Trump menyatakan perjanjian iklim Paris membebankan tanggung jawab yang lebih besar pada Amerika Serikat untuk mengurangi emisi, sementara negara-negara lain tetap diperbolehkan mencemari lingkungan pada tingkat yang lebih tinggi
ETIndonesia. Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi menandatangani perintah eksekutif yang menarik kembali Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim Paris.
Trump menandatangani perintah eksekutif tersebut, yang berjudul “Putting America First in International Environmental Agreements” pada 20 Januari 2025, setelah dilantik sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat.
Perintah tersebut mewajibkan duta besar AS untuk PBB memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal PBB tentang penarikan tersebut.
“Amerika Serikat akan menganggap penarikan dari Perjanjian dan kewajiban terkait sebagai efektif segera setelah pemberitahuan ini disampaikan,” bunyi perintah tersebut.
Perintah Trump juga mengakhiri semua komitmen finansial AS di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim), termasuk Rencana Pembiayaan Iklim Internasional AS. Ia menginstruksikan lembaga-lembaga federal untuk mencabut kebijakan yang mendukung rencana tersebut dan memprioritaskan efisiensi ekonomi serta kesejahteraan Amerika dalam perjanjian energi internasional di masa depan.
“Dalam beberapa tahun terakhir, Amerika Serikat berpura-pura bergabung dengan perjanjian dan inisiatif internasional yang tidak mencerminkan nilai-nilai negara kita atau kontribusi kita terhadap pencapaian tujuan ekonomi dan lingkungan,” bunyi perintah tersebut.
“Selain itu, perjanjian-perjanjian ini mengalihkan uang pembayar pajak Amerika ke negara-negara yang tidak membutuhkan atau tidak layak mendapatkan bantuan keuangan demi kepentingan rakyat Amerika.”
Ini merupakan kali kedua Trump menarik AS dari perjanjian tersebut, yang sering ia kritik sebagai “sangat tidak adil” bagi Amerika Serikat.
Di awal masa jabatannya, Trump mengumumkan bahwa ia akan membatalkan partisipasi AS dalam perjanjian iklim tersebut, tetapi karena aturan perjanjian yang kompleks, penarikan tersebut baru berlaku resmi pada 4 November 2020, sehari setelah pemilihan presiden tahun itu.
Trump sebelumnya mengatakan bahwa perjanjian tersebut membebani Amerika Serikat untuk mengurangi emisi, sementara negara lain tetap dapat mencemari lingkungan dengan tingkat yang lebih tinggi.
“Perjanjian Paris akan menjadi transfer besar kekayaan Amerika ke negara-negara asing yang bertanggung jawab atas sebagian besar polusi dunia,” kata Trump pada Oktober 2019. “Perjanjian Paris akan menutup produsen Amerika dengan pembatasan regulasi yang berlebihan, sementara produsen asing diizinkan mencemari tanpa konsekuensi.”
Pada hari pertamanya menjabat, 20 Januari 2021, Presiden Joe Biden menandatangani instrumen untuk membawa Amerika Serikat kembali ke perjanjian iklim Paris. Sekitar sebulan kemudian, Biden menandatangani perjanjian penerimaan yang secara resmi membawa AS kembali ke perjanjian tersebut, dengan janji untuk “melawan perubahan iklim dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya.”
Biden menjadikan aksi iklim sebagai prioritas utama pemerintahannya. Hal ini termasuk menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 50 persen pada 2030, yang pada Desember 2024 direvisi menjadi pengurangan antara 61 persen hingga 66 persen pada 2035.
“Saya bangga bahwa pemerintahan saya menjalankan agenda iklim paling ambisius dalam sejarah Amerika,” kata Biden dalam sebuah pesan video.
Saat berkampanye pada Februari 2023, Trump berjanji akan kembali menarik AS keluar dari perjanjian iklim dan membalikkan banyak kebijakan energi pemerintahan Biden, yang menurut Trump merugikan keamanan energi AS.
Trump mengatakan bahwa kebijakan Biden telah menaikkan biaya produksi energi domestik, merugikan keluarga Amerika dengan memperburuk inflasi, sementara justru menguntungkan musuh seperti Tiongkok. Trump juga mencatat bahwa rezim komunis di Beijing “menandatangani setiap perjanjian iklim globalis yang bodoh lalu segera melanggarnya.”
Setelah dilantik pada 20 Januari 2025, Gedung Putih mengeluarkan pernyataan yang merinci prioritas Trump untuk masa jabatan keduanya.
“Presiden akan menghidupkan kembali energi Amerika dengan mengakhiri kebijakan ekstremisme iklim Biden, menyederhanakan perizinan, dan meninjau kembali untuk mencabut semua regulasi yang memberatkan produksi dan penggunaan energi, termasuk penambangan dan pengolahan mineral non-bahan bakar,” bunyi pernyataan tersebut.
Belum jelas kapan pemerintahan Trump akan memberitahukan badan iklim PBB mengenai niatnya untuk keluar dari Perjanjian Iklim Paris.
Pengumuman Gedung Putih tersebut menuai kritik dari kelompok lingkungan dan pihak lainnya.
“Tidak masuk akal bagi Amerika Serikat untuk secara sukarela melepaskan pengaruh politik dan melewatkan peluang untuk membentuk pasar energi hijau yang sedang berkembang pesat,” kata Ani Dasgupta, presiden dan CEO World Resources Institute, sebuah organisasi nirlaba pembangunan berkelanjutan, dalam sebuah pernyataan. “Berdiam diri juga berarti Amerika Serikat akan memiliki lebih sedikit alat untuk menekan ekonomi besar lainnya agar memenuhi komitmen mereka.”
Laurence Tubiana, CEO European Climate Foundation dan salah satu arsitek utama Perjanjian Paris, mengatakan bahwa keputusan Trump untuk keluar dari perjanjian iklim bertentangan dengan momentum “yang tidak terhentikan” menuju penghapusan bahan bakar fosil.
“Konteksnya sekarang sangat berbeda dengan 2017,” katanya kepada Reuters. “Ada momentum ekonomi yang tak terhentikan di balik transisi global, yang sebelumnya dimanfaatkan dan dipimpin oleh AS, tetapi kini berisiko hilang.”
Dalam sebuah opini di Financial Times pada November 2024, Tubiana menanggapi janji Trump untuk keluar dari Perjanjian Iklim Paris, menyebut langkah tersebut merugikan dan memprediksi bahwa hal itu akan “memberi keberanian pada negara-negara dan kepentingan tertentu yang masih berpegang pada era bahan bakar fosil.”
Tubiana juga mengatakan bahwa gerakan melawan perubahan iklim tidak membutuhkan Amerika Serikat karena “massa kritis” negara-negara pendukung.
“Kami memiliki logika ekonomi, massa kritis negara-negara, dan dukungan publik di pihak kami,” tulisnya. “Mari tetap tenang dan lanjutkan perjuangan.”
Sumber : Theepochtimes.com