selatan tetap menjadi pertanyaan besar yang harus dijawab dalam waktu dekat.

Para pendukung Yoon membentuk barikade manusia di depan kediaman presiden, memprotes penangkapan yang mereka sebut sebagai “permainan politik” dari oposisi. Beberapa di antara mereka menangis, sementara yang lain meneriakkan slogan seperti “Hentikan tirani!” dan “Dukung Presiden Yoon!”

Seorang pengamat konservatif terkenal, Paul Sungwon Kim, melalui media sosialnya, melaporkan langsung dari lokasi kejadian sekitar pukul 01:00 pagi waktu setempat. Dia menunjukkan kerumunan pendukung Yoon yang terus bertahan meskipun suhu mencapai -9°C. Menurutnya, suasana di lokasi semakin tegang karena kabar bahwa polisi dan pihak keamanan akan segera melaksanakan operasi penangkapan.

Krisis Politik dan Implikasi

Penangkapan Yoon Suk-yeol bukan hanya mengguncang politik dalam negeri Korea Selatan tetapi juga menarik perhatian global. Sebagai pemimpin yang dikenal memiliki hubungan dekat dengan Amerika Serikat, tindakan hukum terhadapnya dapat memengaruhi stabilitas geopolitik di Asia Timur.

Dalam pidatonya sebelum ditangkap, Yoon menegaskan pentingnya aliansi dengan AS. Dia juga menyerukan dukungan kepada Los Angeles, tempat komunitas Korea terbesar di luar negeri, untuk bantuan menghadapi kebakaran hutan besar yang terjadi baru-baru ini. Pesan ini dipandang sebagai simbol solidaritas antara kedua negara di tengah kekacauan politik dalam negeri.

Langkah Berikutnya: Apa yang Akan Terjadi?

Setelah penangkapan, Yoon Suk-yeol dipindahkan ke Pusat Penahanan Seoul di Uiwang, Provinsi Gyeonggi. Jika CIO mengajukan perintah penahanan resmi, Yoon akan menjalani sidang pra-penahanan dalam waktu 48 jam. Proses ini dapat diperpanjang hingga 20 hari jika ditemukan alasan yang mendesak.

Para analis memprediksi bahwa situasi ini dapat memicu gelombang protes yang lebih besar, baik dari kubu pendukung maupun oposisi. Risiko konflik fisik antara kedua kubu semakin meningkat, terutama jika pengadilan memutuskan untuk memperpanjang penahanan Yoon.

Pendukung Yoon mengklaim bahwa langkah hukum ini merupakan usaha terorganisir untuk membungkam presiden yang mereka anggap sebagai simbol demokrasi konservatif. Sebaliknya, kelompok oposisi menyatakan bahwa proses hukum ini adalah langkah penting untuk menegakkan supremasi hukum dan membuktikan bahwa tidak ada individu yang berada di atas hukum, termasuk presiden.

Tantangan Masa Depan

Krisis ini menyoroti kerentanan demokrasi Korea Selatan, di mana perpecahan politik semakin melebar. Situasi ini juga memunculkan pertanyaan besar tentang bagaimana Korea Selatan akan mengatasi ketegangan sosial yang meningkat, memulihkan kepercayaan publik, dan menjaga stabilitas di tengah tekanan geopolitik regional.

Satu hal yang pasti: nasib politik Yoon Suk-yeol akan menjadi ujian besar bagi demokrasi dan sistem hukum Korea Selatan. Dunia akan terus memantau perkembangan ini dengan seksama.

Saat ini, Korea Selatan menghadapi momen kritis yang menentukan arah masa depannya. Polarisasi masyarakat tidak hanya mencerminkan perbedaan pandangan politik, tetapi juga menunjukkan meningkatnya ketegangan ideologis yang bisa berdampak pada stabilitas sosial dan politik negara tersebut. Dengan dukungan yang terus meningkat untuk Yoon di tengah krisis ini, situasi politik Korea Selatan akan tetap menjadi perhatian dunia dalam beberapa waktu ke depan.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS