Australia Menuduh Pesawat Tempur Tiongkok Menembakkan Flare ke Pesawat Militer Australia

ETIndonesia. Departemen Pertahanan Australia pada Kamis, 13 Februari 2025  menyatakan bahwa sebuah pesawat tempur Tiongkok menembakkan flare ke sebuah pesawat pengintai Angkatan Udara Australia P-8 yang sedang menjalankan misi patroli di atas Laut China Selatan pada  Selasa.

Saat insiden tersebut terjadi, kedua pesawat berjarak hanya 30 meter, untungnya tidak ada yang cedera dan pesawat juga tidak rusak.

Departemen Pertahanan Australia dalam sebuah pernyataan (tautan link) mengatakan bahwa pada 11 Februari, sebuah pesawat P-8A Poseidon milik Angkatan Udara Australia (RAAF) yang sedang melakukan patroli pengawasan rutin di Laut China Selatan, “mengalami interaksi yang tidak aman dan tidak profesional dari sebuah pesawat Angkatan Udara Rakyat Tiongkok (PLA-AF), setelah itu pemerintah Australia telah menyampaikan kekhawatirannya kepada pihak Tiongkok.”

Pernyataan itu menambahkan: “Australia berharap semua negara, termasuk Tiongkok, dapat melakukan operasi militer dengan cara yang aman dan profesional. Selama beberapa dekade, Angkatan Pertahanan Australia telah melakukan kegiatan pengawasan maritim di wilayah tersebut, dan beroperasi sesuai hukum internasional dengan hak navigasi dan terbang bebas di perairan dan ruang udara internasional.”

Ini mengingatkan pada insiden lain pada Mei tahun lalu. Saat itu, pesawat militer Tiongkok dengan berbahaya menembakkan flare ke helikopter Australia yang sedang menjalankan misi PBB di perairan internasional.

Selain itu, pada November 2023, sebuah kapal perang Tiongkok juga mengirimkan pulsa sonar ke penyelam Australia, yang memicu protes dari pemerintah Australia.

Sehubungan dengan insiden-insiden tersebut, Departemen Pertahanan Australia telah menyampaikan protes resmi kepada Beijing dan pejabat Tiongkok di Australia.

Sementara itu, seorang pejabat departemen pertahanan juga mengungkapkan bahwa Angkatan Pertahanan Australia (ADF) saat ini sedang memantau tiga kapal perang Tiongkok yang beroperasi di perairan Laut Karang (Coral Sea) di utara Australia.

Ketiga kapal perang tersebut adalah: Kapal fregat kelas Jiangkai (Jiangki-class frigate) “Hengyang”, Kapal perusak kelas Renhai (Renhai cruiser) “Zunyi”, dan Kapal bantu kelas Fuchi (Fuchi-class replenishment vessel) “Weishanhu”. Saat ini aktivitas kapal-kapal ini tidak melanggar hukum internasional.

Departemen Pertahanan Australia dalam pernyataannya mengatakan: “Departemen Pertahanan akan terus menggunakan kemampuan komprehensif termasuk aset udara dan laut untuk memantau aktivitas armada tugas khusus ini di perairan Australia.”

Sejak pertengahan tahun 2023, laporan tentang kapal Tiongkok yang mengambil tindakan agresif dan berbahaya di Laut China Selatan telah meningkat secara signifikan.

Beijing mengklaim hampir semua wilayah laut tersebut sebagai wilayah kedaulatannya, namun beberapa negara termasuk Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga mengajukan klaim atas wilayah tersebut. Wilayah tersebut diperkirakan menyimpan sekitar 11 miliar barel minyak yang belum dieksploitasi dan 190 triliun kaki kubik gas alam.

Tiongkok bersikeras bahwa, berdasarkan hukum internasional, pasukan asing tidak boleh melakukan kegiatan pengumpulan intelijen seperti penerbangan pengintai di Zona Ekonomi Eksklusif (EEZ) mereka.

Amerika Serikat dan sekutunya (termasuk Australia) berpendapat bahwa, berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS), kapal di Zona Ekonomi Eksklusif harus memiliki kebebasan navigasi dan tidak perlu memberitahukan aktivitas militer kepada negara lain.

Pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag memutuskan gugatan yang diajukan Filipina terhadap Tiongkok berdasarkan UNCLOS, di mana keputusan tersebut mendukung klaim Filipina di hampir semua aspek. Meskipun Tiongkok merupakan penandatangan perjanjian pendirian pengadilan arbitrase, mereka tetap menolak yurisdiksi pengadilan tersebut. (Jhon)

Sumber : Epochtimes.com

FOKUS DUNIA

NEWS