Stephen Xia dan Sean Tseng
Tiongkok sedang membangun sebuah fasilitas yang mana bisa menjadi bandara buatan terbesar di dunia, menimbulkan kekhawatiran di Jepang dan Korea Selatan mengenai kemungkinan penggunaannya untuk kepentingan militer. Para pengamat Tiongkok mempertanyakan apakah proyek ini akan menjadi keberhasilan yang luar biasa atau sekadar proyek mahal yang justru mendatangkan kerugian?
Bandara yang sedang dibangun—Bandara Internasional Dalian Jinzhouwan—berlokasi di Dalian, sebuah kota pelabuhan utama di timur laut Tiongkok yang dekat dengan Korea Selatan dan Jepang. Wilayah ini memiliki nilai strategis yang telah lama diakui. Bandara Dalian yang sudah ada saat ini, Bandara Internasional Dalian Zhoushuizi, berasal dari lapangan udara militer yang dibangun selama pendudukan Jepang pada awal 1900-an.
Dari perspektif ekonomi, pembangunan bandara baru ini tampaknya tidak masuk akal bagi kota dengan populasi sekitar 7,5 juta jiwa. Banyak pengamat mencurigai bahwa bandara ini dirancang untuk penggunaan ganda—infrastruktur sipil yang dapat dengan cepat dikonversi untuk operasi militer.
Partai Komunis Tiongkok (PKT) memiliki sejarah mereklamasi lahan untuk kepentingan strategis, seperti pulau buatan di Laut Tiongkok Selatan yang kini menjadi fasilitas militer, melanggar hukum maritim internasional, dan meningkatkan ketegangan di kawasan.
Kedekatan Dalian dengan negara-negara sekutu AS berarti bahwa bandara besar di kota ini dapat dengan mudah disesuaikan untuk penggunaan militer, sehingga menambah kekhawatiran keamanan dan memperumit prospek jangka panjang bandara tersebut.
Seiring dengan meningkatnya ketegangan antara Tiongkok yang berhaluan komunis dan Amerika Serikat—serta Korea Selatan dan Jepang yang mempererat hubungan militer dengan Washington—setiap proyek berskala besar di wilayah ini menimbulkan pertanyaan apakah proyek tersebut berpotensi mendukung tujuan militer PKT.
Pada tahun 2011, pemerintah daerah Dalian mulai mereklamasi lahan dari laut untuk menciptakan pulau buatan sebagai lokasi bandara baru. Pada tahun 2024, hampir semua pekerjaan reklamasi telah selesai, menghasilkan pulau dengan luas sekitar 7,7 mil persegi. Dengan anggaran sebesar $4,3 miliar, bandara ini akan memiliki terminal seluas 9,69 juta kaki persegi dan empat landasan pacu. Para pejabat mengatakan bahwa bandara ini akan melayani 80 juta penumpang dan menangani satu juta ton kargo setiap tahunnya, dengan penyelesaian akhir dijadwalkan pada tahun 2035.
Banyak pihak bertanya-tanya mengapa Dalian membutuhkan bandara sebesar ini, terutama ketika bandara tersibuk di Tiongkok—Bandara Internasional Ibu Kota Beijing—melayani lebih dari 67 juta penumpang pada tahun 2024. Secara ekonomi, angka-angka ini tampak kurang masuk akal.
Selain tantangan teknis, prospek keuangan bandara ini juga masih belum pasti. Provinsi Liaoning, tempat Dalian berada, memiliki utang jumbo dan berisiko tinggi mengalami gagal bayar. Sementara itu, popularitas kereta cepat telah mengurangi daya saing transportasi udara.
Teng Fei, anggota Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional Tiongkok, mengatakan kepada media Tiongkok bahwa kelangsungan bandara ini mungkin bergantung pada pemaksaan kota-kota terdekat—atau bahkan wilayah Beijing–Tianjin–Hebei—untuk mengandalkan Dalian sebagai pusat penerbangan. Namun, apakah hal ini akan terjadi atau bahkan layak dilakukan masih menjadi pertanyaan.
Bandara lepas pantai sering menghadapi tantangan teknis dan ekologis yang unik. Lokasi bandara Dalian yang dibangun di atas lahan reklamasi menghadapi risiko penurunan tanah dan bahkan amblesan, yang dapat menimbulkan bahaya serius bagi keselamatan dan operasional jangka panjangnya. Dampak lingkungan juga menjadi perhatian utama.
Proyek serupa di Sanya, Hainan, merusak terumbu karang dan membahayakan spesies langka, yang mengakibatkan denda sebesar $11 juta dan kewajiban untuk melakukan restorasi ekologi. Namun, di Dalian, kekhawatiran ini tampaknya kalah dengan faktor politik dan militer. Pihak berwenang Tiongkok mengabaikan kekhawatiran tersebut, dengan menyatakan bahwa reklamasi hanya akan berdampak kecil pada terumbu karang, tetapi langkah pencegahan akan tetap diambil.
Selama lebih dari satu dekade, PKT telah berinvestasi besar dalam proyek transportasi berskala masif. Banyak di antaranya gagal memberikan manfaat ekonomi atau sosial yang dijanjikan serta menimbulkan dampak lingkungan yang besar.
Sebagai contoh, Kereta Cepat Beijing–Guangzhou dikritik karena biaya operasionalnya yang tinggi, jumlah penumpang yang rendah, serta dampak lingkungannya, seperti konsumsi energi yang besar dan perubahan bentang alam. Jalur Kereta Cepat Guangzhou–Shenzhen–Hong Kong juga mengalami pembengkakan biaya dan keterlambatan, dengan manfaat ekonomi yang masih belum jelas dibandingkan dengan kerusakan habitat dan penggunaan sumber daya yang besar.
Bandara Internasional Daxing Beijing—yang dibangun untuk mengurangi kepadatan di Bandara Internasional Ibu Kota Beijing—sering dipertanyakan justifikasi ekonominya karena masalah penggunaan lahan (pemindahan penduduk) dan dampak ekologisnya.
Bendungan Tiga Ngarai, meskipun meningkatkan transportasi jalur air di pedalaman, mengakibatkan perpindahan jutaan penduduk, merusak ekosistem, dan meningkatkan risiko geologi.
Apakah bandara lepas pantai baru di Dalian akan menjadi keberhasilan besar atau justru menjadi beban finansial dan lingkungan bergantung pada berbagai faktor, seperti kelayakan ekonomi, keberlanjutan ekologi, dan kemungkinan tujuan militer. Hanya waktu yang akan menentukan apakah proyek raksasa ini akan memenuhi harapan tinggi atau justru menjadi bagian dari megaproyek Tiongkok yang mana kurang dimanfaatkan.
Pendapat yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pandangan penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.