Pemimpin PKT Kunjungi Asia Tenggara untuk Rangkul Negara Kecil Hadapi Amerika? Analis: Ibarat Mimpi di Siang Bolong

Di tengah memanasnya perang tarif antara AS dan Tiongkok, pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) memulai kunjungan kenegaraan ke tiga negara Asia Tenggara pada 14 April, termasuk Vietnam, Malaysia, dan Kamboja. Ketiga negara ini disebut-sebut sebagai titik kunci dalam strategi “pencucian asal barang” Tiongkok. Namun, para analis menilai bahwa upaya Beijing untuk merangkul negara-negara ini guna menghadapi Amerika kemungkinan besar akan berujung sia-sia.

EtIndonesia. Pada 14 April, pemimpin PKT Xi Jinping memulai kunjungan kenegaraan dua hari ke Vietnam. Setelah itu, ia dijadwalkan melanjutkan perjalanan ke Malaysia dan Kamboja pada 15 hingga 18 April.

Kunjungan ini berlangsung di tengah ketegangan perang tarif AS-Tiongkok, dan menjadi sorotan tajam di kalangan media internasional.

Profesor Sun Kuo-Hsiang dari Universitas Nanhua Taiwan, pakar hubungan internasional dan bisnis, menyatakan: “Dalam konteks era Trump 2.0, perang tarif antara AS dan Tiongkok kembali meningkat. Peran ketiga negara Asia Tenggara—Vietnam, Malaysia, dan Kamboja—memang berbeda-beda dalam aspek geopolitik, ekonomi, dan politik terhadap Tiongkok.”

Pada 2 April lalu, Presiden Trump mengumumkan putaran pertama kebijakan tarif “resiprokal”, yang memberikan beban tarif tinggi terhadap banyak negara Asia Tenggara. Vietnam, Malaysia, dan Kamboja masing-masing dikenai tarif sebesar 46%, 24%, dan 49%.

Namun, pada  4 April malam, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, To Lam, menghubungi Trump dan menyampaikan permohonan untuk memperoleh “tarif nol”. Trump kemudian menyatakan bahwa percakapan tersebut “sangat produktif”.

Setelah pada 9 April Trump mengumumkan penangguhan tarif selama 90 hari untuk negara-negara di luar Tiongkok, negara-negara anggota ASEAN juga menyatakan tidak akan membalas kebijakan AS dan siap untuk membuka dialog perdagangan.

Kunjungan Xi ke Asia Tenggara pun menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana negara-negara ini akan menyeimbangkan hubungan antara AS dan Tiongkok?

Sun Kuo-Hsiang menambahkan: “Dalam menghadapi situasi ekonomi dan perang tarif saat ini, Tiongkok mulai sangat bergantung pada ketiga negara ini. Vietnam, misalnya, menjadi jalur transit dan tempat ‘pencucian asal barang’ dari produk Tiongkok sebelum diekspor ke AS. Namun, akibat praktik ini, Vietnam justru terkena sanksi berat dari Amerika.” 

“Banyak perusahaan Tiongkok memindahkan pabrik ke Vietnam, menciptakan hubungan ekonomi yang saling tergantung sekaligus bersaing. Ke depan, Vietnam kemungkinan akan memilih strategi berhati-hati: tetap bernegosiasi dengan AS untuk pengurangan tarif, namun tidak akan secara terang-terangan memusuhi Tiongkok—mereka lebih memilih menjaga keseimbangan yang samar.”

Kondisi internal Tiongkok saat ini diliputi banyak masalah—perlambatan ekonomi yang serius dan meningkatnya ketidakpuasan publik bahkan sebelum perang tarif benar-benar dimulai. Para pengamat menilai, dalam situasi krisis ganda ini, strategi Tiongkok adalah tampil keras di permukaan untuk menyalahkan Amerika atas memburuknya kondisi ekonomi dalam negeri, sembari mencoba menarik dukungan dari negara-negara kecil di Asia Tenggara.

Zhang Tianliang, pembawa acara program Tianliang Shifen (Dawn Time) , berkomentar: “Strategi Xi Jinping adalah menjadikan Amerika sebagai musuh imajiner. Ini adalah taktik lama Partai Komunis Tiongkok—menggunakan nasionalisme untuk mengalihkan perhatian publik. Dengan cara ini, Xi bisa menyalahkan Amerika atas kehancuran ekonomi dalam negeri yang disebabkan oleh kebijakannya sendiri. Sektor properti, e-commerce, pendidikan—semua yang rusak bisa dengan mudah dialihkan kesalahannya kepada Amerika karena dianggap menghalangi kemajuan Tiongkok.”

Sementara itu, Sun Kuo-Hsiang kembali menekankan: “Fakta di lapangan menunjukkan bahwa negara-negara Asia Tenggara secara umum berusaha menghindari memilih pihak. Mereka mungkin terlihat ramah secara diplomatik terhadap Tiongkok, tetapi dalam praktiknya tetap menjaga jarak.” 

“Jika Tiongkok sungguh ingin memengaruhi arah kebijakan kawasan ini, mereka harus menawarkan bantuan ekonomi yang nyata dan membuka pasar domestiknya secara serius. Kunjungan kenegaraan semata tidak cukup untuk mengubah arah geopolitik kawasan.” (jhon)

Sumber : NTDTV.com 

FOKUS DUNIA

NEWS