oleh: Fadjar Pratikto
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia mengalami lonjakan besar dalam pembangunan infrastruktur digital. Dari jaringan fiber optik yang membentang di pelosok Nusantara hingga pengembangan sistem cloud untuk layanan pemerintahan, transformasi digital menjadi agenda strategis nasional.
Di balik kemajuan tersebut, muncul kekhawatiran serius terkait ketergantungan Indonesia terhadap teknologi dan perusahaan asal Tiongkok, terutama Huawei. Salah satu titik kritis adalah kerja sama pemerintah yang diwakili oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi) dengan Huawei dan perusahaan teknologi lain dari Tiongkok, yang memunculkan pertanyaan besar: seberapa aman data nasional kita?
Kerjasama dengan Teknologi Tiongkok
Dua tahun lalu, BSSN memperbaruhi memperbarui Nota Kesepahaman (MoU) dengan PT Huawei Tech Investment untuk kerja sama keamanan siber di Kantor Pusat Huawei di Shenzen pada 14 Juni 2023. Itu merupakan pembaruan MoU yang diteken pada 2019. Waktu itu disepkati meliputi pelatihan sumber daya manusia di bidang keamanan siber, pengembangan kapasitas, serta konsultasi teknis untuk mendukung transformasi digital nasional.
Sebelumnya pada 8 November 2022, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga telah memperbarui MoU dengan Huawei dengan tema “Memacu Transformasi Digital Indonesia, Forging ahead Indonesia’s Digital Transformation.” Kerja sama itu diharapkan akan merealisasikan transformasi digital yang inklusif melalui perluasan konektivitas yang bermanfaat (meaningful connectivity) dan pengembangan sektor digital.
Di atas kertas, kolaborasi tersebut tampak menguntungkan: Huawei dikenal memiliki teknologi dan pengalaman global, sementara pemerintah kita membutuhkan peningkatan kapasitas untuk menghadapi tantangan keamanan siber yang kian kompleks.
Namun, kerja sama antara lembaga negara yang menangani keamanan digital dengan perusahaan asing—terutama dari Tiongkok —menimbulkan kekhawatiran serius. Huawei telah lama dituduh memiliki kedekatan dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan dianggap berpotensi menjadi instrumen negara untuk melakukan spionase siber, terutama oleh negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia yang telah melarang penggunaan perangkat Huawei dalam infrastruktur 5G mereka.
Kerja sama dengan Huawei bukan satu-satunya bentuk keterlibatan perusahaan Tiongkok dalam infrastruktur digital Indonesia. Perusahaan-perusahaan seperti ZTE, Alibaba Cloud, dan Tencent juga memainkan peran penting. Beberapa bentuk ketergantungan ini mencakup:
1. Perangkat Jaringan dan Infrastruktur Telekomunikasi
Huawei dan ZTE memasok sebagian besar peralatan jaringan untuk operator besar di Indonesia seperti Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata. Ketergantungan ini tidak hanya pada perangkat keras (hardware), tetapi juga perangkat lunak (software) yang mengelola jaringan tersebut.
2. Layanan Cloud dan Data Center
Alibaba Cloud, anak usaha raksasa e-commerce China, telah membuka pusat data (data center) di Indonesia sejak 2018. Beberapa layanan pemerintah dan perusahaan swasta menggunakan layanan ini karena efisiensi dan biayanya yang lebih murah dibandingkan dengan pesaing Barat.
3. Smart City dan CCTV
Huawei dan Hikvision banyak digunakan dalam proyek-proyek smart city di Indonesia, termasuk pemasangan ribuan kamera CCTV dengan fitur pengenalan wajah (facial recognition). Teknologi ini sangat sensitif karena dapat digunakan untuk pengawasan massal dan pelanggaran privasi.
4. Palapa Ring
Proyek pembangunan jaringan serat optik sepanjang 35.000 Km yang menghubungkan seluruh Indonesia dari barat, tengah ke timur, termasuk wilayah terluar dan perbatasan. Huawei dan ZTE berperan penting dalam pengadaan perangkat jaringan dan infrastruktur teknis, seperti: router, switch, transmisi jaringan; BTS dan komponen jaringan optik; serta teknologi core jaringan dan sistem manajemen.
5. FiberStar
PT Mega Akses Persada (FiberStar) menjadi penyedia layanan infrastruktur nasional berbasis kabel fiber optik. Huawei digandeng sebagai penyedia teknologi informasi dan komunikasi dalam pembangunan infrastruktur digitalnya. Pada 2023 dijangkau sekitar 1,9 juta homepass, yang tersebar di 135 kota dan 17 provinsi, termasuk di Jawa Barat, Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
6. Palapa Nusantara 1
PT Indosat Tbk (Indosat Ooredoo) dan PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) melaluiPT Palapa Satelit Nusa Sejahtera (PSNS) membeli satelit dari China Great Wall Industry Corporation (CGWIC) senilai sekitar 220 juta dolar AS pada 17 Mei 2017. Satelit itu diposisikan sebagai generasi penerus dari satelit Palapa-D pada slot orbit 113 derajat Bujur Timur.
Risiko Keamanan Nasional
Ketergantungan terhadap infrastruktur digital dari satu negara asing, apalagi negara dengan sistem politik otoriter dan kontrol ketat terhadap perusahaan swastanya seperti Tiongkok, membawa sejumlah risiko besar:
Salah satu risiko utama adalah potensi penyadapan data dan spionase. Jika perangkat keras dan lunak dikendalikan atau dipengaruhi oleh pihak asing, maka data-data penting seperti komunikasi pemerintah, data militer, dan informasi strategis lainnya bisa diakses secara diam-diam.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa perangkat buatan perusahaan tertentu dapat memiliki kerentaan sistim dan backdoor, yaitu celah tersembunyi yang memungkinkan akses dari jarak jauh. Hal ini sulit dideteksi dan bisa digunakan untuk serangan siber atau sabotase.
Ada juga pengaruh politik dan ketergantungan strategis. Ketika infrastruktur digital vital dikuasai oleh teknologi dari satu negara tertentu, Indonesia bisa kehilangan otonomi strategis. Misalnya, dalam situasi konflik diplomatik, penyedia teknologi dapat menahan dukungan teknis atau bahkan memutus akses, menimbulkan dampak besar terhadap stabilitas nasional.
Menurut pakar IT, Ridho Rahmadi, PKT mempunyai agenda politik Lebensraum, yang termasuk didalammnya DSR atau Digital Silk Road. Dalam program ini mereka membangun berbagai macam infrastruktur digital di negara-negara lain dan termasuk di Indonesia. “Bayangkan kalau mereka mematikan jaringan yang di Palapa Ring, tentunya akan membuat keos karena akan mematikan telekomunikasi hingga perekonomian, dan kita tumbag hanyalah masalah waktu,” ungkap Ridho setahun lalu.
Peretasan di Pusat Data Nasional tahun lalu, kata Ridho, masih dalam skala sangat kecil karena ada permasalahan digital yang lebih besar yang harus diselesaikan. “Pembangunan jaringan dibawah program Digital Silk Road motivasinya sama di semua negara yang dibantu Tiongkok. Pembangunan infrastruktur digital yang basic harus dilakukan sendiri sebagai sebuah negara dan tidak boleh ada pihak asing yang melakukan,” tandasnya.
Sebenarnya pemerintah Indonesia telah menyadari sebagian dari risiko ini, meski langkah konkret untuk mengurangi ketergantungan masih terbatas. Beberapa upaya yang bisa dan seharusnya dilakukan meliputi: diversifikasi mitra teknologi dari negara lain, perlu ada sistem audit teknologi secara berkala, pemerintah harus lebih serius mendukung ekosistem teknologi lokal, baik melalui insentif fiskal, pendidikan vokasi, maupun dukungan riset dan implementasi Undang-Undang Perlindungan Data yang kuat.
Bagaimanapun ketergantungan Indonesia terhadap infrastruktur digital buatan Tiongkok, khususnya melalui perusahaan seperti Huawei, menghadirkan dilema antara kebutuhan teknologi dan keamanan nasional. Di satu sisi, teknologi Tiongkok menawarkan solusi cepat dan murah. Namun di sisi lain, risiko jangka panjang terhadap kedaulatan data dan keamanan negara sangat besar.
Peningkatan kapasitas siber tidak boleh mengorbankan kedaulatan dan privasi warga negara. Dalam era digital ini, penguasaan atas data dan sistem informasi sama pentingnya dengan penguasaan wilayah teritorial. Indonesia harus segera mengambil langkah strategis agar transformasi digital nasional tidak menjadi boomerang yang mengancam kedaulatan negara di masa depan.*****