EtIndonesia. Selama dekade terakhir, aset-aset Amerika menarik arus modal global secara besar-besaran berkat tingkat pengembalian yang tinggi. Dari dana kekayaan negara di Asia hingga taipan minyak Timur Tengah, semuanya berinvestasi besar-besaran di saham dan obligasi AS, yang turut mendorong penguatan dolar AS secara signifikan. Namun kini, pesta besar kapital global tersebut tampaknya mulai berakhir secara diam-diam.
Dalam beberapa hari terakhir, indeks dolar terus melemah, dan pada Senin (21/4) bahkan menembus batas psikologis 98 poin, memicu perdebatan hangat: Apakah ini akhir dari hegemoni dolar?
Pada Senin (21/4), indeks dolar mengalami penurunan tajam, turun lebih dari 1% secara keseluruhan dan menembus level penting 99 dan 98 dalam perdagangan intraday — penurunan terbesar sejak Maret 2022.
Penurunan ini mencerminkan adanya perubahan besar dalam arah kebijakan. Lembaga-lembaga di Wall Street mengungkapkan bahwa nilai dolar saat ini dinilai terlalu tinggi, bahkan hingga 20%. Kebijakan tarif dari pemerintahan Trump bukan hanya mengubah struktur perdagangan global, tetapi juga sedang membentuk ulang tatanan keuangan dunia.
Di Asia, Jepang secara terbuka menyatakan keinginannya untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan dengan Amerika Serikat. Yen Jepang, sebagai aset lindung nilai, sedang berada dalam performa yang kuat, memberikan tekanan tambahan terhadap dolar.
Sementara itu, Tiongkok (Partai Komunis Tiongkok ) terus mempertahankan sikap konfrontatif dan menyatakan akan melawan Amerika habis-habisan. Bank sentral Tiongkok juga terus melakukan intervensi untuk mengontrol nilai tukar yuan demi menjaga stabilitas pasar saham domestik. Namun, dengan terus memburuknya kondisi ekonomi dalam negeri dan arus keluar modal dari Barat yang terus berlanjut, situasi keuangan Tiongkok pun tampak semakin suram.
Dalam hal arah pergerakan dolar, terdapat perbedaan pandangan mencolok antara pasar dan Gedung Putih. Para investor khawatir bahwa pelemahan dolar akan mengguncang kredibilitas sistem keuangan berbasis dolar, sementara pemerintahan Trump justru melihat pelemahan dolar sebagai strategi untuk mendorong ekspor AS dan menekan Federal Reserve agar segera memangkas suku bunga.
Para ekonom berpendapat bahwa meskipun dominasi dolar tidak akan tergoyahkan dalam jangka pendek, nilainya kemungkinan besar akan terus melemah. Beberapa analis bahkan menyebutkan bahwa jika tekanan resesi ekonomi memaksa The Fed untuk memangkas suku bunga secara drastis, dolar bisa memasuki periode koreksi yang panjang.
Saat ini dunia keuangan global memasuki masa yang penuh ketidakpastian, dan posisi dolar AS bukan hanya menjadi acuan pasar, tetapi juga kemungkinan besar akan menjadi salah satu kunci dalam penyesuaian strategi pemerintahan Trump ke depan. (Hui)
Laporan komprehensif oleh NTD Television