Rusia Mengancam: Jika Ukraina Tak Mundur, Kami Akan Caplok 8 Provinsi!

EtIndonesia. Pada 16 Mei, Ukraina dan Rusia kembali duduk dalam pertemuan tatap muka di Turki—yang pertama sejak Maret 2022. Meski tidak ada titik temu dalam isu gencatan senjata, pertemuan ini secara mengejutkan menghasilkan kesepakatan besar: pertukaran 1.000 tawanan perang dari masing-masing pihak. Bagi keluarga para prajurit di garis depan, hal ini memberi secercah harapan di tengah pekatnya kabut perang.

Namun demikian, perundingan berlangsung panas. Salah satu isu paling kontroversial adalah tuntutan Rusia agar pasukan Ukraina menarik diri dari sebagian besar wilayah negaranya sendiri sebagai syarat untuk gencatan senjata—tuntutan yang langsung ditolak oleh delegasi Ukraina.

Menurut laporan BBC, perundingan ini dimediasi secara aktif oleh Turki dan Amerika Serikat. Ruang pertemuan dihiasi bendera Ukraina, Rusia, dan Turki. Tidak ada jabat tangan atau basa-basi antara pihak yang berunding. Separuh delegasi Ukraina mengenakan seragam tempur loreng sebagai simbol bahwa “perang masih jauh dari selesai.”

Seperti yang sudah banyak diperkirakan, perundingan tidak menghasilkan terobosan dalam hal gencatan senjata. Namun, tercapai satu hasil konkret: kedua belah pihak sepakat untuk segera menukar masing-masing 1.000 tawanan perang. Menteri Pertahanan Ukraina, Rustem Umerov, menyatakan bahwa kesepakatan ini akan segera dilaksanakan. Meski tanggal pastinya telah ditentukan, informasi itu belum diumumkan ke publik.

Umerov menyebut pertukaran tawanan ini sebagai hasil paling positif dari perundingan yang sangat sulit—sebuah kabar yang mungkin akan menghadirkan kebahagiaan bagi seribu keluarga Ukraina. Wakil Menteri Luar Negeri Ukraina, Serhiy Kyslytsya, menambahkan bahwa di tengah kegelapan, kesepakatan ini mampu menyalakan harapan.

Namun di balik titik terang itu, konflik sengit tetap terjadi di ruang perundingan. Delegasi Ukraina menuduh pihak Rusia menyampaikan tuntutan baru yang “benar-benar tidak dapat diterima”. Di antaranya: pasukan Ukraina harus mundur dari sebagian besar wilayahnya sendiri untuk mendapatkan gencatan senjata.

Jurnalis The Economist, Oliver Carroll, mengutip sumber yang hadir dalam perundingan, melaporkan bahwa Asisten Presiden Rusia sekaligus kepala delegasi, Vladimir Medinsky, menyatakan bahwa Rusia siap untuk perang jangka panjang. 

Bahkan, dia melontarkan ancaman dingin selama sesi pertemuan: “Jika pasukan Ukraina tidak mundur dari empat provinsi, maka berikutnya akan menjadi lima!”

Ucapan ini langsung memicu kehebohan dan kritik luas dari publik internasional.

Namun belakangan, Rusia memberikan klarifikasi. Pemimpin redaksi RT (Russia Today), Margarita Simonyan, melalui media sosial X (sebelumnya Twitter), menyatakan bahwa menurut pejabat Rusia yang diwawancarai oleh Istanbul Times, target Rusia sebenarnya bukan lima provinsi—melainkan delapan provinsi.

Pernyataan ini menambah keraguan terhadap itikad baik Rusia dalam perundingan, dan semakin memperkuat kewaspadaan Ukraina dan sekutunya terhadap ambisi ekspansionis Kremlin.

Medinsky sendiri menyatakan bahwa Rusia secara umum puas dengan hasil pertemuan, dan menyatakan kesediaannya untuk melanjutkan komunikasi. Dia juga mencatat usulan dari Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy untuk bertemu langsung dengan Presiden Vladimir Putin, yang mencolok karena hanya beberapa hari sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Rusia menyebut Zelenskyy sebagai “badut dan pecundang”.

Motif Terselubung dan Diplomasi Bayangan

Meski Ukraina dan Rusia akhirnya kembali duduk satu meja, banyak pengamat internasional tetap meragukan ketulusan Rusia dalam mengejar perdamaian. Sejumlah negara sahabat Ukraina memperingatkan bahwa Moskow bisa saja menggunakan perundingan ini sebagai taktik untuk mengulur waktu, mencegah sanksi baru dari Uni Eropa diberlakukan.

Sebagai catatan, Uni Eropa telah mengonfirmasi bahwa putaran ke-18 sanksi terhadap Rusia sedang dalam tahap finalisasi.

Sementara itu, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump juga angkat bicara. Dia menyebut bahwa “pertemuan paling krusial” bukanlah antara perwakilan Ukraina dan Rusia, melainkan antara dirinya dengan Putin secara langsung

Dalam wawancara di pesawat Air Force One, Trump mengatakan:“Selama saya belum duduk dan berbicara dengan Putin, tidak akan ada apa pun yang akan terjadi.”

Pernyataan ini menegaskan bahwa Trump ingin mengambil peran sentral dalam proses penyelesaian konflik, dan seolah menunjukkan bahwa diplomasi puncak baru akan dimulai saat kedua pemimpin adidaya ini bertemu.Meski pihak Rusia tidak menutup kemungkinan adanya pertemuan tingkat tinggi, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menegaskan bahwa pengaturan pertemuan semacam itu “membutuhkan waktu.” Dia juga menyebut bahwa undangan terhadap Zelenskyy untuk menghadiri pertemuan puncak masih belum pasti, menandakan masih adanya tarik-menarik politik di belakang layar.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS