EtIndonesia. Washington dan Eropa berada di persimpangan kritis, di mana langkah-langkah diplomatik baru mengguncang tatanan keamanan regional dan global.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara langsung mengadakan pembicaraan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, serta menginstruksikan untuk segera memulai dialog terkait konflik di Ukraina. Langkah berani ini mengejutkan banyak pemimpin Eropa, terutama setelah Amerika menegaskan bahwa benua tersebut tidak akan dilibatkan dalam negosiasi perdamaian antara Rusia dan Ukraina.
Pertemuan Darurat Para Pemimpin Eropa
Menanggapi situasi yang kian memanas, Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, mengonfirmasi bahwa para pemimpin utama negara-negara Eropa berkumpul dalam pertemuan darurat pada 17 Februari 2025 di Paris. Agenda pertemuan tersebut mencakup pembahasan perang Rusia-Ukraina serta isu-isu keamanan di Eropa. Tak hanya itu, Perdana Menteri Inggris juga secara terbuka menyatakan kemungkinan penempatan pasukan Inggris di Ukraina, disertai komitmen pendanaan puluhan miliar poundsterling setiap tahun.
Pada 15 Februari, utusan khusus untuk Ukraina yang ditunjuk oleh Trump, Keith Kellogg, menyatakan bahwa Eropa tidak akan mendapatkan posisi dalam negosiasi perdamaian. Isolasi Eropa semakin nyata ketika, pada 16 Februari, dalam sebuah wawancara dengan Radio Internasional Prancis, Barrot menegaskan kehadiran para pemimpin dari negara-negara besar seperti Presiden Emmanuel Macron (Prancis), mantan Kanselir Angela Merkel (Jerman), serta pemimpin dari Inggris, Italia, Polandia, Spanyol, Belanda, dan Denmark. Selain itu, perwakilan penting dari Uni Eropa dan NATO, termasuk Ketua Komisi Eksekutif Uni Eropa Ursula von der Leyen, Ketua Dewan Uni Eropa Costa, dan Sekretaris Jenderal NATO Stoltenberg, dijadwalkan hadir. Media Inggris juga melaporkan kemungkinan kehadiran Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer.
Kritik dari Washington dan Pergeseran Fokus ke Asia
Dalam pidato di akhir Konferensi Keamanan di Munich, Wakil Presiden Amerika Serikat, JD Vance, mengkritik Eropa karena dianggap tidak menghargai kebebasan berpendapat dan enggan bekerja sama dengan partai politik sayap kanan ekstrem. Pemerintahan baru di Washington pun memberikan peringatan keras kepada sekutu NATO bahwa Eropa tidak lagi menjadi prioritas keamanan utama bagi Amerika. Fokus strategis Amerika yang kini bergeser ke Tiongkok menandakan kemungkinan penugasan ulang pasukan ke wilayah lain sebagai antisipasi atas berbagai skenario global.
Kekhawatiran pun melanda sejumlah negara Eropa. Terdapat dugaan bahwa Presiden Putin akan mengulangi tuntutannya, yang sebelumnya diungkap sebelum agresi pada tahun 2022, terkait operasi pasukan NATO di Eropa Timur dan intervensi Amerika di benua tersebut.
Menurut laporan dari Daily Telegraph, Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, mengumumkan komitmen untuk menyediakan 3 miliar poundsterling setiap tahun kepada Ukraina hingga 2030, serta penempatan pasukan darat Inggris ke Ukraina. Pimpinan militer Inggris memperkirakan perlunya sekitar 100.000 pasukan, meskipun ada keraguan mengenai kesiapan rekrutmen. Para jenderal juga mendesak peningkatan belanja pertahanan karena sumber daya militer Inggris dianggap belum memadai.
Seruan untuk Mandiri: Pidato Presiden Zelenskyy dan Respons Eropa
Pada 15 Februari 2025, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, menyampaikan pidato tegas yang menyerukan pembentukan pasukan bersenjata Eropa. Dia memperingatkan bahwa era dukungan jangka panjang Amerika kepada Eropa telah usai. Sementara itu, menurut laporan dari Politico News, pernyataan dari pejabat Trump di Eropa menandakan bahwa hubungan Amerika-Eropa tengah mengalami perpecahan.
Mantan Duta Besar Jerman untuk Amerika, Wolfgang Isengart, menilai bahwa para pemimpin Eropa harus belajar untuk mandiri dan mengakui tanggung jawab atas krisis yang tengah melanda Uni Eropa.
Isengart menambahkan: “Mungkin Eropa harus mengalami pukulan agar bisa lebih proaktif dan mandiri.”
Analisis dari The Guardian menyoroti bahwa perbedaan pandangan antara Eropa dan pemerintahan Trump tidak hanya terkait isu Rusia, melainkan juga menyangkut perbedaan mendasar dalam nilai dan demokrasi. Kini, para pejabat Eropa tidak lagi dapat menyembunyikan perbedaan strategis mereka dengan kebijakan pemerintah Trump.
Diplomasi di Timur Tengah: Trump, Rubio, dan Visi Gaza
Pada 16 Februari 2025, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, mengadakan pertemuan di Yerusalem dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk mengonfirmasi visi Trump terhadap Gaza dan sikapnya terhadap kelompok Hamas. Dalam pertemuan tersebut, Rubio dan Netanyahu juga menyepakati posisi bersama terkait Iran.
Pertemuan tersebut berlangsung intensif, dimulai dengan diskusi satu lawan satu antara Rubio dan Netanyahu, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan yang lebih luas yang juga dihadiri oleh Presiden Israel, Isaac Herzog. Netanyahu menyampaikan apresiasi atas bantuan Presiden Trump yang mendorong Hamas untuk melepaskan tiga sandera di Gaza pada 15 Februari, serta atas dukungan tegas Rubio terhadap kebijakan Israel di wilayah Gaza.
Netanyahu menyatakan : “Saya dan Rubio, bersama staf kami, membahas banyak isu secara konstruktif, dengan Iran menjadi topik paling penting.”
Rubio menegaskan bahwa di balik setiap aksi kekerasan dan gangguan stabilitas yang mengancam perdamaian di wilayah tersebut, terdapat peran manipulatif Iran.
Da menambahkan: “Amerika Serikat tidak akan pernah membiarkan Iran memiliki senjata nuklir.”
Dalam konferensi pers, Rubio menyatakan bahwa Presiden Trump telah secara tegas menuntut pembebasan sandera di Gaza, dengan ancaman serangan yang sangat menghancurkan jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi. Selain itu, sikap tegas Amerika terhadap Hamas ditegaskan dengan pernyataan bahwa kelompok tersebut tidak boleh terus beroperasi sebagai kekuatan pemerintahan atau militer dan harus diberantas.
Visi ambisius Trump untuk mengubah Gaza juga menjadi topik hangat. Pada 11 Februari, dalam pertemuan di Gedung Putih bersama Raja Abdullah dari Yordania, Trump menyatakan hak Amerika Serikat untuk mengambil alih Gaza, dengan harapan kawasan tersebut dapat dikembangkan menjadi resor dan pusat bisnis yang menguntungkan. Diskusi antara Netanyahu dan Rubio pun mencerminkan upaya bersama untuk mewujudkan visi tersebut.
Kesimpulan
Dengan dinamika geopolitik yang terus berubah, langkah-langkah diplomatik yang diambil oleh Washington, Eropa, dan Timur Tengah menunjukkan betapa kompleksnya tantangan keamanan global saat ini. Sementara Eropa berupaya menegaskan kemandirian dalam menghadapi pergeseran kebijakan Amerika, Washington tampak memfokuskan strateginya pada kekuatan baru di Asia dan pengendalian pengaruh Iran di Timur Tengah. Semua pihak kini berada di persimpangan penting yang menentukan arah masa depan keamanan dan stabilitas regional serta global.